Perbarui Satu Titik Saja Butuh Waktu Berbulan - bulan
Untuk menyiasati anggaran, Dishidros memprioritaskan tempat dengan risiko navigasi tinggi. Saat menyisir laut untuk survei peta, kerap menemui hal-hal tak terduga.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
DUA pertiga teritori negeri ini berupa lautan. Tapi, bagi kapal-kapal bertonase besar, kawasan perairan Indonesia barangkali "tak seluas itu". Sebab, di bawah permukaan laut, ada banyak kabel dan pipa yang harus diperhitungkan sebelum melintas.
Di sepanjang garis pantai Jakarta saja, misalnya, ada lebih dari 30 kabel dan pipa yang membentang. Diperlukan ketelitian agar ketika mengantre masuk Pelabuhan Tanjung Priok, para nakhoda tidak salah melego jangkar.
"Di laut kita, memang ada banyak kabel dan pipa, ruwet sekali," kata Komandan Satuan (Dansat) Survei Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) TNI-AL Kolonel Laut Dwi Yuntarto di ruang kerjanya di Jakarta Selasa lalu (5/1).
Padahal, Indonesia berada di jalur padat lalu lintas laut dunia. Sedangkan kapal-kapal berbobot besar tidak bisa berlayar sembarangan Otomatis, para nakhodanya butuh peta navigasi agar bisa berlayar dengan aman.
Di situlah peran Dishidros yang barangkali tak diketahui banyak orang: untuk memastikan keselamatan pelayaran. Lembaga yang dibentuk pada 1951 dengan seluruh personel prajurit Angkatan Laut itu merupakan satu-satunya pemilik sertifikasi sah peta navigasi di Indonesia. "Jika perairan tidak jelas navigasinya, tidak ada kapal yang berani masuk," ungkap Dwi.
Terlebih, seusai Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia menegaskan diri sebagai negara kepulauan. Artinya, laut sebagai pemersatu. Konsekuensinya, perairan dalam Indonesia tidak memiliki zona bebas. Juga, negara ini wajib membuatkan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) bagi kapal-kapal asing yang melintas.
Di Selat Malaka saja, misalnya, ada ratusan kapal yang lalu-lalang setiap hari. Pelayaran dengan kapal-kapal berbobot besar pun tak terhindarkan. Sebab, hingga kini, kapal menjadi satu-satunya alat transportasi lintas negara yang bisa menampung muatan besar.
Sesuai dengan ketentuan, kapal berbobot di atas 20 gross tonnage (GT) wajib menggunakan peta navigasi. Nah, persoalannya, membuat peta navigasi sangat tidak mudah, tidak murah, dan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, wilayah laut Indonesia mencapai 3.544.743,9 kilometer persegi (data Kemendagri 2010). "Jadilah selama satu tahun kami hanya menyurvei 1 persen dari total perairan Indonesia," ujar Dwi.
Selain waktu, untuk membuat peta navigasi, dibutuhkan peralatan dan perencanaan yang matang. Sebagai tahap awal, tim yang dibentuk Dishidros harus menentukan titik yang akan disurvei, lengkap dengan level skala yang diinginkan.
Setelah itu, komandan satgas akan menyiapkan tim dan peralatan yang dibutuhkan. "Lalu, kami turun dan sisir lokasi seperti orang menyetrika," kata Dwi.
Saat menyisir, kapal dilengkapi dengan alat multibeam yang dapat mendeteksi kedalaman laut. Setelah data didapatkan, tim khusus mengujinya. Langkah selanjutnya, baru peta dibuat dan disahkan.
Namanya orang menyisir laut, ada saja hal-hal di luar dugaan yang ditemui. Salah seorang kru survei Dishidros, Mayor Laut (E) Janjan Rechar, misalnya, mengaku, saat menyisir sebuah kawasan di Laut Jawa, timnya menemukan bangkai satu kapal induk Amerika Serikat. "Itu kapal sisa Perang Dunia II. Mereka (AS, Red) langsung izin survei bangkai tersebut," kata prajurit yang sempat menempuh pendidikan hidros di Amerika Serikat itu.
Selain benda, dia juga mengaku pernah menemukan palung yang cukup dalam di perairan Selat Sunda. "Di dalamnya, ada sungai. Kata salah seorang profesor, sungai itu tembus ke Atlantis yang banyak diisukan itu," kata pria asal Bandung tersebut.
Untuk menyelesaikan keseluruhan proses tersebut, waktu yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dibutuhkan waktu hingga berbulan-bulan hanya untuk memperbarui peta navigasi di sebuah titik perairan. Padahal, biaya yang dibutuhkan tidaklah murah.
Untung, saat ini Dishidros memiliki KRI Rigel 933 dan KRI Spica 934. Keduanya merupakan kapal jenis hidro-oseanografi yang terhitung paling canggih di Asia. Dengan kemampuan yang mumpuni, dua kapal itu mampu mempercepat dan meminimalkan dana yang harus dikeluarkan. Plus punya akurasi yang lebih baik.
Sebelumnya, Dishidros hanya dibekali enam kapal yang bukan murni jenis hidro-oseanografi. Namun, dengan dua kapal baru buatan Les Sables, Prancis, itu pun, tetap tidak cukup memadai untuk menyisir wilayah laut Indonesia yang sedemikian luas. Apalagi, Indonesia berada di kawasan cincin api sehingga rawan gempa tektonik di dasar laut.
Dengan anggaran saat ini, terang Dwi, dibutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk dapat memperbarui peta navigasi di setiap jengkal perairan Indonesia. Karena itu, tak perlu heran, masih ada kawasan yang menggunakan data zaman Belanda seperti perairan Morotai, Maluku Utara.
Karena itu, untuk menyiasati keterbatasan tersebut, yang bisa dilakukan Dishidros adalah menyusun rencana prioritas untuk memperbarui peta tempat yang mengandung risiko navigasi tinggi. Misalnya perairan Surabaya yang memiliki sedimentasi tinggi atau perairan Jakarta yang lalu lintasnya padat. "Itu kami update lima tahun sekali," katanya.
Kepala Dinas Hidro-Oseanografi Laksamana Pertama (Laksma) Daryanto berharap, ke depan dukungan anggaran bisa ditingkatkan. Itu semata-mata agar jajarannya mampu menjangkau semua perairan bumi pertiwi.
Namun, dengan kondisi sekarang pun, pihaknya terus berkomitmen meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada. "Setiap tahun kami mengirim (personel, Red) untuk disekolahkan ke luar negeri. Semunya itu agar perairan Indonesia bisa menjadi tuan rumah yang aman bagi kapal asing dan rumah yang aman bagi penghuninya," katanya. (*/c11/ttg)
Comments