Lulus SMA adalah hal yang menyenangkan, tapi
masalah tidak selesai hanya karena kita mampu melewati Ujian Nasional. Bahkan
harus kita akui, lulus SMA adalah gerbang awal menuju kehidupan yang
sebenarnya, dimana setiap langkah akan sangat menentukan arah dari masa depan
kita kelak. Sebagian orang terpaksa memilih bekerja akibat kondisi ekonomi yang
tidak memungkinkan. Dan mayoritas mereka mendambakan bisa melanjutkan ke
perguruan tinggi dengan harapan bisa memperoleh kehidupan yang “lebih baik”.
Tapi pertanyaanya, perguruan tinggi apa yang patut kita pilih.
Tak bisa dipungkiri, salah satu alasan kita
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah demi mencapai kesuksesan. Ari
Ginanjar dalam konsep ESQ mengungkapkan bahwa kecerdasan intelektual(IQ) hanya
mempengaruhi 20% kesuksesan seseorang, sedangkan 80% kesuksesan sangat
dipengaruhi oleh kecerdasan emosional(EQ) dan kecerdasan spiritual(SQ) yang
dimiliki. Itu artinya dalam mencari sebuah perguruan tinggi jangan hanya memilih
kampus yang mengedepankan intelektual semata, melainkan pilihlah kampus yang
mampu mengintegrasikan nilai intelektual, emosional dan spiritual.
Kita pun tidak bisa memungkiri jika orang-orang
seperti Gayus Tambunan atau Nazarudin merupakan produk dari pendidikan yang
hanya mengedepankan IQ. Ketika dia tidak memiliki EQ dan SQ yang baik, maka
intelektualnya akan disalahgunakan ke hal yang tidak baik. Mungkin kita masih ingat,
celotehan nakal Merzuki Alie yang mengatakan bahwa banyak koruptor yang berasal
dari lulusan universitas yang bonavide. Diluar permasalahan etika, tentu
stetment itu tidak berangkat dari ruang yang kosong, melainkan berawal dari
data yang ada. Dari gambaran tersebut, kita bisa membayangkan betapa pentingnya
SQ da EQ dalam membungkus IQ seseorang.
Dalam faktanya untuk mencari kampus yang masih
konsisten menanamkan nilai karakter tidaklah mudah. Kesibukan dunia pendidikan
indonesia yang terlalu fokus mencetak pekerja membuat pendidikan karakter semakin
teraleniasi. Tapi perguruan tinggi yang berbasis agama tampaknya masih cukup
layak untuk diharapkan mampu mencetak lulusan yang intelek sekaligus bermoral.
Selama ini stigma masyarakat terhadap perguruan
tinggi agama kurang positif. Sebagian jumlah SKS yang dialih fungsikan untuk
mata kuliah agama di anggap kerugian karena mengurangi jumlah SKS keilmuan
umum. Hal ini menimbulkan stereotip bahwa lulusan perguruan tinggi agama tidak
mampu mencetak mahasiswa yang matang alias setengah-setengah. Padahal jika kita
mencoba objektif, banyak sekali tokoh-tokoh terkenal seperti Mahfud MD atau Dahlan
Iskan yang merupakan produk dari perguruan tinggi agama.
Memang tidak ada jaminan kuliah di perguruan
tinggi agama mampu mencetak orang yang cerdas dalam IQ, EQ dan SQ, tapi secara
teori peluang ke arah sana lebih terbuka. Diluar kekurangan yang ada, integrasi-interkoneksi
antara mata kuliah umum dan agama mampu menciptakan nuansa yang seimbang antara
iltelektual, emosional dan spiritual. Generasi itulah yang dibutuhkan indonesia
ditengah krisis moralitas.
Comments