Skip to main content

Takdir Itu Diujung Ikhtiar


..Takdir itu berada diujung ikhtiar nak…
Itulah kalimat yang terucap oleh salah seorang dosen dalam sebuah perkuliahan beberapa bulan yang lalu. Sebuah kalimat yang menurut hemat saya memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sebuah kalimat yang memiliki kapasitas untuk memberikan pencerahan dalam upaya kita memaknai takdir.
Dalam ajaran Islam, takdir dimaknai sebagai seperangkat ketentuan yang telah Allah SWT gariskan atas hidup manusia. Atas dasar itu, teramat jelas jika takdir memiliki peran fundamental bagi kehidupan manusia.
Di tubuh umat Islam sendiri, perbedaan dalam memahami takdir telah melahirkan beberapa aliran. Perdebatan aliran-aliran tersebut berpangkal pada satu pertanyaan, yakni apakah segala yang terjadi atas hidup manusia merupakan akibat dari perilaku manusia itu sendiri, atau atas murni kehendak Allah SWT. Setidaknya ada dua aliran yang memiliki perbedaan cukup mencolok dalam memahami takdir, diantaranya:
Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi dari Allah SWT. Aliran yang dimunculkan Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat melakukan apapun atas kehendaknya sendiri.
Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrahata yakni kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Aliran Qadariyah berlandaskan Al-Quran Surah Ar-Ra’du ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
Tapi pertanyaanya apakah manusia memiliki kehendak penuh atas dirinya?. Dalam kehidupan, kita kerap menemukan hal yang bertentangan dengan aliran ini. Contohnya: ada orang yang sudah berusaha mati-matian untuk mencari uang, tapi apa yang didapatkan tidak sesuai dengan usahanya begitupun sebaliknya. Tentu jawabanya adalah karena hal tersebut terganjal dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.
Aliran Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Adapun menurut pengertian terminologi, Jabariyah adalah suatu aliran yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh Qada dan Qadar Allah SWT. Aliran yang diperkenalkan Ja’d bin Dirham ini berpendapat bahwa posisi manusia tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Aliran Jabariyah berlandaskan Al-Quran Surat Al-Hadid ayat 22 “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”
Sementara itu Asy-Syahratsan berpendapat bahwa paham Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT.
Tentu kita boleh bertanya, jika semua yang kita lakukan merupakan kehendak Allah, lalu saat kita mencuri atau membunuh, apakah itu juga kehendak Allah SWT? Tentu tidak mungkin jika Allah SWT menghendaki keburukan.
Setelah melihat kedua aliran tersebut, tentu kita bertanya-tanya, aliran yang mana yang lebih tepat? Bukankah Kedua aliran tersebut sama-sama berlandaskan Al-Quran? Tapi jika kita mau berfikir dan merenung, baik Jabariyah maupun Qadariyah, saya merasa keduanya terlalu “radikal” dan terlalu cepat dalam mengklaim kedudukan takdir.
Seperti yang kita tahu, tidak ada satupun manusia yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Jika manusia mengetahui, mungkin kehidupan ini akan kacau dan tidak menarik.
Justru karena ketidaktahuan tersebut, sudah selayaknya kita selalu melakukan yang terbaik dalam setiap hidup kita. Kita tidak bisa terus berharap”semoga saya beruntung”, sehingga kita malas berusaha. Tapi kita perlu menjemput keberuntungan tersebut dengan usaha yang maksimal. Terkait, tercapai atau tidak keberuntungan tersebut, pada akhirnya biarlah Allah SWT yang menentukan.  Karena takdir berada di ujung iktiar…
Tulisan ini dimuat Buletin Jumat MJS edisi 11 Mei 2013

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.