A.
LATAR BELAKANG
Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan yang pada
dasarnya adalah menentukan pijakan hidup seorang manusia pada sebuah keyakinan
akan kebutuhan fitrawi manusia itu sendiri atas kepercayaan yang dianutnya.
Unsur ajaran dan tata nilai menjadi sebuah bangunan kokoh yang tertanam dalam
esensi ajaran dari sebuah agama. Ajaran dan tata nilai tersebut menciptakan
sebuah bangunan tradisi yang menjadikan aktifitas kehidupan memiliki aturan
dalam proses interaksi sosial-keagamaan. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa
manusia pada dasarnya memerlukan kepercayaan dan sebuah pedoman untuk hidup.
Pemberian kepercayaan dan sebuah pedoman manusia tidak
dapat secara langsung diberikan, melainkan dengan sebuah perantara yaitu
dakwah. Secara terminology dakwah telah banyak didefinisikan oleh para ahli.
Sayyid Qutb memberi batasan dengan ‘mengajak’ atau ‘menyeru’ kepada orang lain
masuk kedalam sabil Allah Swt. Bukan
untuk mengikuti dai atau sekelompok orang. Dakwah sendiri dapat didefinisikan
menjadi empat pengertian, yaitu: pertama,
ajakan kejalan Allah Swt. Kedua,
dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga,
kegiatan untuk mempengaruhi manusia agar masuk jalan Allah Swt. Keempat, sasaran bisa secara fardiyah atau jama’ah.[1]
Proses penyampaian dakwah juga harus selalu
diperhatikan dari segala aspek. Karena keberhasilan suatu dakwah dapat dilihat
ketika mampu merubah seseorang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Swt.
dan menjauhi larangan-Nya. Dimulai dari aspek kehidupan yaitu dari segi
sosialisasi terhadap sesama, lingkungan, ekonomi, psikologis dan kebutuhan. Hal
tersebut merupakan langkah awal yang harus diperhatikan oleh komunikator [da’i]
sebelum menyampaikan pesanya kepada komunikan [mad’u] agar tidak terjadi
kesalahan pemahaman dalam isi pesan yang disampaiakan.
B.
PEMBAHASAN
Apabila diilustrasikan, dakwah itu variasinya
dimulai dari sekumpulan fakta mengenai sesuatu yang disebut data (pengalaman
keagamaan dalam sejarah kehidupan umat manusia yang empiris atau tekstual atau
dekstrional), kemudian membentuk informasi yaitu data yang dapat mengubah
persepsi knowledge seeker (mad’u/sasaran
dakwah) untuk kemudian memungkinkan terjadinya perubahan keputusan dan perilau.
Dalam kegiatan atau aktifitas dakwah perlu diperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam dakwah atau dalam bahasa lain
adalah komponen-komponen yang harus ada dalam setiap kegiatan dakwah. Dan
desain pembentuk tersebut adalah meliputi;
DAI
Dai adalah orang yang melaksanakan dakwah baik
secara lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu,
kelompok, atau bentuk organisasi atau lembaga. Lalu siapa dai itu? Pada
dasarnya, semua pribadi muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah,
artinya orang yang harus menyampaikan atau dikenal sebagai komunikator dakwah
itu dapat dikelompokkan menjadi:
1. Secara umum adalah setiap muslim atau
muslimat yang mukallaf [dewasa] di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan
suatu yang melekat, tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut islam,
sesuai dengan perinath: “sampaikan walau satu ayat”.
2. Secara khusus adalah mereka yang
mengambil keahlian khusus [mutakhasis] dalam bidang agama islam, yang dikenal
dengan panggilan ulama.[2]
Keefektifan komunikasi dakwah tidak saja ditentukan
oleh kemampuan berkomunikasi, tetapi juga oleh diri komunikator. Fungsi
komunikator [dai] dalam pengutaraan pikiran dan perasaannya dalam bentuk pesan
untuk membuat komunikan menjadi tahu dan berubah sikap, pendapat, dan
perilakunya. Komunikan yang akan mengkaji siapa komunikator yang akan
menyampaikan pesan tersebut. Jika ternyata informasi yang diutarakan tidak
sesuai dengan diri komunikator – betapapun tingginya teknik komunikasi yang
digunakan- maka hasilnya tidak akan sesuai yang diharapakan.[3]
Di sisi lain untuk mendukung keberhasilan dan
legitimasi pelaku dakwah selaku komunikator, pelaku dakwah harus berupaya
memiliki dan membina sifat-sifat sebagai berikut.
a. Harus benar-benar istiqomah dalam
keimanannya dan percaya seyakin-yakinnya akan kebenaran agama islam yang
dianutnya untuk kemudian diteruskannya kepada umat.(QS. Al.Baqarah (2):285 dan
QS. Fushilat (41):30)
b. Harus menyampaikan dakwahnya dengan
lidahnya sendiri. Dia tidak boleh menyembunyikan kebenaran, apalagi menukar
kebenaran tersebut dengan nilai harga yang rendah. (QS. Ali ‘Imran (3):187)
c. Menyampaikan kesaksiannya tentang
kebenaran itu, tidak saja dengan lidahnya, tetapi sejalan dengan perbuatannya.
(QS. Al-Baqarah (2):44 dan QS. Ash-Shaff (61):3)
d. Berdakwah secara jujur dan adil terhadap
semua golongan dan kelompok umat dan tidak terpengaruh dengan penyakit hati,
seperti hasad, sombong, serakah, dan sebaginnya. (QS. Al-Maidah (5):8 dan QS.
Al-Hujurat (49):10)
e. Berdakwah dengan niat yang ikhlas hanya
karena Allah dan mengharapkan ridha-NYA. (QS. Al-Baqarah (2):265 dan
Al-Bayinnah (98):5)
f. Menjadikan Rasulullah saw. Sebagai
contoh teladan uatama dalam segenap kehidupan baik pribadi maupun rumah tangga
dan keluarga. (QS. Al-Ahzab (33):21)
g. Mempunyai
keberanian moral dalam berdakwah, namun memahami batas-batas keimanan yang
jelas. (QS. Al-An’am (6):108 dan QS. Al-Fath (48):29)
h. Mengutamakan persaudaraan dan persatuan
umat, sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah. (QS. Al-Hujurat (49):10 dan
Al-Hasyr (59):9)
i.
Bersifat
terbuka, penuh toleransi, lapang dada dan tidak memaksa. (QS. Al-Baqarah
(2):256 dan QS. Al-‘Ashr (103):3)
j.
Tetap
berjihad dalam kondisi bagaimanapun, dengan keyakinan bahwa Allah akan berpihak
pada yang benar dan member petunjuk untuk itu. (QS. Al-Jumu’ah (62):10-11)[4]
Selain hal diatas, seorang komunikator [da’i] harus
mengetahui bahwa yang berpengaruh bukan hanya apa yang dia katakan, melainkan
juga keadaan dia sendiri. He doesn’t
communicate what he says, he communicate what he is. Da’I tidak dapat
menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang dia bicarakan. Kadang-kadang siapa lebih penting daripada apa, walaupun ada sebuah kata dalam
islam “lihatlah apa yang dikatakan dan
jangan lihat siapa yang mengatakan”. Aristoteles menyebut karakter
komunikator ini adalah ethos, ethos
terdiri dari pikiran baik, akhlak baik dan maksud yang baik. Semua itu bisa
dikatakan dengan sebutan kredibilitas seorang komunikator [da’i]. Tetapi kita
tidak hanya melihat pada kredibilitas sebagai faktor yang mempengaruhi
efektifitasan dakwah. Kita juga harus melihat dari unsur lainnya yaitu: atraksi
komunikator (source attractiveness) dan kuasaan (source power). Hanya saja
diantara ketiga factor diatas, yang sangat dibutuhkan oleh seorang komunikatr
[da’i] adalah suatu kredibilitas tinggi dalam menyampaikan pesan.
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate
tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terdapat dua hal: (1)
kredibilitas adalah persepsi komunikate;jadi tidak inheren dalam diri
komunikator; (2) kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang
selanjutnya akan kita sebut sebagai komponen-komponen kredibilitas. Kebanyakan
penelitian kredibilitas berkenaan dengan prior ethos. Karena hasil peneltian
lebih cenderung kepada komunikator [da’i] yang memiliki kredibilitas tinggi
yang mampu merubah sikap komunikan [mad’u].
Dua hal terpenting dalam kredibilitas [prior ethos]
atau komponen-komponen kredibilitas yaitu, keahlian
dan kepercayaan. Keahlian adalah,
kesan yang diberikan komunikate tentang kemampuan komunikator dalam
hubungannnya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator [da’i] yang dinilai
tinggi pada keahlian dianggap sebagai cerdas, mampu, ahli, tahu banyak,
berpengalaman, dan terlatih. Tentu sebaliknya,komuniaktor [da’i] yang dinilai
rendah pada keahliannya dinggap tidak berpengalaman, tidak tahu atau bodoh.
Kepercayaan adalah, kesan komunikate terhadap komunikator terkait dengan
wataknya. Apakah komunikator [da’i] dinilai jujur, tulus, bermoral, adil,
sopan, dan etis? Atau dia dinilai tidak jujur,, lancing, suka menipu, tidak
adil, dan tidak etis?.[5]
Kredibilitas itu muncul dari dalam diri komunikator sendiri yang terlihat oleh
komunikan. Ketika seorang da’I mampu menunjukkan sikap sesuai dengan apa yang
dia sampaikan, maka yang akan muncul dalam presepsi mad’u adalah gambaran suatu
kredibilitas yang tinggi. Adanya kredibilitas pada seorang da’I itu bergantung
pada carfa bagaimana da’I itu berkomunikasi.
MAD’U
Mad’u
adalah manusia yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran dakwah atau
manusia penerima dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama
islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Muhammad Abduh
memebagi mad’u mejadi tiga golongan yaitu:
1. Golongan
cerdik cemdekiawan yang cinta kebenaran
dan dapat berfikir secara kritis, cepat menangkap persoalan.
2. Golongan
awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat
berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap
pengertian-pengertian yang tinggi.
3. Golongan yang berbeda dengan golongan
diatas adalah mereka yang senang membahas
sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tak sanggup mendalami benar.[6]
Masalah yang dihadapi dalam hal ini sangat kompleks,
meliputi hal-hal berikut.
a. Masalah keimanan atau ketauhidan, yang
semakin lemah dan banyak dicemari oleh perbuatan syirik, khurafat dan takhayul, terutama di lapisan masyarakat yang kurang
pendidikan agamanya.
b. Masalah ekonomi, yang dipicu oleh krisis
moneter dan kondisi kehidupan dibawah garis kemiskinan, banyaknya pengangguran,
sulitnya lapangan pekerjaan, lemahnya etos kerja, dan keterampilan terbatas.
c. Masalah sosial yang semakin menonjol
seperti menurunnya keperdulian antarsesama, tenggang rasa yang semakin
berkurang, keluarga yang tidak harmonis, kenakalan remaja, prostitusi dan
penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.
d. Masalah budaya yang sekularistik dan hedonistic.
Media komunikasi dan informasi dengan teknologi yang semakin canggihb telah
membuat tanggul kekuatan moral dan akhlak tak berdaya. Pergaulan bebas tanpa
menghiraukan norma-norma agama semakin merata terutama dikalangan remaja,
tindak kriminalitas, perkosaan, dan pembunuhan telah menjadi berita harian,
budaya sogok, korupsi, dan komisi seperti terlah menjadi kebutuhan yang
dilegalkan.[7]
Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah
manusia. Dalam hal ini kita memandang komunikasi justru pada perilaku manusia
komunikan. Dimulai dari menganalisa berapa banyak “noise” terjadi dijalan sebelum pesan sampai pada komunikate, dan
berapa banyak pesan yang hilang. Kemudian membicarakan bagaimana manusia
memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berfikir dan cara melihat
manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki.
Dalam dakwah juga harus memperhatikan faktor-faktor
personal dan situasional yang mempengaruhi perilaku manusia atau komunikan atau
mad’u. dakwah sendiri menggunakan teori komunikasi persuasi. Teori-teori
persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis
yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh
keinginan-keinginan terpendam (Homo
Volens). Teori “Jarum Hipodermik” (yang menyatakan media massa sangat
berpengaruh) dilandasi konsepsi behaviorisme
yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan
(Homo Mechanicus). Teori pengolahan
informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif
mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori
komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistik yang menggambarkan manusia
sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya
(Homo Ludens).[8]
Oleh karenanya, objek dakwah sebaiknya
diklasifikasikan agar memudahkan pelaksanaan dakwah, seperti kelompok awam dan
intelektual, kelompok masyarakat kota dan desa, kelompok industri dan pegawai
negri, serta kelompok remaja pria dan wanita. Dengan pegelompokan itu
diharapkan pelaksanaan dakwah akan lebih intesif dan terkendali. Apabila objek
dakwah sudah jelas dari segala aspek, maka pelaku dakwah (da’i) lebih mudah
untuk mengenal dan dapat mensinkronkan dengan kegiatan dakwah yang akan
diproyeksikan. Kegiatan dakwah yang punya kolerasi dengan permasalahan
kehidupan yang dihadapi masyarakat akan menjadikan dakwah lebih berkesan dan
menarik untuk diikuti.
C.
KESIMPULAN
Seorang dai tidak hanya memperhatikan
siapa yang akan diberikan pesan, melainkan juga harus memahami tentang karakter
diri sendiri dan apa saja yang harus diperhatikan sebagai seorang da’i. Karena
keberhasilan dakwah itu bisa teradi karena pengaruh dari da’I itu sendiri.
Tetapi memahami karakter mad’u juga harus selalu diperhatikan. Apabila sasaran
dakwah sudah dikenal, pesan akan lebih mudah disampaikan. Jadi seorang da’I
harus mampu membedakan sasaran dakwah dan pesan yang akan disampaikan sesuai
dengan aspek sosial, ekonomi, pendidikan dan psikologis mad’u atau komunikan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Pahlawan Khatib kayo, Drs. RB,
2007, “Manajen
Dakwah” dari dakwah konvensional menuju dakwah profesional , Jakarta :
Hamzah.
2. Ilaihi Wahyu, M.A.,
2010, “ Komunikasi Dakwah”, Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA.
3. Rakhmat Jalaludin, Drs.,M.Sc.
2008, “ Psikologi Komunikasi” , Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA.
[1] Wahyu ilhami, M.A., “Komunikasi
Dakwah”.PT REMAJA ROSDAKARYA.Bandung.2010. Hlm, 14-15.
[2] Wahyu ilhami, M.A., “Komunikasi
Dakwah…... Hlm, 19.
[3] Wahyu ilhami, M.A., “Komunikasi
Dakwah ……. Hlm, 77.
[4]Drs. RB. Khatib Pahlawan Kayo, “MANAJEMEN
DAKWAH, Dari dakwah konvensional menuju dakwah professional”.AMZAH.Jakarta.2007.Hal,
49-51.
[5] Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., “psikologi
Komunikasi” PT REMAJA ROSDAKARYA. Bamdung.2008.Hal,254-260.
[6] Wahyu ilahi. M.A., “Komunikasi
Dakwah”……..Hal,20.
[7] Drs. RB. Khatib Pahlawan Kayo, “MANAJEMEN
DAKWAH ………… Hal,51-52.
[8] Drs.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., “Psikologi
Komunikasi”…….Hal, 17-18.
Comments