Karya seni pada beberapa topik dapat berperan sebagai pemantik kritik sosial yang ampuh.
FUNGSI seni sebagai pengingat akan hal-hal kritis diperlihatkan pada pameran Ghost Nets: Awakening the Drifting Giants. Sebanyak 18 patung tenun tangan yang menjadi objek pada ekshibisi itu menguatkan titel acara. Yang kurang lebih dapat diartikan sebagai Jaring Setan: Membangkitkan Raksasa yang Terombang-ambing. Karya-karya pada event itu dapat dinikmati di Museum Bahari Jakarta hingga 31 Agustus 2025.
Sebanyak 18 patung tersebut diciptakan Erub Arts, kumpulan perupa asal Erubam (Pulau Darnley) di Kepulauan Selat Torres, Australia. Mereka di antaranya Ellarose Savage, Emma Gela, Florence Gutchen, Jimmy John Thaiday, Jimmy K. Thaiday, Lavinia Ketchell, Nancy Naawi, dan Racy Oui-Pitt.
Para seniman itu menggunakan jaring-jaring nelayan sebagai bahan dasar. Jaring itu lantas dibentuk menjadi berbagai macam biota laut yang ada di perairan Australia hingga berbatasan dengan Indonesia. ”Di daerah Australia banyak sekali sampah-sampah jaring yang berserakan di lautnya,” kata Dhita Amelia, salah seorang edukator Museum Bahari Jakarta ditemui Selasa (25/3). Khususnya di perairan Kepulauan Selat Torres yang memisahkan kedua negara.
Oleh karenanya, karya itu mencerminkan nasib banyak biota laut yang terjerat limbah jaring di bawah lautan. Seni instalasi pada pameran itu menjadi kritik sekaligus kampanye menjaga lingkungan laut dari limbah jaring nelayan.
Mengubah jaring nelayan menjadi karya seni sebenarnya sudah dilakukan para perupa Erub Arts sejak 2011. Upaya itu bertujuan meningkatkan kesadaran mengenai isu-isu lingkungan di wilayah Selat Torres. Para penduduk pulau yang menjadi jagawana (penjaga) tanah dan laut adat juga telah berupaya menyelamatkan biota laut. Salah satunya ikan pari manta atau dalam bahasa setempat disebut katakay.
Selat Torres yang terletak di sebelah utara benua kanguru punya ikatan tradisional kuat dengan sebagian nelayan Indonesia. Pameran itu pun membuka dialog kedua negara terkait dampak lingkungan dari ”jaring hantu.” Itu sebabnya, biota laut yang diilustrasikan juga mirip dengan di Indonesia.
”Itu ada ikan-ikan asli dari Australia dan dari Indonesia, seperti ikan pari, ikan kerapu,” ujar Dhita.
Di antara karya paling menonjol adalah Erub Neur yang memperlihatkan karya Ikan Pari dengan ukuran paling besar. Yakni 300x220x30 sentimeter. Karya itu juga dibuat ilustrasi dalam bentuk video dan ditampilkan dalam bioskop mini Museum Bahari. Video tersebut menjadi alternatif untuk lebih menghayati kondisi di lautan.
Sementara
itu, pameran Ghost Nets tak lepas dari kerjasama dengan Kedutaan Besar
Australia. ”Pameran seni kontemporer ini merupakan representasi yang
mengesankan dari keunggulan kreativitas Australia,” ujar Kuasa Usaha Australia
untuk Indonesia Gita Kamath dalam keterangan pers. ”Pameran ini membuka dialog
tentang dampak lingkungan dari jaring dan limbah plastik, sebuah isu di mana
Australia dan Indonesia bekerja sama secara erat,” lanjutnya. (far/kkn)
Terbit di Jawa Pos Edisi 5 April 2025

Komentar