Musikalisasi
Lutung Kasarung membuktikan bahwa sentuhan modernisasi dapat membuat cerita
rakyat tetap relevan dan dinikmati lintas generasi.
LUTUNG
Kasarung adalah satu dari sekian kisah klasik yang kerap ditampilkan dalam
pentas musikal. Namun, kolaborasi Indonesia Kaya-EKI Dance Company memiliki
perspektif yang lebih modern. Musikalisasi Lutung Kasarung yang dipentaskan di
Galeri Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta itu menyuguhkan kisah legendaris
dengan sentuhan lebih segar. Konsepnya dapat memikat generasi muda tanpa
meninggalkan akar budaya dan pesan moral.
Mengambil
latar Kerajaan Pasir Batang, pertunjukan itu mengisahkan seekor monyet ajaib
yang menolong Putri Purbasari. Alur klasik itu berkelindan dengan properti
canggih di panggung. Salah satunya kehadiran layar LED yang membangun nuansa
hutan rimbun, istana, dan dinamika suasana lewat teknologi proyeksi visual.
Musik pun begitu. Bebunyian khas Sunda dan musik lain berpadu harmonis dengan
irama elektronik serta orkestra modern.
Penonton
seolah diajak masuk ke dunia yang magis, di mana dongeng masa kecil bertransformasi
menjadi sajian visual dan musikal yang menggetarkan. Tak hanya sisi visual dan
musik yang menyita perhatian. Kostum para pemain juga mendapat sentuhan
futuristik.
Sentuhan
etnik yang dipadu potongan asimetris dan bahan reflektif mampu menciptakan
kesan teatrikal sekaligus kontemporer. Yang tak kalah menarik, dialog dalam
musikal itu bukan sekadar pelafalan naskah. Tapi, juga nyanyian dengan lirik
puitis yang dikombinasi dengan percakapan modern.
Misalnya,
dalam dialog Purbasari yang tak mempersoalkan rupa lutung kasarung untuk
dikenalkan pada sang ayah, Prabu Tapa Agung. ”Buat aku kamu fine fine aja ah,”
kata Purbasari, disambut riuh penonton.
Dalam dialog
lain misalnya, sang ayah Prabu Tapa Agung memilih menggunakan diksi kekinian
”meninggoy,” saat menggantikan kata meninggal. Gimmick itu sontak membuat
penonton ramai.
Musikalisasi
tersebut juga semarak karena terciptanya momen dua arah. Penonton kerap diajak
berpartisipasi. Misalnya, saat diminta memihak Purbararang atau Purbasari. Penonton
harus memilih di antara dua warna berbeda pada aksesori kipas yang dibagikan.
Biru untuk Purbasari dan merah untuk Purbararang.
Di akhir
pertunjukan, penonton juga akan mendapat pisang. Buah yang menjadi kesukaan
lutung, hewan yang menjadi protagonis utama kisah tersebut.
Direktur
Utama EKI Dance Company Aiko Senosoenoto mengatakan, sentuhan modern dilakukan
agar karya tersebut bisa relevan dan dinikmati semua kalangan. ”Ceritanya
ringan, visualnya kuat, dan emosinya terasa. Lutung Kasarung kami kemas dengan
sentuhan modern agar bisa dinikmati siapa saja, dari anak-anak hingga dewasa,”
ujarnya.
Pihaknya
berharap bahwa musikal Lutung Kasarung bukan sekadar pertunjukan. Namun, dapat
menjadi bentuk selebrasi budaya Indonesia dalam balutan estetika masa kini.
Program
Director Indonesia Kaya Renitasari Adrian menambahkan, dukungan pihaknya
terhadap musikal itu merupakan bagian dari komitmen memperluas akses masyarakat
terhadap karya seni berkualitas. Mengingat Lutung Kasarung merupakan salah satu
cerita rakyat yang dia angkat menjadi program web series #MusikalDiRumahAja
bersama EKI Dance Company.
”Sejak 2020
kami telah menampilkan kisah-kisah dari berbagai daerah Indonesia di kanal
YouTube IndonesiaKaya. Berawal dari versi digital saat pandemi, antusiasme
penonton mendorong pertunjukan ini,” tuturnya. (far/kkn)

Komentar