PENDAHULUAN
Kebangkitan agama dan demokrasi merupakan dua fenomena paling penting dalam dasawarsa terakhir abad kedua puluh. Di berbagai wilayah di dunia, gerakan-gerakan kebangkitan agama berjalan seiring dan terkadang memperkuat pembentukan sistem politik yang lebih demokratis. Sementara di wilayah-wilayah lain, kedua dinamika itu saling bertentangan. Di dunia Islam, isu-isu ini muncul ke permukaan secara istimewa disebabkan adanya kekuatan kebangkitan Islam dan menguatnya tuntutan terhadap partisipasi rakyat yang lebih besar dalam proses politik pada tahun-tahun belakangan ini.
Revolusi Islam yang berhasil menggulingkan kerajaan Iran pada 1979 merupakan salah satu revolusi rakyat yang pertama dalam perempat terakhir abad kedua puluh melawan sebuah sistem politik otoriter modern. Pada awal 1990-an gerakan Islam lainnya, paratai Front Keselamatan Islam (FIS), ditindas dengan keras setelah secara dramatis mengungguli partai pemerintah otoriter di Aljazair, Front Pembebasan Nasional (FLN), dalam pemilihan umum bebas yang diselenggarakan pemerintah. Di berbagai belahan dunia Islam, salah satu isu penting yang menentukan masa depan politik adalah hubungan antara kekuatan kebangkitan Islam dan perkembangan sistem politik yang demokratis.
Para pemimpin pemerintahan dan politik di seluruh dunia Islam menanggapi keinginan rakyat ihwal partisipasi politik dan aktivitas keagamaan yang lebih luas itu. Para penguasa dihadapkan pada pilihan antara menindas atau memberi uang bagi partisipasi rakyat yang lebih besar. Resikonya, jika salah mengambil pilihan, mereka sendiri dapat kehilangan kekuasaan seperi dialami Syah Iran atau FLN Aljazair. Jika mereka tidak segera menyesuaikan diri dengan tuntutan semacam itu, mereka dapat terguling; namun jika menerapkan sistem politik yang terbuka, mereka menghadapi risiko kalah dalam pemilihan umum. Gerakan-gerakan Islam pun menghadapi pilihan pelik antara menyesuaikan diri atau melakukan perlawanan dengan kekerasan terhadap sistem yang ada. Semua kelompok, baik Islam maupun sekular, yang mengupayakan demokratisasi yang lebih luas mesti menentukan strategi yang paling efektif untuk mencapai tujuan mereka. Pilihan-pilihan itu melibatkan konflik kekuasaan karena antara rezim penguasa dan gerakan oposisi rakyat itu terjalin berbagai relasi yang sangat kompleks. Persaingan, kerja sama, dan pertentangan merupakan relasi-relasi yang palin menentukan kehidupan umat Islam dalam tahu-tahun pertama abad kelima belas dan tahun-tahun terakhir abad kedua puluh ini.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani yang berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Maka kata demokrasi berarti kekuasaan yang ada ditangan rakyat. Disebut juga bahwa demokrasi adalah suatu system dimana kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dari system ini kemudian muncul sejumlah syarat utuk disebut sebuah Negara demokrasi atau satu sistem pemerintahan melaksanakan demokrasi, yakni tidak ada paksaan terhadap pengungkpan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul. Karena itu asas terpenting dari sebuh demokrasi adalah adanya kebebasan berpendapat ,kebebasan memilih dan semacamnya.
B. Islam dan Demokrasi
Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep shura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.
2. Menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara muslim dan non muslim dan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan equalitynya demokrasi.
3. Sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan tetapi perlu diakui, bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan.
Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umum Islam dan demokrasi, sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, bahkan berlawanan. Sebab untuk melihat hubungan Islam dan demokrasi, setidaknya menurut Turan harus dilihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya.
Jika demokrasi dilihat dari segi sistemnya yang diikuti dengan realisasi asas pemisahan antara kekuasaan, model seperti ini juga diterapkan dalam Islam. Dalam kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat dan terpisah dari kekuasaan imam atau presiden. Asalkan tidak bertentangan dengan nilai al-Qur’an. Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu terkait dengan adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, keadilan social dan sebagainya, maka sebenarnya hak-hak tersebut semuanya ada dalam al-Qur’an. Meskipun hak – hak tersebut bisa beragam, kadang dalam al-Qur’an hak tersebut disebutkan sebagai hak-hak Allah, hak bersama Allah dan hambanya dan hanya milik manusia. Tapi nilainya tetap satu, bahwa manusia, baik dalam sistem demokrasi atau Islam, dijamin dalam mendapatkan hak tersebut. Begitu pula jika demokrasi yang dimaksud sebagaimana dikatakan Abraham Lincoln adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (from people by people and for people), pengertian ini juga terdapat dalam Islam, dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
Dengan melihat sudut pandang seperti ini maka akan mudah, dari pintu mana akan melihat hubungan Islam dan demokrasi. Jika dilihat dari seluruh pintu, sebagaimana disebut diawal tulisan ini, Islam dan demokrasi memiliki latar belakang yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Khaldun, Islam berupa ajaran Tuhan yang penuh dengan nilai-nilai profetik, sementara demokrasi adalah hasil ijtihad manusia yang sarat dengan profanistik. Identifikasi Esposito dan Piscatori tersebut khususnya pandangan Islam identik dengan nilai-nilai demokrasi bukanlah tanpa alasan.
1. Islam tetap memelihara tradisi ijtihad (berfikir secara bebas dan benar) untuk mendapatkan dan menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad dimaksud sejalan dengan kebebasan berfikir manusia untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik bila terbelenggu oleh ketidakjelasan hukum.
2. persamaan (al-musawa), Islam tidak membedakan suku, ras, golongan, warna kulit, kaya-miskin, dsb. Dalam Islam dan semua makhluk diperlakukan sama oleh Allah kecuali kadar ibadahnya. Prinsip persamaan (equality) ini banyak ditentang oleh penulis barat yang ternyata Islam dianggap acap tidak konsisten. Misalnya dalam memperlakukan mu’min dan kafir serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dalam praktiknya Islam tidak memperlakukan sama.
3. Shura, Hampir tidak ada perbedaan pandangan bahwa syura merupakan prinsip Islam dan demokrasi, Islam selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai kemufakatan bersama yang itu dimulai sejak Nabi menjadi pemimpin umat di Madinah.
4. Bay’at, yaitu kesepakatan pemimpin untuk memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, dan pernyataan rakyat secara langsung untuk loyal dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh sang pemimpin. Bay’at ini merupakan cermin sikap terbuka, bahwa seorang pemimpin benar-benar mendapat legitimasi dari rakyat.
5. Majlis (parlemen) yaitu suatu lembaga perwakilan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi.
Disamping lima prinsip itu juga terdapat prinsip adl (keadilan), haq (hak), dan kebebasan. Kebebasan menurut el-Awa merupakan prinsip utama dalam pemikiran demokrasi Islam.
Dalam syariat Islam, pemberi keputusan tertinggi adalah Allah SWT, dan tunduk kepada selain Allah adalah perbuatan syirik, sedang demokrasi yang dimaksudkan oleh orang Barat adalah bahwa keputusan teringgi ada ditangan masyarakat. Hal ini sangatlah bertentangan dengan Islam yang menyerahkan segala keputusannya hanya kepada syariat Allah, dan orang yang berserah diri kepada-Nya dan yang lainnya merupakan perbuatan syirik, dan yang tidak berserah diri (muslim) pada-Nya disebut sebagai orang yang kafir.
Demokrasi yang selama ini digemborkan oleh Barat bukanlah solusi akhir dalam pemecahan masalah perpolitikan dalam Islam pada saat ini, karena maksud dari demokrasi ini adalah menjauhkan umat manusia dari Allah SWT. Demokrasi ini jangan dijadikan suatu tumpuan selain Allah, akan tetapi jadikannlah sebagai jalan untuk mengukur antara kemaslahatan dan kerusakan, supaya kita bisa memilih yang lebih sedikit bahaya dan kerusakannya. Maka demokrasi disini memiliki dua sisi, yakni:
1. sisi yang sejalan dan diakui oleh Islam, bahkan agama juga mendorong dan mengharuskannya, seperti hak rakyat yang ada dalam kekuasaan para pemimpin mereka, juga dalam pengawsan rakyat terhadap pemimpin mereka.
2. Sisi lain Islam menolaknya, karena hal tersebut menyebabkan syirik kepada Sang Pencipta Allah SWT, karena dialah pembuat hukum yang mutlak yang tidak bisa dirubah oleh siapapun.
Maka umat Islam tidaklah bisa menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mengharamkan yang halal, atau menggantikan hukum lainnya. Akan tetapi peran mereka adalah seagai pelaku dari hukum yang telah disyariatkan dan ditentukan oleh Allah SWT. Barat berpegang pada demokrasi sebagai dasar dari hukum dan pemerintahan didalam kehidupan mereka, sedangkan Islam berpegang pada Syura dalam menjalankan kehidupan. Syura adalah pengambilan pendapat dari orang yang ahli dan kompeten di bidangnya, kemudian diolah bersama-sama. Dalam syuro ini ada sekelompok orang yang mendengarkan, sekelompok orang yang mengusulkan, membicarakannya kemudian mendiskusikan dan memusyawarahkannya. Dalam musyawarah tersebut, terdapat banyak pendapat yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat pada satu objek permasalahan, tujuannya adalah manjalankan pendapat yang diambil dari keputusan bersama, ketika tiap individu mengeluarkan pendapatnya masing-masing, setelah permasalan tersebut dimusyawarahkan bersama dan memperoleh keputusan yang terbaik. Arena atau bidang dalam melaksanakan syuro bermacam-macam dan beraneka ragam, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu dalam hukum, pemerintahan, administrasi suatu perusahaan atau kantor, rumah, tempat khusus, dan dalam hubungan antara sesama manusia.
Ayat-ayat tentng demokrasi
Al-shuro ayat 38
Dan(bagi) orang yang menerima)mematuhi seruan Tuhanya dan mendirikn shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dengan mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezekiyang Kami berikan kepada mereka.
Ali imran ayat 15
Maafkanlah mereka, mohon ampunlah bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini.
At-taubah ayat 1
(inilah pernyataan) pemutusan perhubungan daripada allahdan rasul-Nya(yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrik yabg kamu(kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian9dengan mereka).
Dari ketiga ayat diatas dapat ditegaskan beberapa prinsip:
1. Kedaulatan adalah ditangan rakyat(umat)
2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan musyawarah(syura)
3. Kepala pemerintahan adalah imam atau khalifah, yaitu pelaksana syari’ah(ajaran agama)
4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat(umat)
pPenutup
Dari kupasan tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan,bahwa demokrasi yunani kuno merupakan benih dari demokrasi modern yang sekarang di batasi sedemikian rupa dengan berbagai batasan; demokrasi terpimpin,demokrsi sosialis,demokrasi pancasila dan semacamnya.
Demokrasi adalah hal tidak bisa dilupakan,khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan,lebih khusus dalam membentuk sistem perwakilan (dewan).
Akan halnya dengan peran Islam juga tidak di ragukan keberadaannya,meskipun prinsip demokrasi yg diajarkan nash ini di nodai oleh praktek muslim yang pada umumnya negara muslim,khususnya sejak masa pemerintahan Bani Ummayah sampai sekarang pada umumnya negara timur tengah.Dengan demikian secara teoritis,Islam mengajarkan Demokrasi,tetapi ajaran ini tidak tampak dalam praktek negara yang di proklamirkan sebagai Negara Muslim.
Daftar Pusaka
Masdar, Umaruddi, Membaca Pikiran Gus dur dan Amien Rais tentang Demokrasi.1999, Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Hakim M. Arief, Jejak – Jejak Islam Politik. 2004, Departemen Negara RI; Jakarta
L.Eposito, John & O.Voll, John, Demokrasi di Negara – Negara Muslim Problem dan Prospek.1995; Penerbit Mizan
Comments