Pemerintah
berencana menaikan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) dalam waktu dekat. Pemerintah
beralasan jika subsidi BBM yang mencapai Rp 193,8 triliun per tahun sudah
sangat memberatkan APBN(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Selain itu,
subsidi juga dianggap tidak tepat sasaran. Opsi yang ditawarkan pemerintah
dengan kebijakan dua harga, yakni Rp.4500 untuk kendaraan motor dan
transportasi umum, dan Rp.6500 untuk mobil pribadi menuai pro kontra
dimasyarakat. Hingga kini pemerintah belum berani memutuskan.
Pengurangan
subsidi BBM yang berarti kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga
barang dan jasa (inflasi), yang pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan
riil masyarakat menurun. Penurunan tersebut jika terjadi pada masyarakat yang
berada di sekitar atau pada garis kemiskinan, maka akan menyebabkan mereka
jatuh dalam kemiskinan (Sri Handoko dan Sri Susilo, 2006).
Hasil
simulasi Saparini (2008) menyatakan bahwa kenaikan harga BBM pada tahun 2005
telah menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin, dari 31,1 juta jiwa pada
tahun 2005 menjadi 39,3 juta jiwa pada tahun 2006. Kemudian Rakhmanto (2008),
kenaikan harga BBM rata-rata sebesar 29% pada tahun 2008 menyebabkan
meningkatnya pengangguran dan kemiskinan masing-masing sebesar 16,92% pertahun
dan 8,55% pertahun.
Menaikan
harga BBM selalu menjadi buah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi, hal itu
dilakukan guna menyehatkan anggaran yang cekak, tapi disisi lain membebani
masyarakat kecil. Meskipun demikian, bukan berarti pemerintah harus galau terus menerus. Dalam kondisi
demikian, ketegasan pemerintah(dibaca:presiden) merupakan hal yang tidak bisa
ditawar. Masyarakat tidak bisa dibiarkan menunggu, karena isu kenaikan selalu
menimbulkan kekacauan dimasyarakat. Hitung-hitungan politis yang dilakukan
(menjelang 2014), mengindikasikan mental pemerintah yang masih mementingkan
kepentingan kelompok ketimbang kepentingan masyarakat.
Jika
melihat kondisi APBN dan tingginya harga minyak dunia, kenaikan BBM adalah
pilihan pahit yang mesti kita terima. Hanya saja, guna meminimalisir dampak
dari kenaikan tersebut, pemerintah perlu melakukan gebrakan guna meminimalisir
dampak sosialnya. Misalnya dengan memberikan kompensasi bagi masyarakat miskin
yang meliputi: Pertama, menyalurkan
bantuan material, baik berupa nominal maupun kebutuhan pokok seperti beras. Kedua, memberikan beasiswa pendidikan
dan meningkatkan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin.
Belajar
dari pengalaman sebelumnya, dalam pelaksanaanya pemerintah perlu melakukan
pengkajian secara teliti yang meliputi updating
data. Agar kompensasi tersebut tepat sasaran. Jika mekanisme pelaksanaan kompensasi
berjalan efektif serta optimal, maka menekanya angka kemiskinan bukanlah hal
yang mustahil. Tapi jika sebaliknya, ledakan kemiskinan mungkin saja akan
terjadi. Dan itu berarti beban di pundak Negara semakin berat.
Pola Hidup
Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menyebutkan bahwa jumlah kelas
menengah atas Indonesia tumbuh mencapai angka 45 juta jiwa. Menurutnya,
merekalah yang sudah seharusnya menjadi sasaran untuk pengurangan subsidi BBM.
Dengan penghasilan yang cukup, perilaku kelas menengah cenderung konsumtif
dengan keinginan memanjakan diri yang kuat. Disisi lain, tingkat kesadaran
mereka sangatlah minim, wajar saja jika kelompok ini kerap ikut menyedot
subsidi pemerintah yang notabene diperuntukan masyarakat miskin.
Jika
kita mengamati dalam keseharian, ketergantungan BBM terbesar berada dalam sektor
energi dan transportasi. Dan kita semua tahu jika kedua sektor tersebut lebih didominasi
kelas menengah atas. Dari sini kita bisa menyimpulkan jika kelas menengah atas
mau merubah pola hidupnya, kebutuhan kita akan BBM bisa ditekan. Artinya beban
berat yang ditanggung APBN pun bisa berkurang.
Hal
tersebut bisa diwujudkan jika pemerintah sanggup memenuhi hal-hal yang
mendasari perilaku konsumtif masyarakat menengah atas, misalnya dengan
memperbaiki sistem transportasi umum. Tidak sedikit orang yang memilih
menggunakan kendaraan pribadi akibat buruknya transportasi di negeri ini,
khususnya di kota-kota besar. Fasilitas dan pelayanan yang minim harus
diperparah dengan ketidakpastian waktu perjalanan. Kondisi demikian jelas tidak
selaras dengan padatnya aktivitas masyarakat kota. Karena itu, kerja keras atas
perbaikan untuk sektor transportasi dan fasilitasnya harus dilihat sebagai
prioritas yang sangat penting untuk diselesaikan, disamping memperketat izin kepemilikan
kendaraan.
Comments