Langsung ke konten utama

Pameran Mula Pala-Pala Mula ISA Art, Visualisasi Isi Hati Pemuda Tubaba

 



Pameran Mula Pala-Pala Mula memberikan perspektif yang menggugah terhadap kata memelihara.

MULA Pala-Pala Mula merupakan pameran hasil kolaborasi ISA Art Gallery, Art at WTC Jakarta Land, dan Yayasan Sekolah Seni Tubaba. Sekolah itu merupakan lembaga pendidikan seni alternatif yang berdiri di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung, sejak 2016.

Kurasi pameran itu tak hanya menyajikan karya-karya seni rupa siswa dan pengajar Sekolah Seni Tubaba. Penikmat seni akan mendapat pengalaman kontemplatif mengenai pentingnya akar, baik sebagai sumber, penjaga, maupun penuntun kehidupan.

Judul pameran berasal dari bahasa Sanskerta: (Akar sebagai Penjaga) dan (Penjaga Akar). Kalimat itu menegaskan hubungan saling menjaga antara pengetahuan dan generasi penerus.

Exhibition Assistant Manager ISA Art Gallery Kenenza Michiko mengatakan bahwa memelihara menjadi napas utama ekshibisi tersebut. Memelihara yang dimaksud adalah aktif merawat nilai-nilai, tradisi, dan keberagaman dengan kesabaran dan ketekunan. Sebuah prinsip yang diemban para pengajar di Tubaba.

Kenenza menjelaskan, pameran itu berdiri sebagai jendela untuk memahami visi besar Yayasan Sekolah Seni Tubaba. Lembaga itu didirikan bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai cara hidup.

Seni diajarkan bukan untuk semata menghasilkan seniman. Tapi, untuk menumbuhkan empati, memperkuat rasa keberagaman, dan membentuk ruang aman bagi anak-anak dari latar belakang sosial-ekonomi beragam. Termasuk mereka yang tersingkir dari sistem pendidikan formal.

”Anak-anak di sana datang dari jalan berbeda. Ada yang putus sekolah, ada yang datang dari keluarga pekerja kebun, ada juga yang terselamatkan dari lingkaran kekerasan,” jelas Kenenza.

Belasan karya di pameran itu dihasilkan enam anak muda sekolah Tubaba. Setiap anak melukis dengan tema dan imajinasi masing-masing. Tidak ada tema khusus.

Mariska Malwa Carolina misalnya. Ia memamerkan lukisan berjudul Aku Tidak Kerbau yang berangkat dari sistem patriarki tradisional. Simbol budaya Lampung, Siger, yang melambangkan kemuliaan perempuan sangat kontras dengan kenyataan.

”Malwa mengeksplorasi kontradiksi ini, menggunakan seninya untuk mempertanyakan hierarki gender yang diwariskan,” ungkap Kenenza.

Beda lagi dengan Ecca Ajeng Vatika Dewi. Ia menuangkan beban psikologis seseorang yang tidak memiliki sosok ibu dalam lukisan berjudul Pupus. Ekspresi kekecewaan tenang dari seorang anak yang mendambakan keharmonisan keluarga, tetapi hanya disambut pengekangan dan harapan.

Karya sebagai Visualisasi Hari Mendatang

Untuk itu, seni bukan soal karya di Tubaba. Tapi, tentang bahasa baru untuk membayangkan masa depan. Dalam ruang pamer, pengunjung bisa melihat karya-karya yang menyuarakan pengalaman spiritual dan sosial anak-anak Tubaba. Ada juga lukisan geometris yang menyerupai doa visual, dokumentasi proses belajar-mengajar menyerupai ritual komunitas, hingga instalasi yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam.

Intisari dari Mula Pala-Pala Mula pada akhirnya sudah lebih dari perayaan budaya. Presentasi karya-karya artistik itu menjadi pengingat bahwa seni dan pendidikan yang memelihara bisa menjadi bentuk perlawanan sunyi, namun mendalam. Terutama dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif. Karena proses memelihara adalah fondasi dari perubahan jangka panjang. Sebagaimana akar yang tidak tampak, tapi berperan untuk menumbuhkan. (far/kkn)

 Tulisan terbit di Jawa Pos edisi 11 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً ...

Musikalisasi Lutung kasarung :Dikemas Modern, Relevan dengan Generasi Kekinian

  Musikalisasi Lutung Kasarung membuktikan bahwa sentuhan modernisasi dapat membuat cerita rakyat tetap relevan dan dinikmati lintas generasi. LUTUNG Kasarung adalah satu dari sekian kisah klasik yang kerap ditampilkan dalam pentas musikal. Namun, kolaborasi Indonesia Kaya-EKI Dance Company memiliki perspektif yang lebih modern. Musikalisasi Lutung Kasarung yang dipentaskan di Galeri Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta itu menyuguhkan kisah legendaris dengan sentuhan lebih segar. Konsepnya dapat memikat generasi muda tanpa meninggalkan akar budaya dan pesan moral. Mengambil latar Kerajaan Pasir Batang, pertunjukan itu mengisahkan seekor monyet ajaib yang menolong Putri Purbasari. Alur klasik itu berkelindan dengan properti canggih di panggung. Salah satunya kehadiran layar LED yang membangun nuansa hutan rimbun, istana, dan dinamika suasana lewat teknologi proyeksi visual. Musik pun begitu. Bebunyian khas Sunda dan musik lain berpadu harmonis dengan irama elektronik serta o...