OLEH : FOLLY AKBAR
Mulai tahun ajaran baru 2012/2013 nanti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) berencana memasukan kurikulum pendidikan anti-korupsi dalam pembelajaran siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA. Kebijakan ini merupakan buah dari kerjasama Kemendikbud dengan KPK beberapa waktu lalu. Langkah ini dilakukan untuk membunuh kaderisasi koruptor sejak dini mungkin, dengan harapan akan lahir generasi yang alergi dengan tindak korupsi.
Dari segi namanya, pendidikan anti-korupsi bertujuan mengenal apa itu korupsi serta dampaknya diri sendiri, keluarga, orang lain dan bangsa. Sehingga muncul pemahaman serta perubahan watak dan mental untuk tidak melakukan tindak korupsi. Namun hakikatnya pendidikan bukanlah sebatas teori belaka. Teori memang penting tapi yang tak kalah pentingnya adalah adanya contoh bahwa perilaku korupsi akan mendapatkan hukuman setimpal yang bisa membuat pelakunya menderita. Artinya, pendidikan anti-korupsi akan sangat membumi dan menemukan ruhnya andai ada bukti riil bahwa perilaku korupsi di Indonesia mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi selama ini koruptor masih bisa hidup dengan bahagia.
Jika kita bertanya kepada seluruh anak Indonesia, apa cita-cita kalian? Penulis menyakini tidak ada satupun yang bercita-cita menjadi koruptor. Bahkan koruptor kakap sekelas Gayus Tambunan ataupun Nazarudin sekalipun, penulis yakin keduanya tidak pernah bercita-cita menjadi koruptor semasa kecilnya. Dengan kata lain, tanpa dikenalkan apa itu korupsi, semua anak Indonesia tahu betul jika korupsi itu busuk. Tapi kenapa ketika tumbuh dewasa dan bekerja dalam sebuah instansi, mereka berevolusi menjadi koruptor? Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat dimana letak pelencengan cita-cita tersebut.
Minimnya lapangan kerja dewasa ini mengakibatkan orang berjuang dengan segala cara untuk mendapatkan kerja, idealisme dan cita-cita mulia ketika kecil tergadaikan oleh keadaan yang serba menuntutnya. Suap menyuap dalam persaingan kerja menjadi awal kaderisasi koruptor, awalnya korupsi hanya untuk mengembalikan modal, perlahan ketagihan dan berubah menjadi kebiasaan. Dan telah menjadi rehasia umum bahwa korupsi dalam institusi-institusi telah menggurita sebagai sebuah sistem. Maka tidak jarang bagi orang yang memiliki idealisme kuat, akan terpental(dipindah tempat) dari institusi tersebut.
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di lingkup DPR dan Pemimpin Daerah, ongkos pemilu yang sangat mahal menjadi pemicu utama perilaku korupsi ramai terjadi di kalangan mereka. Hal ini tidak lepas dari budaya money politik yang menjamur pasca reformasi, karena dewan dan Pemimpin Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Celakanya hukum saat ini sudah sangat tidak berdaya dalam mengadili para koruptor. Bahkan tidak sedikit hakim yang seharusnya mengadili justru di adili akibat terbukti menerima suap yang dilakukan koruptor. Nah, agaknya akan sia-sia saja pendidikan anti-korupsi masuk dalam kurikulum pendidikan secara formal kalau tidak di imbangi dengan proses dekonstruksi sosial-hukum secara simultan. Yang ada hanya menambah beban siswa akibat bertambahnya jumlah mata pelajaran di sekolah. Tapi, di luar efektif atau tidaknya, kita perlu mengapresiasi itikad baik yang dilakukan kemendikbud dan KPK.
Selama ini akademisi kita hanya mengenal korupsi sebagai tindakan memakan uang yang bukan hak nya, padahal mengurangi jam belajar merupakan salah satu perilaku korupsi. Tidak hanya itu, dunia pendidikan kita belum bisa keluar dari budaya mencontek. Kasus mencontek masal kerap terjadi khususnya dalam pelaksanaan ujian nasional yang merupakan momok siswa selama ini. Mendapat nilai yang tinggi di rapor/ijazah jauh lebih penting dari pada memahami apa inti dari apa yang diajarkan. Lulus Ujian Nasional adalah harga mati. Apapun harus ditempuh yang penting lulus. Parahnya lagi, itu dilakukan atas komando dari kepala sekolah.
Nah, untuk mengcover kurikulum anti-korupsi, para pendidik harus mampu menghilangkan budaya-budaya buruk seperti mengkorupsi jam belajar, mencontek atau terlambat masuk kelas. Karena dengan membiasaakan diri bersikap disiplin dan jujur, maka perilaku anti korupsi akan masuk ke dalam jiwa generasi muda tidak sebatas teori belaka. Sekali lagi penulis tekankan, untuk membasmi generasi koruptor tidak cukup dengan mengenalkan secara teori semata melainkan butuh dekonstruksi aspek-aspek lainya. Karena korupsi saat ini adalah musuh yang paling besar, sehingga langkah antisipasi yang dilakukan harus kuat secara konsep dan praktisnya.
Kita masih ingat beberapa tahun lalu kemendikbud pernah menggulirkan program kantin kejujuran. Untuk melihat sejauh mana kefektifan adanya kurikulum pendidikan anti-korupsi tersebut, rasanya kemendikbud perlu menggulirkan kembali hal tersebut sebagai barometernya. Meskipun kevalidanya tidak menjamin, namun katin kejujuran merupakan barometer paling relevan saat ini.
Comments