Manusia dan hewan akan terus saling berhubungan sebagai salah satu ketetapan alam. Tentu dengan berbagai pasang surutnya. Pameran dari perupa Natasha Tontey memotret salah satu bagian kecil dari hal itu.
Pameran Natasha Tontey yang bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre itu dihelat di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta. Tontey mengisahkan hubungan antara populasi monyet makala jambul hitam asli Minahasa Selatan yang disebut yaki dan masyarakat adat setempat.
Oleh sang perupa, interaksi itu dihadirkan dalam semesta fiksi berwujud film dan objek-objek instalasi. Keduanya mengelaborasikan hubungan simbiosis antara hewan dan manusia.
Film yang merupakan bagian utama mengisahkan sekelompok ahli primata yang membebaskan kawanan yaki yang dikurung di sebuah hutan. Para tokoh protagonis itu terlibat dalam percakapan dan eksperimen sembari membayangkan hubungan dua spesies tersebut di masa depan.
Tontey mengajak audiens memasuki realitas fiktif. Proses itu diwujudkan lewat penafsiran ulang Mawolay atau ritual Minahasa yang mengharuskan warga mengenakan kostum serupa monyet. Prosesi tersebut untuk mencegah yaki menjarah desa. Tujuan dari narasi Tontey itu untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antarmakhluk.
Film tersebut ditampilkan berdampingan dengan instalasi dari bagian asli set film. Mulai kostum hingga sejumlah perangkat latar. ”Jadi, objek-objek di sini itu apa yang ada di film,” kata asisten kurator Museum MACAN Aditya Lingga, Kamis (16/1).
Kuat Kultur Minahasa
Instalasi objek dalam Primate Visions: Macaque Macabre dibuat dengan kultur Minahasa. Misalnya, terdapat visualisasi seperti usus tercecer pada salah satu objek yang menunjukkan yaki seolah bergelantungan. ”Jadi kalau kita lihat semua penataannya tuh kayak kalau kita ke Pasar Tomohon (pasar ekstrem di Sulawesi Utara), ada daging-daging lagi dijual,” ujar Lingga.
Lingga menjelaskan, sebagai seniman asli Minahasa, Tontey mendalami warisan budaya nenek moyang dengan intens. Dalam karya itu, dia merujuk pada keikutsertaannya dalam praktik-praktik ritual. Termasuk pengamatan terhadap norma-norma sosial di Minahasa. Khususnya terkait interaksi yaki dengan masyarakat.
Yaki dianggap masyarakat adat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial sehari-hari. Sekaligus sebagai hama karena kerap turun ke desa dan mencuri hasil panen. Hubungan itu semakin pelik dengan diakuinya status yaki sebagai spesies yang terancam punah. Sehingga mendorong organisasi-organisasi internasional menggalakkan pelestarian.
Lingga menerangkan, pameran Tontey bisa dinikmati semua kalangan, termasuk anak-anak. ”Bisa untuk semua segmen,” jelasnya. Pengunjung diperkenankan menikmati dan berfoto. Dengan suasana imersif dan visual memukau, pengunjung dapat menggunakan latar pameran untuk menghasilkan konten eksotis. Dibuka sejak 16 November 2024, pameran tersebut dapat dinikmati hingga 6 April 2025. (far/c6/kkn)
Jawa Pos 18 januari 2025
Komentar