Tragedi miras (minuman keras) oplosan yang
berujung maut seolah telah menjadi rutinitas tersendiri. Bagaimana tidak? di wilayah
Yogyakarta saja siklusnya terus berjalan setiap beberapa bulan sekali. Terbaru,
4 orang tewas mengenaskan setelah pesta minuman haram tersebut di Sleman
beberapa hari lalu. Baik masyarakat selaku pelaku, maupun pemerintah selaku
pemegang otoritas kebijakan, seolah tidak pernah belajar –atau mungkin menutup
mata– atas kejadian serupa yang terus berulang.
Mengaca pada yang sudah terjadi, isu soal miras
oplosan selalu menjadi perbincangan yang hangat, dan mendadak mendapatkan
perhatian khusus kala ada korban yang berjatuhan seperti saat sekarang ini.
Tapi selang beberapa waktu, biasanya persoalan ini akan menguap tanpa sempat
melakukan upaya penyelesaian yang menyeluruh. Alias “anget-anget tahi ayam”.
Akibatnya, peristiwa serupa pun kembali terjadi. Begitu seterusnya.
Sebagai makhluk yang berakal, tentu kita tidak
menginginkan peristiwa nahas itu kembali terjadi. Kita berharap, apa yang
terjadi di Sleman kemarin benar-benar menjadi “tamparan” bagi semua pihak,
sekaligus menjadi titik balik upaya penyelesaian persoalan miras oplosan secara
lebih serius. Dan dalam hal ini, pemerintahlah yang harus mengambil posisi di
garda depan. Bukan hanya karena posisinya yang strategis dalam mengambil
kebijakan, tapi melindungi setiap warganya merupakan tugas mutlak negara.
Selama ini, pemerintah cenderung menggunakan
pendekatan berbau represif dalam menanggulangi berbagai penyakit masyarakat
(pekat) seperti miras atau prostitusi. Yang mana implementasinya berupa setumpuk
aturan pelarangan, yang diselingi beberapa kali razia. Padahal, miras dan pekat
lainnya merupakan “budaya” yang akar persoalannya sulit dibasmi hanya dengan
upaya represif. Terlebih di tengah mental aparat yang buruk, aturan pelarangan
hanya berdampak pada berubahnya cara bertransaksi, dari yang terang-terangan
menjadi sembunyi-sembunyi. Sedangkan razia, tak lebih dari rutinitas bulanan,
atau bahkan tahunan yang mustahil untuk memberantas penyalahgunaan yang
dilakukan sepanjang hari. Belum lagi jika jadwal penggerebekkannya “dibocorkan”.
Jadi sudah saatnya, pemerintah menggenjot
pendekatan-pendekatan preventif di samping upaya-upaya represif yang selama ini
dilakukan. Berbeda dengan pendekatan represif, pendekatan preventif mungkin
tidak bisa dilihat hasilnya secara langsung, melainkan membutuhkan jangka waktu
tertentu. Tapi sisi positifnya, pendekatan preventif akan menciptakan kesadaran
yang lebih kuat dibandingkan pendekatan represif. Sehingga, dampak perbaikan
yang terjadi relatif permanen dan tampak berjalan seperti alami (dibaca: tanpa
paksaan).
Pemahaman dan pendidikan soal bahaya miras
harus dikampanyekan secara massif dan kontinyu kepada masyarakat, khususnya
anak-anak. Adakan penyuluhan di setiap dusun atau RW, dan tentunya lembaga
pendidikan. Karena tanpa pemahaman yang kuat, budaya pesta miras oplosan akan
terus terjadi. Dan di sisi lain, hal itu sama saja dengan melestarikan
peredarannya di masyarakat. Karena pada dasarnya, selama pangsa pasar masih
menjanjikan, sebanyak apapun peraturan dibuat, kegiatan produksi miras akan
terus dilakukan, meski dengan cara ilegal sekalipun.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk menguji
komitmen pemerintah dalam menanggulangi persoalan miras oplosan. Jika tragedi
“pesta maut” di Sleman tidak mendapatkan respon yang dibarengi upaya-upaya
penyelesaian yang terstruktur, sistematis dan masif, maka dapat dipastikan, hal
yang sama akan kembali terjadi. Terlepas dari apapun, pada akhirnya
masyarakatlah yang kembali menjadi korban.
Comments