Setelah
sekian tahun menjadi pujaan masyarakat, keberadaan sekolah bertaraf
internasional yang lazim disebut RSBI/SBI
kini menjadi sorotan publik. Keberadaanya tidak mampu membawa perubahan yang
signifikan bagi generasi bangsa, melainkan menyuburkan komersialisasi
pendidikan. Bisa dibayangkan, dengan pembiayaan yang sangat gendut, RSBI terbukti
tidak menghasilkan lulusan yang diharapkan alias hanya meluluskan dengan
kualitas yang hampir sama dengan sekolah yang gratis..
Lebel
RSBI selama ini hanya sebagai ajang branding saja, dengan tujuan mampu meraup
keuntungan yang melimpah. Ini dibuktikan dengan maraknya sekolah yang mengaku bertaraf internasional, padahal
fasilitas yang ditawarkan tidaklah banyak berubah. Pembelajaran yang katanya
bernuansa internasional ternyata disampaikan dengan bahasa Indonesia, yang
membedakan hanya buku panduan bilingual yang terlihat sia-sia akibat staf
pengajar tidak mampu berbahsa inggris. Bahkan yang lebih lucunya lagi kepala
sekolahnya pun banyak yang tidak mampu berbahasa inggris.
Menteri
pendidikan Muhammad Nuh mengatakan jika program RSBI merupakan amanat
undang-undang yang perlu dijalankan. Mungkin
dia lupa jika undang-undang pun mengamanatkan pengadaan sekolah kualitas
internasional tidak sebatas nama melainkan benar-benar berkualitas.
Lebih
celakanya lagi, keberadaan RSBI tidak hanya menyuburkan komersialisasi
pendidikan saja, melainkan juga membentuk sebuah kasta pendidikan di Indonesia.
Dimana ada perbedaan hak pendidikan
antara orang kaya dan miskin. Seperti kita ketahui, biaya RSBI yang menjulang
tidak mampu dijangkau rakyat miskin. Adanya aturan bahwa 20% siswa yang sekolah RSBI berasal
dari rakyat miskin hanyalah lelucon belaka. Karena sampai kapanpun orang miskin
akan minder berada di samping orang kaya. Padahal subsidi yang diberikan
pemerintah untuk menghidupkan RSBI tidak berasal dari uang orang kaya saja
melainkan uang seluruh rakyat Indonesia. Berarti ini telah melanggar
undang-undang, karena undang-undang mengamanatkan untuk menghilangkan
diskriminasi dalam mendapat hak pendidikan, tapi nyatanya program RSBI
dijadikan ajang pembedaan kasta dalam pendidikan.
Jika sudah
demikian, lantas dimana letak perbedaan pendidikan di masa kemerdekaan dengan
pendidikan di masa penjajahan? Sistem pendidikan saat ini, mengingatkan kita
untuk kembali menengok pahitnya masa lalu, dimana saat itu terjadi diskriminasi
yang mengakibatkan orang miskin tidak memperoleh hak mendapat pendidikan dan
hanya orang kaya dan terhormat yang berhak sekolah. Memang di saat sekarang
orang miskin boleh sekolah, akan tetapi hanya di sekolah pinggiran, sedangkan
sekolah yang lebih berkualitas hanya untuk orang kaya. Karena memang orang
miskin tidak mampu mengaksesnya dikarena biaya yang mahal, kalaupun gratis
harus berurusan dengan birokrasi yang ribet, tentu mereka berfikir ulang, makan
aja susah masa harus dibuat susah lagi? Akhirnya menerima sekolah yang apa
adanya aja, yang penting judulnya anak sekolah.
Jadi bisa
dikatakan yang membedakan sistem kasta pendidikan di zaman Belanda dengan zaman
sekarang hanya bentuk riilnya saja, akan
tetapi mempunyai sifat dan tujuan yang sama, yakni mencetak orang kaya untuk
lebih pintar dibandingkan orang miskin. Alhasil, yang kaya dipermudah untuk terus kaya dan yang miskin
disulitkan untuk merubah nasibnya. Apakah masih relevan jika ada yang
mengatakan pendidikan di indonesia sudah merdeka?
Kita samua
tahu para founding fathers sudah mengamanatkan dalam UUD 1945 bahwa
Pendidikan merupakan salah satu hak yang wajib diterima oleh setiap warga
Negara dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa
ini. Tetapi upaya yang dilakukan untuk mengkaloborasikan keduanya tampaknya
masih jauh dari kata adil, padahal dalam pancasila sila kelima dikatakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Semakin tampak jika bangsa ini
sudah melupakan falsafah dan dasar negaranya.
Tentunya hati
kecil kita menangis melihat ketidakadilan tumbuh subur di dalam aspek vital,
seperti pendidikan. Untuk keluar dari kondisi ini, diperlukan kesadaran setiap
pihak untuk kembali berpegang teguh kepada pedoman bangsa ini.
Pengadaan
sekolah yang berstandar internasional tidaklah sepenuhnya jelek, tapi regulasi
dan konsep harus dikaji ulang secara cermat, yang sekiranya sesuai dengan
kultur dan kondisi Indonesia. Sehingga kedepan programnya bersifat ramah dengan
seluruh elemen bangsa, tidak seperti sekarang ini. Karena hakikat adanya pendidikan
adalah untuk memajukan peradaban dunia bukan justru menghancurkanya.
Sebagaimana
yang tercantum dalam pancasila dan UUD 1945,bahwa tidak ada sistem kasta dalam
memperoleh hak di Negara ini, semua warga Negara memiliki hak yang sama tak
terkecuali hak untuk memperoleh pendidikan. Semoga tahun 2012, menjadi titik
balik majunya pendidikan di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan martabat
bangsa di mata dunia.
Dimuat Harian Jawapos-Radar Jogja dalam Rubik Ruang Publik Edisi Kamis 19
Januari 2012
Comments