“Tidak habis pikir”. Itulah kata yang cocok untuk menggambarkan perilaku aparat
di indonesia saat ini. Seorang pemuda yang berniat membangunkan warga untuk
menunaikan ibadah shaur harus menghembuskan nafas terakhirnya oleh dua butir
peluru yang ditembakan oknum polisi mabuk di saat malam bulan ramadhan.
Tentunya tindakan kriminal yang dilakukan
anggota polisi unit Reskrim Polsek Karangsembung tersebut semakin menambah
daftar hitam perilaku negatif aparat kita. Mungkin peristiwa tersebut hadir
sebagai pelengkap atas perilaku atasan mereka yang terjerat kasus korupsi
simulator kendaraan yang menyeret jendral-jendral besar baru-baru ini.
Jika kita mengacu Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dikatakan bahwa fungsi
kepolisian adalah sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sebuah tujuan mulia yang sepatutnya
ditunaikan.
Jika kita melihat kasus penembakan di
karangsembung beberapa hari yang lalu, tentu kita tidak menemukan adanya
kesejalanan antara fakta di lapangan dengan tujuan didirikanya polisi itu
sendiri. Perilaku mengayomi yang seharusnya ditunjukan polisi justru di
tunjukan dengan sikap arogansi yang menakutkan bagi masyarakat. Apapun
modusnya, penembakan terhadap warga sipil merupakan pelanggaran hukum yang
tidak bisa di sepelekan. Polisi yang notabenya sebagai penegak hukum pada
faktanya menjadi salah satu pilar pelangar hukum itu sendiri.
Dalam pemberitaan dikatakan bahwa oknum
polisi melakukan penembakan dalam keadaan mabuk. Padahal kita semua tahu jika salah
satu tugas polisi adalah menumpas penggunaan minuman keras. Bahkan yang
menambah keprihatinan kita adalah, ini terjadi di saat bulan ramadhan, bulan
dimana seharusnya aparat menertibkan para konsumen miras.
Citra polisi akhir-akhir ini semakin
merosot akibat perilaku yang tidak “pantas” baik dalam upaya penegakan hukum
maupun dalam perilaku keseharian. bahkan dalam sebuah jajak pendapat yang
dilakukan oleh KOMPAS , hanya 46,1 persen responden yang
memberi nilai positif terhadap citra polri. Proporsi yang lebih besar, yakni
49,3 persen menyatakan citra buruk polri. Jajak pendapat di atas masih lebih
baik dibanding dengan hasil survey Imparsial pada tahun 2011 di DKI Jakarta
menyatakan bahwa 61% masyarakat menyatakan tidak puas terhadap kinerja polisi, sedangkan
yang menyatakan puas hanya 33 % sisanya abstain.
Pernyataan kapolri yang mengatakan bahwa
polisi sudah berubah dan semakin baik mungkin hanya berlaku bagi segelintir
anggota saja. Secara garis besar, kita bisa mengatakan jika polisi tidak lagi
melayani masyarakat secara utuh, tapi orientasi pada kapital dan sikap arogansi
yang kerap ditunjukan membuat institusi kepolisian mendapat citra negatif.
Harapan publik dalam pemisahan antara militer dengan polisi di masa awal
reformasi nyatanya tidak menunjukan hasil yang menggembirakan.
Perlu pembenahan
Fakta tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap polisi yang rendah bukanlah sebuah kondisi yang baik. Upaya penegakan
hukum demi terciptanya kehidupan yang adil dan aman akan sulit terwujud selama
aparat keamanan tidak mampu memberikan contoh rill kepada masyarakat. Karena
sebaik-baik himbauan adalah dengan mencontohkanya. Oleh karenanya perlu ada
langkah positif yang perlu dilakukan polri secara keseluruhan demi menciptakan
citra baik di masyarakat.
Langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mengembalikan polisi yang kembali merakyat, artinya dalam pekerjaanya
polisi perlu berinteraksi dengan masyarakat atau komunitas sispil. Prof.
Satjipto rahardjo membahasakan perilaku tersebut dengan istilah polisi otentik
atau polisi sipil. Dengan berbaurnya polisi dengan masyarakat, stereotip
masyarakat akan sfat eksklusif dan arogansi polisi perlahan bisa diminimalisir.
Setelah membangunkomunikasi dengan
masyarakat, hal selanjutnya adalah menunjukan perilaku konsisten antara apa
yang disampaikan dan yang ditulis dengan realitas kenyataan. Di setiap kantor
polisi banyak tertera kalimat ”kami siap melayani masyarakat” atau “kami siap
membantu”. Dalam faktanya kalimat tersebut belum sesuai dengan harapan
masyarakat. istilah “uang transport” dll masih menghiasi setiap penggunaan jasa
polisi oleh masyarakat. bahkan plesetan di masyarakat, jika melaporkan
kehilangan ayam ke polisi maka akan kehilanga sapi.
Lalu langkah selanjutnya yang memiliki
tingkat urgenisi yang tinggi adalah perilaku, terutama apa yang selama ini
diperlihatkan polisi lalu lintas. Citra polisi sebagai “tukang palak
berseragam” di jalanan perlu dibenahi. Tidak bisa dipungkiri jika kesan pertama
masyarakat mendengar kata polisi adalah tilang, STNK, SIM seolah tugas polisi
hanya menertibkan lalu lintas.
Tentunya solusi di atas hanya sebuah
masukan dari pribadi saya sebagai masyarakat dengan harapan mampu memperbaiki
kinerja polisi sesuai dengan undang-undang dan tujuan pembentukanya. Tegaknya
hukum berarti timbulnya keamanan dan keadilan sebagai pilar pendorong
kesejahteraan masyarakat.
Comments