Langsung ke konten utama

Munaqosah dan Ulah Orang Kaya

Dalam dua minggu terakhir, saya menghadiri Munaqosah Zaki dan Misbah. Keduanya merupakan kawan kuliah saya satu angkatan. Munaqosah, kalau di kampus lain disebut sidang skripsi. Karena kampus saya basic-nya Islam, istilahnya pun menggunakan bahasa arab. Tapi, whatever, apalah arti sebuah nama.
Dalam acara Munaqosah tersebut, kedua teman saya sama-sama membawa makanan yang cukup “wah” untuk ukuran orang seperti saya –yang selalu dekat dengan tempe dan kerupuk. Zaki membawa 4 kotak Brownies Amanda, sedangkan Misbah membawa 4 box sneck mewah, dan 1 tas berisi belasan roti, serta makanan ringan lainnya.
Kejadian ini menjawab pertanyaan saya 3 tahun yang lalu. Kala itu saya melihat banyak makanan di meja, di luar Ruang Munaqosah. Waktu itu Ruang Munaqosah masih di lantai dua fakultas. Ada 4 kotak Nasi Padang, dan beberapa box jajanan seperti Chocolatos, Wafer dan lain sebagainya. Pada waktu itu saya bertanya-tanya, untuk apa makanan ini?
Sekarang saya tahu jawabanya, makanan ini dibawa peserta Munaqosah sebagai bentuk ungkapan syukuran setelah “berdarah-darah” berbulan-bulan menyelesaikan skripsi, plus selesai  mempertanggungjawabakannya. 4 box yang biasanya “diistimewakan”, itu diperuntukkan bagi pembimbing skripsi, dua orang penguji skripsi, dan satu lagi untuk Ibu Nur, pegawai jurusan yang paling sibuk ngurus administrasi skripsi mahasiswa.
Saya tidak tahu, sejak kapan budaya ini dimulai. Tapi yang jelas, budaya tersebut sudah menjadi aturan yang tak tertulis –namun nyaris bersifat wajib bagi mahasiswa. Sampai-sampai ada banyak mahasiswa yang dengan terpaksa ikut-ikutan melakukan hal tersebut, hanya karena merasa “aneh” atau tidak enak jika tidak melakukannya, meski terpaksa ngutang. Khususnya bagi mereka-mereka yang berkantong tipis. Paling minim sekalipun, 70 ribu habislah untuk ritual tersebut.
Padahal, dompet sudah dibuat ludes untuk memenuhi pra syarat wajib Munaqosah, seperti ngeprint skripsi 3 bendel, pakaian wajib Munaqosah (kemeja putih, sepatu hitam, celana kain hitam, dan dasi), hingga administrasi lainnya. Lagi-lagi ini terasa berat bagi mahasiswa yang berkantong tipis.
Kalau saya boleh menebak, budaya-budaya seperti ini biasanya diciptakan oleh mereka-mereka yang berkantong tebal. Karena merasa punya uang lebih, ia pun melakukan syukuran setelah Munaqosah. Melihat kawannya melakukan “hal mulia”, orang yang berkemampuan lainnya pun ikut melakukannya. Karena banyak yang ikut melakukan, perlahan ini menjadi budaya tersendiri. Dan pada akhirnya, mereka yang miskin pun ikut-ikutan. Kecuali, bagi mereka yang berani untuk “anti maindstream”.
Kalau kita amati secara kritis, dalam ritual tersebut terselip nilai-nilai kolusi, atau gratifikasi. Kalau untuk pembimbing dan Ibu Nur, mungkin sah-sah saja, itung-itung ungkapan terima kasih. Tapi kalau untuk dua orang penguji skripsi, inilah yang agak mencurigakan. Ada kesan, jika “upeti” atas nama syukuran tersebut ikut mempengaruhi objektivitas penguji skripsi dalam memberikan penilaian. Kalau niatnya syukuran, kenapa penguji skripsi yang dikasih? Tapi dosen lainnya tidak? Kira-kira begitulah logikanya.
Tapi ya namanya orang kaya, ia memiliki posisi yang lebih strategis untuk memainkan peran dalam menciptakan wacana, atau budaya-budaya baru di masyarakat. Dan mereka-mereka yang miskin, pada akhirnya hanya bisa takluk dan tunduk, karena enggan semakin di”liyankan” oleh orang-orang di sekelilingnya. Tapi ini tidak berlaku bagi si miskin yang berjiwa merdeka.
Semoga saja, pernikahan megah Raffi-Gigi tidak banyak ditiru. Kalau banyak ditiru dan ujung-ujungnya menjadi budaya, maka matilah harapan cowok-cowok kere untuk memiliki istri. Bahhh…!!

Komentar

Anisatul Umah mengatakan…
haha... semoga endep gak minta mahar yang mahal, cukup seperangkat alat solat
LenTerA mengatakan…
Kalau sudah menjadi budaya ya memang susah dienyahkan fol. Sudah menjadi keharusan, walaupun sebenarnya tak menginginkan. Mungkin karena rasa nggak enaknya aja, kecuali kalo udah niatnya gratifikasi haha...

Postingan populer dari blog ini

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً ...

Musikalisasi Lutung kasarung :Dikemas Modern, Relevan dengan Generasi Kekinian

  Musikalisasi Lutung Kasarung membuktikan bahwa sentuhan modernisasi dapat membuat cerita rakyat tetap relevan dan dinikmati lintas generasi. LUTUNG Kasarung adalah satu dari sekian kisah klasik yang kerap ditampilkan dalam pentas musikal. Namun, kolaborasi Indonesia Kaya-EKI Dance Company memiliki perspektif yang lebih modern. Musikalisasi Lutung Kasarung yang dipentaskan di Galeri Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta itu menyuguhkan kisah legendaris dengan sentuhan lebih segar. Konsepnya dapat memikat generasi muda tanpa meninggalkan akar budaya dan pesan moral. Mengambil latar Kerajaan Pasir Batang, pertunjukan itu mengisahkan seekor monyet ajaib yang menolong Putri Purbasari. Alur klasik itu berkelindan dengan properti canggih di panggung. Salah satunya kehadiran layar LED yang membangun nuansa hutan rimbun, istana, dan dinamika suasana lewat teknologi proyeksi visual. Musik pun begitu. Bebunyian khas Sunda dan musik lain berpadu harmonis dengan irama elektronik serta o...