OLEH : FOLLY AKBAR
Perkembangan teknologi dan globalisasi sangat memberikan dampak yang teramat besar bagi kehidupan manusia. Dampaknya begitu terasa di semua lini kehidupan tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Kondisi zaman yang segala aktivitasnya menggunakan hasil teknologi memaksa institusi pendidikan khususnya Perguruan Tinggi(PT) untuk mencetak para ilmuwan demi tuntutan pasar.
Atas tuntutan pasar itulah, mayoritas PT berlomba-lomba membuka jurusan yang sifatnya sains dan ilmu sosial. Bahkan Perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI) turut banting setir dengan membuka jurusan yang sifatnya tidak agamis lagi.
Banyak STAIN konversi menjadi IAIN, yang IAIN ingin konversi menjadi UIN yang notabenya boleh membangun fakultas umum. Sehingga potensi untuk bangkrut relatif lebih kecil mengingat jurusan umum lebih diminati ketimbang jurusan agama.
Jika dulu PTAI identik dengan jurusan seperti Pemberdayaan Masyarakat Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, Perbandingan Mazhab, jangan heran jika kini PTAI berlomba mendirikan fakultas umum seperti kedokteran, sains teknologi, ilmu sosial dan ilmu lainya. Entah disadari atau tidak jika kebijakan itu akan mematikan jurusan agama yang sudah terlahir lebih dulu. Dan nyatanya eksistensi jurusan agama benar-benar dikalahkan jurusan baru yang lebih prospektif.
Tidak hanya itu, nama fakultas yang tadinya murni Islam kini banyak dirubah dengan menambahkan nama yang lebih komersial, dengan harapan mampu menambah daya tarik masyarakat yang sudah meninggalkan jurusan agama. Misalnya Fakultas Syariah dirubah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum lalu Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dll. Mungkin dengan harapan PTAI tidak ditinggalkan oleh masyarakat.
Islam Terasingkan
Tampaknya apa yang dikatakan Rasulullah bahwa Islam terlahir dalam keadaan terasing dan suatu saat akan terasingkan kembali di tengah umatnya, akan menjadi sebuah kenyataan. Banyak umat Islam yang enggan dan malu dengan identitasnya, dan justru bangga ketika menggunakan identitas barat yang jauh dari kehidupan Islami.
Dalam keseharian kita bisa melihat bagaimana Islam di asingkan bahkan di ejek oleh pemeluknya. Misalnya jika ada seseorang yang memutar musik bernuansa Islami, dengan serentak teman-temanya bersorak, mengeledek bahkan tertawa tanpa rasa salah, jika ada pemuda yang memakai sarung dengan baju koko dan pecinya maka semua serentak berkata “wiihhhh… ada ustad, ada kiyai” dan masih banyak contoh lainya.
Hal tersebut pun terjadi dalam lingkup pendidikan, anak muda sekarang enggan melanjutkan study di jurusan agama karena takut di ejek tetangga dengan sebutan calon ustad. Tidak hanya disitu, dalam bursa perekrutan tenaga kerjapun kerap terjadi diskriminasi bagi lulusan yang memiliki gelar dengan embel-embel Islam seperti S.Pd.I, S.Hi dll. Atas dasar itulah mayoritas PTAI mulai meminggirkan jurusan agama.
Rasa ketakutan akan ketertinggalan yang ditunjukan PTAI(Kemenag) menggambarkan tidak adanya rasa percaya diri akan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin sehingga kita menjauhkan diri dari identitas agama dan mengikuti mimpi borjuis modernitas. Idealnya, PTAI menjadi mesin produksi yang mencetak manusia-manusia yang mampu menyeimbangkan bejatnya moral modernitas.
Apa yang dilakukan PTAI memang tidak semuanya berakibat negatif, ada juga hal positif yang diperoleh. Salah satu dampak positifnya adalah menepiskan anggapan masyarakat bahwa agama dan eksak itu adalah dua hal yang tidak bisa disatukan. Dengan adanya konsep integrasi interkoneksi yang digulirkan PTAI dengan memasukan ilmu agama di kurikulum jurusan umum menggambarkan betapa Islam itu fleksibel dengan ilmu apapun.
Tapi lagi-lagi masyarakat menghakimi konsep tersebut dengan adanya anggapan bahwa lulusan PTAI adalah produk setengah jadi, alias setengah umum setengah agama. Hal ini pula yang mengakibatkan nilai jual produk PTAI belum diperhitungkan dalam bursa kerja. Masyarakat sudah terlanjur menganggap PTAI identik dengan ilmu agama sehingga dalam keilmuan umum masyarakat lebih percaya dengan produk PT umum di bandingkan produk PTAI.
Menuju Pusat Study Dunia
Melihat kondisi yang seperti ini, lebih baik PTAI kembali kejalur asalnya dengan tetap memfokuskan diri mengkaji ilmu agama dengan harapan mampu menjadi pusat study agama di dunia. Malaysia yang berpenduduk muslim 60% saja mampu menjadi salah satu pusat study agama apalagi Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia?
Dengan 200 juta penduduk muslim, potensi Indonesia untuk menjadi pusat study agama di dunia seperti al-azhar(kairo) sangat mungkin terwujud. Meskipun tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, tapi itu adalah sesuatu yang rasional, yang artinya bisa dilakukan.
Mungkin kelak 20 tahun lagi, mahasiswa Indonesia tidak perlu ke kairo atau madinah jika hanya untuk mendalami Islam, ketika Indonesia sudah menjadi salah satu kiblat study agama. Andai ada keberanian dari PTAI untuk tetap konsisten dengan ilmu agama ditambah dengan perbaikan yang dilakukan secara serius, semua itu pasti tercapai.
Ingatlah, apapun yang terjadi dikemudian hari, semuanya tidak pernah terlepas dari apa yang kita lakukan saat ini.
Comments