Ditengah pincangnya induk persepakbolaan Indonesia yang terintervensi kepentingan politik dan dalam bayang-bayang sanksi FIFA, masalah lain telah menghadang PSSI yang mudah-mudahan segera terbentuk itu. Keputusan mengenai pemberhentiaan kucuran dana APBD terhadap klub-klub di Indonesia jelas akan memberikan dampak yang tidak kecil. Karena kita tahu, lebih dari 90% klub di Indonesia dihidupi kucuran dana APBD. Dalam sepak bola modern memang tidak diperbolehkan menggunakan uang rakyat, akan tetapi kondisi sekarang tampaknya masih kurang bersahabat dengan kebijakan ini.
Rata-rata klub ISL saja membutuhkan biaya diatas 10 miliyar dalam semusim, bahkan tidak sedikit yang menyentuh angka berkisar 20 miliyar. Dana sebesar itu sulit di dapat jika hanya mengandalkan sponsor, apalagi tidak banyak perusahaan yang siap memberikan sponsor ditengah perekonomian yang serba sulit. Pendapatan lewat karcis pun hanya bisa di nikmati oleh klub yang memiliki supporter besar seperti Arema Indonesia. Sehingga mau tidak mau uang rakyat yang menjadi opsi, tapi kini uang rakyat tidak bisa lagi digunakan.
Jika hal ini tidak segera dicarikan solusinya, bisa kita bayangkan berapa banyak klub yang akan berguguran di musim depan. Persoalan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab PSSI yang kelak akan terbentuk. Tapi semua insan sepak bola Indonesia harus bahu membahu menyelesaikanya, tak terkecuali para pemain sepak bola itu sendiri.
Jika kita lihat dari sekian banyak pengeluaran klub, pengeluaran terbesar adalah biaya untuk mengontrak pemain. Di Indonesia kontrak pemain ada yang mencapai 2 miliyar, sedangkan rata-rata pemain dikontrak dengan harga 500 juta permusim. Dalam lingkup Asia Tenggara, jumlah ini termasuk besar. Bisa kita badingkan dengan liga Singapura(S-League), pemain level timnas seperti Baihaki Kaizan dihargai tidak lebih dari 300 juta. Tapi di Negara yang kesejahteraanya dibawah Singapura seperti Indonesia, pemain timnas seperti Bambang Pamungkas dihargai 1 miliyar. Melihat fakta ini, tampaknya sangat sombong sekali para pemain kita ini mengeruk uang rakyat dengan jalan terhormat.
Adanya wacana untuk membatasi jumlah gaji pemain tampaknya adalah solusi yang jitu. Ketentuan yang menyatakan gaji pemain berkisar antara 50-500 juta, dan jumlah gaji yag diterima pemain sesuai dengan title dan kemampuanya merupakn kebijakan yang rasional. Angka itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi pemain dan modal usaha ke depan. Tinggal siapa yang ingin gaji terbesar, maka harus berprestasi dan meningkatkan kualitasnya. Dengan seperti itu tidak hanya membantu keuangan klub, tapi menjadikan persaingan untuk menjadi yang terbaik akan lebih menarik dan akan berdampak baik bagi masa depan sepak bola Indonesia.
Ditengah situasi seperti ini, sangat diharapkan kesadaran pemain-pemain yang berlaga di Indonesia untuk bersama-sama menyelamatkan sepak bola Indonesia. Buat apa gaji besar tapi banyak klub bubar sehingga mempersempit lapangan kerja mereka dan tentunya mematikan sepak bola indonesia. Lebih baik, gaji dikurangi tapi sepak bola Indonesia bisa tetap eksis dan berkesempatan terus berkembang. Toh meskipun dibatasi gaji pemain bola tetap diatas rata-rata perdapatan perkapita Indonesia. Jika semua pemain memang bercita-cita memajukan sepak bola Indonesia, rasanya tidak ada alasan untuk tidak mensetujui hal ini. Ditengah kondisi yang sangat memprihatinkan ini, sudah tidak ada waktu lagi bagi siapapun untuk mempertahakan sikap egois dan kepentingan pribadi. Kita tahu, sudah terlalu lama masyarakat menunggu prestasi timnas Indonesia.
Dari pemain untuk kemajuan klub, dari klub untuk kesuksesan timnas Indonesia dan dari timnas untuk masyarakat Indonesia. Mari bersama membangun sepak bola yang merupakan ajang mengembalikan nasionalisme dan persatuan. Terbanglah garudaku..!!!
Comments