Tak
terasa, tahun 2013 tinggal menyisakan beberapa hari. Itu artinya, tidak kurang
dari 350 hari telah dilewati bangsa Indonesia di tahun 2013, yang katanya tahun
kerja. Begitu banyak hal terjadi dalam rentan waktu tersebut, baik yang
bernuansa positif maupun negatif. Sebagaimana biasanya, tidak ada salahnya jika
penghujung tahun kita jadikan momen untuk muhasabah, sebagai tolak ukur dalam
memulai langkah di lembaran yang baru.
Pertumbuhan
ekonomi yang stabil, kerja keras KPK yang mulai menghasilkan, hingga munculnya
tokoh-tokoh calon pemimpin alternatif mewakili sisi postif yang tampak
menjelang tahun 2014 mendatang. Adapun carut marut transportasi, meningkatnya
kekerasan, hingga runtuhnya wibawa aparat penegak hukum menjadi sisi negatif
yang terlihat sepanjang tahun, melengkapi isu laten seperti korupsi dan kolusi.
Tanpa
mengesampingkan persoalan lainya -jika kita menimbang, ada dua persoalan yang
relatif baru dan mulai tumbuh menjamur di tahun 2013 ini. Pertama, persoalan
runtuhnya wibawa aparat hukum. Korupsi yang dilakukan jajaran petinggi Polri,
penyerangan LP Cebongan, hingga terkuaknya kebobrokan mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar menjadi fenomena yang paling memperihatinkan.
Logikanya, bagaimana kejahatan akan hilang jika aparatnya berada di garda depan
pelaku kejahatan?
Lihatlah
bagaimana masyarakat ngamuk dan merusak kantor MK. Peristiwa tersebut
merupakan yang pertama sepanjang berlangsungnya NKRI. Perilaku itu
memperlihatkan akumulasi dari kekecewaan masyarakat, sekaligus indikasi
lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak keadilan di negeri ini.
Supremasi
hukum yang digaungkan kala reformasi 98 menjadi sebuah romantisme belaka. Pada
praktiknya, yang kaya masih sanggup menggembosi keadilan akibat
ringkihnya mental penegak hukum. Fakta inilah yang secara tidak langsung
mempengaruhi pola pikir masyarakat. Jadi tak perlu heran jika masyarakat semakin
berani melanggar hukum, wong aparatnya saja melanggar!
Kedua,
regenerasi koruptor yang massif. Mungkin masyarakat heran, menyaksikan ulah
koruptor di media masa yang tidak ada habisnya. Yang satu belum kelar, sudah
ada kasus baru. Begitu seterusnya. Ini mengindikasikan bahwa regenerasi
koruptor terjadi begitu lancar. Jika kita ingin menelusuri hilirnya, tentu
sangatlah kompleks. Karena itu menyangkut sistem pendidikan, perubahan kondisi
sosial-budaya masyarakat, hingga dampak runtuhnya wibawa hukum itu sendiri.
Mungkinkah
Tahun 2014?
Tahun
2013 meninggalkan pekerjaan rumah yang begitu banyak. Lalu di “Tahun Politik”
mendatang, sanggupkan pemerintahan SBY menyelesaikan -setidaknya memperbaiki
segudang persoalan tersebut disisa pemerintahanya?.
Jika
kita mengaca pada masa lalu, tahun politik bukanlah saat yang baik untuk
bekerja. Kabinet Indonesia Bersatu kreasi SBY yang digawangi beberapa pimpinan
partai menjadi salah satu alasan yang mendasari. Waktu, hati, dan konsentrasi
kerja diyakini banyak kalangan sudah tidak sepenuhnya menjalankan amanah yang
diembannya. Hal yang sama diyakini juga terjadi di legislatif. Tak usah bingung
mencari contoh, tengoklah bagaimana Presiden SBY yang tanpa malu “turun gunung”
menyelesaikan persoalan partainya yang mengalami penurunan elektabilitas
menjelang pemilu 2014.
Tentu
yang bisa diharapkan adalah pemerintahan baru yang akan kita tentukan bersama
dalam pesta demokrasi di tahun depan. Sebagai warga Negara, kita dituntut
cermat dan pandai dalam menentukan orang-orang yang akan duduk di pemerintahan.
Dengan harapan, peluang untuk Indonesia yang lebih baik di tahun 2014 bisa
terwujud.
Comments