Pandemi Covid-19 membuat jumlah pendonor darah turun drastis. Padahal, ada orang-orang yang membutuhkan darah secara reguler supaya bisa tetap bertahan
FOLLY AKBAR, Jakarta, Jawa Pos
---
PERTENGAHAN Mei lalu, Annisa Octiandari Pertiwi
mengalami salah satu fase tersulit dalam hidupnya. Dia harus pontang-panting
mencari darah golongan AB resus positif. Tak mendapatkan, nyawanya menjadi
taruhan.
Di bank darah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, tempat langganannya, stok kosong. Sementara di Palang Merah Indonesia
(PMI) Cabang Kramat yang jadi rujukan RS, jumlahnya terbatas. Nisa, sapaannya,
membutuhkan 800 hingga 1.000 cc. ”Itu sekitar tiga sampai empat kantong darah,”
ujar perempuan berusia 26 tahun tersebut Kamis malam (18/6).
Bingung mencari, Nisa lalu menghubungi sejumlah kawan
lamanya. Kawan-kawan yang dia ingat memiliki golongan darah sama. Untung, Nisa
mendapati Muhammad Faisal, kawan kuliahnya, dan Rodzotus Solekha, teman
kantornya, yang hari itu bersedia menjadi pendonor untuknya.
Dua kantong darah yang didapatkannya bisa menggenapi
kekurangan dari PMI. Nisa lega. Empat kantong darah akan menyambung
kehidupannya secara normal. Setidaknya untuk tiga pekan ke depan.
Bagi Nisa dan penderita talasemia lainnya, kantong
darah adalah sesuatu yang vital. Kalau sudah jadwalnya, tanpa tambahan darah,
tubuhnya akan lemas, kehilangan gairah, dan berat untuk beraktivitas. Jika
dibiarkan, nyawanya akan terancam.
Talasemia merupakan penyakit genetik yang ditandai
kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah.
Akibatnya, penderita tidak bisa menghasilkan sel darah merah yang dibutuhkan
tubuh.
Imbasnya, penderita harus terus menerima darah orang
lain sepanjang hidupnya. Ada yang 1 minggu sekali, 10 hari sekali, 2 pekan
sekali, 3 minggu sekali, 3 bulan sekali, dan sebagainya. Bergantung usia, berat
badan, aktivitas, dan tingkat kerusakan darahnya. ”Kalau saya tiga minggu
sekali harus kontrol. Dan sekali kontrol butuh tiga sampai empat kantong
darah,” kata warga Bogor itu.
Nisa kembali harus menjalani transfusi darah pada
Minggu (21/6). Masih tidak mudah mendapatkannya. Dia harus menunggu pendonor
dari PMI yang waktunya bisa berhari-hari meski tak sampai mencari sendiri.
Nisa menjelaskan, kedua orang tuanya sama-sama memiliki
gen talasemia minor atau talasemia ringan tanpa gejala. Saat dituruni, Nisa dan
adiknya dinyatakan menderita talasemia mayor sejak bayi dan mesti menjalani
transfusi darah. ”Begitu mereka menikah, gen itu turun pada saya. Jadi,
ibaratnya dari ayah satu, dari ibu satu. Di saya jadi dua,” jelas sulung tiga
bersaudara tersebut.
Pada masa sebelum pandemi, Nisa menjalani rutinitas
transfusi dengan normal. Tiga sampai empat kantong darah yang dia butuhkan
setiap tiga pekan bisa didapat tanpa kesulitan. Dia pun dapat beraktivitas
dengan normal tanpa khawatir kondisi tubuhnya menurun.
Cukup ke RSCM, empat kantong darah didapat dari bank
darah hanya dalam waktu dua hingga tiga jam. Kondisi itu berlangsung selama
bertahun-tahun. Kalaupun datang masa sulit, itu hanya terjadi di bulan puasa
dan momen liburan sekolah. ”Karena puasa mindset orang nggak boleh donor. Kalau
donor nanti lemes. Kalau pas liburan, orang juga jarang yang donor,” ceritanya.
Namun, karena dua momen itu sudah terprediksi rutin
setiap tahun, Nisa dan penderita lainnya telah menyiapkan jauh-jauh hari. Dia
mencari pendonor sebagai cadangan menghadapi masa itu tiba. Di masa pandemi ini
kondisinya berbeda. Minimnya stok darah tidak terjadi satu–dua bulan. Ini sudah
masuk bulan keempat. Sejak Maret lalu stok darah berkurang drastis. Jangankan
di RS, di kantor PMI pun sulit didapat. Jika biasanya hanya butuh maksimal tiga
jam, kini harus menunggu berhari-hari.
Berkali-kali Nisa meng-update ke RS dan PMI untuk bisa
mendapatkan darah yang dibutuhkan. ”Kondisi badan lemes. HB (hemoglobin darah)
udah rendah masih cari darah, masih bolak-balik,” kata dia. Belum lagi dampak
akibat banyak ongkos keluar, bolos kerja, hingga risiko terpapar korona karena
bolak-balik RS. ”Tapi, ya tetap kita memilih ke RS berkali-kali timbang telat
(transfusi),” ungkapnya.
Selain ke RS dan PMI, Nisa mencari ke pendonor mandiri.
Bisa ke saudara, teman, atau bahkan orang lain yang ada dalam jejaring media
sosialnya. Kalaupun sudah menemukan yang memiliki golongan darah sama,
transfusi tak lantas langsung bisa dilakukan.
Kualitas darah pendonor harus dipastikan sesuai
standar. Kadar hemoglobin, tekanan darah, kondisi tubuh, hingga kepastian tidak
mengonsumsi obat-obatan tertentu. Meski demikian, Nisa tak pupus semangat.
Bersama sejumlah teman yang tergabung dalam komunitas Thalassemia Movement,
Nisa terus aktif mengampanyekan donor darah melalui media sosial.
Kultwit atau twit bersambung yang dibuatnya viral dan
memunculkan aksi solidaritas. Lebih dari seribu orang mendaftarkan diri untuk
mendonorkan darah. Lulusan Biologi Universitas Padjadjaran itu berharap, meski
di masa pandemi, masyarakat bisa terus melakukan donor darah.
Ada banyak orang yang membutuhkan supaya bisa terus
hidup. Bukan hanya penderita talasemia, tapi juga pasien-pasien lainnya. ”Pak
JK (Jusuf Kalla) pas awal pandemi juga menganjurkan tetap donor karena masih
ada yang butuh darah,” ceritanya.
Nisa berharap pemerintah membantu persoalan itu. Dia
mencontohkan kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh yang mewajibkan ASN mendonorkan
darah di masa pandemi perlu diikuti daerah lainnya.
Sadar akan situasi yang tidak mudah, para penderita
talasemia di wilayah Jabodetabek sendiri sudah berserikat. Sudah lebih dari
empat tahun mereka membentuk komunitas sebagai wadah saling berbagi pengalaman
dan pertolongan hingga menggerakkan misi sosial. ”Salah satu kegiatan rutin
yang dilakukan adalah menggelar acara donor darah,” imbuhnya.
Selain untuk kepentingan para penderita, komunitas
Thalassemia Movement dalam dua tahun belakangan mulai mengampanyekan bahaya
talasemia. Salah satunya dengan mendorong dilakukannya skrining (screening)
darah sebelum menikah.
Skrining tersebut penting untuk menghindari pernikahan
yang berpotensi melahirkan anak talasemia. Kalaupun memutuskan tetap menikah,
minimal kedua pasangan tahu risikonya. ”Bisa juga dengan adopsi anak atau bayi
tabung atau gimana,” ujarnya.
Pencegahan lahirnya anak talasemia, kata Nisa,
dibutuhkan untuk memutus rantai gen penurunan penyakit. ”Karena kalau didiemin
jadi bom waktu, bisa banyak pasiennya,” tutur dia. (*/c9/ayi)
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos edisi Selasa 23 Juni 2020
Comments