Erick
Thohir adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang menjadi perbincangan
hangat media-media di Italia beberapa pekan terakhir. Upaya pemilik klub DC
United untuk membeli 80 persen saham klub Internazionale Milano jelas bukan
berita kecil. Inter merupakan salah satu klub raksasa di Italia. Terlebih,
upaya Erick tersebut akan merubah sejarah Inter karena Massimo Moratti dan
ayahnya merupakan penguasa klub berjuluk Nerazzurri
itu dalam beberapa dasawarsa
terakhir.
Uang
tunai 260 juta euro atau setara 3,1 triliyun rupiah siap digelontorkan
pengusaha gila bola itu, demi menguasai mayoritas saham klub yang telah meraih
tiga gelar Liga Champion tersebut. Bahkan dalam proposalnya, Erick menawarkan
1,3 triliyun rupiah untuk belanja pemain di awal musim.
Itu
jelas bukan tawaran yang mudah untuk ditolak Moratti, apabila melihat kondisi
keuangan klub yang dirundung hutang senilai 150 juta euro.
Di
satu sisi, apa yang dilakukan Erick Tohir bisa memberikan dampak positif bagi
persepakbolaan Indonesia, minimal terbukanya kesempatan pemain muda Indonesia
mencicipi rumput di San Siro, seperti yang dirasakan Syamsir Alam di DC United
dan beberapa pemain lainya di CS Visse, sebuah klub di Belgia milik keluarga
Bakrie.
Namun,
di sisi lain langkah Erick Tohir akan terasa menyakitkan bagi klub-klub Indonesia
yang kini tertatih-tatih hanya untuk menyelesaikan kompetisi. Untuk ukuran
Indonesia, uang 3,1 triliyun rupiah tentu sanggup menghidupi 135 klub selama
setahun jika diasumsikan butuh 20 miliyar per klub.
Mendapat
tawaran menggiurkan seperti yang dialami Inter Milan merupakan impian setiap
klub dimanapun, tak terkecuali di Indonesia. Hanya segelintir saj, klub di
negeri ini yang mendapat suntikan dana besar dari pengusaha. Mayoritas dari
mereka harus jatuh bangun di depan pengusaha, dengan harapan klubnya bisa
diselamatkan. Tidak sedikit yang terpaksa gulung tikar tanpa mampu
menyelesaikan kompetisi. Kalaupun sanggup menyelesaikan, setidaknya diwarnai
dengan persoalan penunggakan gaji dan catatan hutang di mana-mana.
Nasib
Klub lokal
Alhasil,
hanya sedikit klub yang berani menargetkan juara karena memang hanya segelintir
klub yang sanggup berkonsestrasi penuh pada perburuan juara tanpa dirundung
persoalan keuangan. Logika mayoritas klub saat ini; mengarungi kompetisi dengan
selamat saja sudah beruntung.
Akibatnya
kualitas dari sebuah kompetisi sulit untuk ditingkatkan. Harus diakui,
persoalan dana selalu menjadi batu sandungan klub di Indonesia meraih prestasi.
Sebagai
pengusaha yang memiliki banyak uang, tentu sah-sah saja jika Erick lebih
memilih menanamkan sahamnya di Inter daripada klub di Indonesia. Dibanding
Indonesia, sepak bola Italia jauh lebih maju. Dengan Serie A, sepak bola Italia
menjadi salah satu kompetisi berlevel dunia selain Inggris, Spanyol dan Jerman.
Berbeda dengan sepak bola Indonesia yang masih berkutat ditataran politik dan
kepentingan.
Wajar
jika sepak bola Italia lebih menggiurkan dari segi bisnis (keuntungan) bagi
Erick Thohir yang notabene seorang pengusaha. Berbeda dengan sepak bola
Indonesia yang masih berkutat ditataran politik dan kepentingan.
Sudah
selayaknya hal ini dijadikan pelajaran sekaligus cambuk bagi Stekeholder sepak bola di Tanah Air
untuk mengelola olah raga si kulit bundar secara professional.
Artinya
tidak ada lagi konflik antar kelompok yang kontraproduktif dan terbukti
merugikan seperti beberapa waktu lalu karena pengelolaan yang baik akan
melahirkan perwajahan sepak bola yang baik. Dari sanalah dana dan prestasi akan
mengalir.
Asa
Itu Ada
Bermodal
antusias masyarakat akan sepak bola yang tak pernah surut, semestinya membangun
industri sepak bola di negeri ini bisa dilakukan. Masih banyak masyarakat yang
mau pergi ke stadion. Bahkan klub seperti Persib pindah ke stadion baru guna
menampung antusiasme suporternya.
Sebuah
fenomena yang tidak terjadi di negara tetangga seperti Malaysia. Bahkan mungkin
setara dengan apa yang ada di Italia. Artinya, harapan untuk memajukan sepak
bola nasional masih terbuka lebar. Tinggal bagaimana PSSI dan pemerintah saling
bersinergi dalam membangun persepakbolaa nasional, baik dari segi dukungan
maupun infrastuktur.
Suka
tidak suka, kita mesti mengakui bahwa alat pemersatu bangsa sekarang ini adalah
sepak bola, bukan (maaf) simbol, semboyan, apalagi pemimpin.
Comments