Beberapa waktu lalu, para netizen di
Indonesia dibuat geger oleh iklan sebuah aplikasi chat via ponsel, Line. Dalam
memperkenalkan fitur “find alumni” terbarunya, Line menggali kembali kenangan
romansa AADC 12 tahun lalu, dari ingatan para netizen. Dan benar
saja, dalam hitungan hari, sudah ada jutaan pasang mata yang menyaksikan mini
drama berdurasi 10 menit, 24 detik tersebut.
Kesuksesan Line menggunakan dunia maya sebagai
alat memperkenalkan produk, notabene hanyalah momentum yang “meresmikan”
keberadaan dunia maya sebagai alat memasarkan produk yang menjanjikan. Karena sebenarnya,
dalam beberapa tahun belakangan, geliat transaksi ekonomi yang memanfaatkan
dunia maya memang sudah berkembang. Situs-situs seperti Kaskus, OLX (dulu
bernama Toko Bagus), Berniaga, dan situs sejenis lainnya semakin diminati
masyarakat. Belum lagi aktivitas pemasaran secara personal yang banyak
dilakukan di sosial media.
E-commerce atau perdagangan elektronik di Indonesia memang tengah mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara,
sebagaimana dikutip okezone.com memprediksi nilai transaksi e-commerce
pada tahun 2015 ini bisa mencapai USD 20
Miliar atau setara Rp 258 triliyun rupiah. Angka tersebut melesat jauh dari
tahun lalu yang berada di angka USD 13Miliar, dan tahun 2013 di angka USD 8
miliar.
Jaringan internet yang mengglobal dan semakin
aksesibel bagi masyarakat, jelas menawarkan peluang yang empuk bagi pelaku
usaha. Dengan biaya yang relatif murah, para penjual dapat dengan mudah memasarkan
produk secara luas. Penjual tidak perlu lagi memasang iklan di media masa untuk
bisa mengakses pasar yang ada di luar daerah. Baik penjual maupun pembeli, cukuplah
melakukan transaksi melalui PC maupun smartphone.
Selain Radio, Media cetak yang pada awal abad
20 berada dalam garda terdepan dunia periklanan, menjadi sektor yang paling
terpukul. Survei yang dilakukan The World Associaton of Newspapers and News Publishers
(WAN-IFRA) pertengahan 2013 lalu mengatakan, pendapatan
iklan koran menurun 2 persen secara global pada tahun 2012 dari tahun
sebelumnya, dan 22 persen sejak 2008. Diperkirakan 80 persen dari penurunan ini akibat perkembangan media
digital.
Melihat nilai transaksinya yang semakin besar, ditambah
belum tersentuhnya pajak e-commerce, saat ini pemerintah Indonesia
tengah menggodok regulasi pajak e-commerce. Dalam pernyataannya di
media, para pelaku e-commerce sudah menyatakan kesiapannya untuk
mengikuti regulasi yang di buat pemerintah, selama angka yang ditetapkan tidak
memberatkan.
Dengan demikian, eksistensi e-commerce
ke depannya menjadi sebuah keniscayaan. Sifatnya yang mudah dan efektif, amat
sejalan dengan semangat masyarakat modern. Jadi dapat dipastikan, masa depan
sistem bisnis –atau transaksi jual beli ada pada e-commerce.
Tulisan ini dimuat di rubrik Pojok Digital SKH Kedaulatan Rakyat edis Senin 9 Maret 2015
Comments