Tumiso (paling kiri) saat masih di Pulau Buru |
Sengaja Pingsan agar Tidak dirazia Tentara
Anda
suka, atau bahkan kagum dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Maka sudah
selayaknya anda berterima kasih pada Tumiso. Tanpanya, anda dan dunia tak
mungkin bisa menikmati karya-karya Pram di Pulau Buru yang amat luar biasa.
Berikut kisahnya.
Oleh Folly Akbar, Jakarta
Dua Oktober 1979, adalah hari yang membahagiakan
bagi Tumiso. Bersama para tahanan politik lainnya di Pulau Buru, dia dibebaskan.
Kapal Gunung Jati yang biasa mengangkut jamaah haji, menjadi angkutan yang mengantarkannya
kembali ke tanah Jawa. Setelah 10 tahun diasingkan.
Jika
teman-temannya membawa berbagai macam barang pribadinya, hal berbeda justru dilakukan
Tumiso. Dia hanya membawa dua stel pakaian, dan satu botol kayu putih. Sisanya,
karungnya hanya berisi buku-buku karya Pram! Mulai dari Tetralogi Buru ;
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah dan Rumah kaca, serta
tiga buku lainnya ; Arus Balik, Arok Dedes, Ensiklopedi Citrawi Indonesia dan
Mata Pusaran.
Begitu
kapal meninggalkan dermaga Pulau Buru, hati Tumiso begitu bahagia. Dia merasa,
karya-karya tersebut sudah hampir pasti bisa diselamatkan. Namun begitu tiba di
pelabuhan Surabaya, faktanya berkata lain. Bersama 41 orang temannya, Tumiso
justru dibawa ke akademi militer (Akmil) di Magelang. Pramoedya termasuk di
dalamnya.
“Yang lain bebas,
tahanan Buru 42 orang kepala batu keras kepala. Tidak dibebaskan,” kata Tumiso,
saat ditemui di Panti Jompo eks Tapol di Kramat, Jakarta (7/9).
Nah, drama baru
dimulai ketika tiba di Akmil Magelang. Di situ, semua barang bawaan tapol diperiksa
satu persatu. Hati Tumiso gusar. Dia sadar betul, buku-buku Pram yang dibawanya
akan dirampas tentara jika ketahuan. Ide untuk mengelabui tentara pun muncul.
Sebelum masuk pengecekan, Tumiso pura-pura sakit.
“Saya jatuh, semaput
(pingsan). Lalu dibawa ke rumah sakit,” imbuh pria yang kini berusia 77 tahun
tersebut. Ide tersebut rupanya
ampuh. Mendadak, dia ditandu dibawa ke rumah sakit. Lengkap dengan
barang-barang yang dibawanya.
Selama dua
hari di rumah sakit, dokter yang kebetulan kerabatnya itu kebingungan. Karena berdasarkan
hasil diagnosis, Tumiso sehat.
Tak
betah di rumah sakit, Tumiso ingin cepat keluar. Bertemu teman-temannya yang
sudah tinggal di asrama. Agar mulus, akting kembali dilakukannya.
“Saya bilang dokter,
agar bisa kumpul sama temen-temen (di Akmil). Tapi digotong, bilang masih
sakit,” ujarnya lantas terkekeh. Alhasil, dia berhasil masuk akmil tanpa pemeriksaan
barang-barang.
Dua bulan berselang,
tepatnya 18 Desember 1979, 42 tapol baru benar-benar bebas. Hal itu tak lepas
dari desakan dunia internasional yang mengetahui adanya tahanan Pulau Buru yang
belum bebas.
Cara yang sama, dia
lakukan saat pemeriksaan sebelum dibebaskan di Semarang. Saat itu, sebetulnya
tentara mulai curiga. Namun dia bersyukur, tidak ada inisiatif dari tentara untuk
memeriksa barang bawaannya.
Usai acara pembebasan
di Semarang, Pram sempat menanyakan kondisi kesehatannya. “Seng (panggilan Tumiso di Pulau Buru), sakit
apa,” kata Tumiso menirukan ucapan pram.
“Gak
sakit,” jawab Tumiso.
“Jangan
macem-macem,” timpal Pram.
“Kalau
saya sehat, buku ini dirampas,” jawab Tumiso lantas tertawa.
“Bangsat
kamu. Kemarin saya diperiksa sudah ngeri,” tutur Tumiso menirukan reaksi Pram.
Sekitar empat bulan
kemudian, Tumiso menyerahkan karya-karya Pram ke Penerbit Hasta Mitra.
Kebetulan, penerbit tersebut didirikan temannya sesama tahanan Pulau Buru,
yaitu Hasjim Rachman, Joesoef Isak,
dan Pram itu sendiri.
***
Pertemuan Tumiso dengan
Pram di Pulau Buru, seyogyanya bukanlah yang pertama. Keduanya, dipertemukan
oleh ideologi sebagai pendukung garis politik Soekarno yang menolak NEKOLIM
(Neo Kolonialisme dan Imprealisme). Kongres serikat pekerja film berhaluan
kiri, Sarbufi (Sarikat Buruh Film Indonesia) tahun 1962 di Surabaya lah
yang mempertemukan keduanya.
Sebagai mahasiswa,
dia menerjunkan dirinya ke Resimen Mahasurya. Kelompok semi militer yang
sewaktu-waktu diturunkan untuk mendukung garis politik Soekarno. Sialnya, saat
rezim berganti Resimen Mahasurya ikut terdampak. “Saya ditangkap tentara yang
melatih saya, tahun 1965,” ujarnya.
Sempat ditawan di
Rumah Tahanan Militer Koblen Surabaya dan Nusakambangan selama empat tahun,
Tumiso pun dipindahkan ke Pulau Buru, 2 Agustus 1969. Meski sama-sama berada di
unit tiga, diawal-awal kedatangan, dia belum bisa bertemu Pram. Sebab, Pram
yang kelompok dari Jakarta, mendapat tempat yang berbeda dengannya yang datang
dari Surabaya.
Barulah diakhir tahun
1969, Tumiso bertemu sosok yang dia idolakannya. “Kita sama-sama dipekerjakan
di pertanian,” kata ayah beranak satu tersebut. Sejak saat itulah, hubungannya
dengan Pram semakin akrab.
Di awal-awal tiba di
Pulau Buru, lanjutnya, Pram tidak menulis. Sebab, semua orang dikerahkan untuk
berproduksi. “Teman-teman suka bertanya, Pak Pram gak nulis? Dia jawab
ga ada waktu, beku, macet, blang,” kata Tumiso mengingat saat-saat itu. Barulah
di tahun 1972, ada ijin dari Kejaksaan Agung untuk Pram menulis.
Sebagai pengagum
banyak tokoh hebat, Pram memacu dirinya untuk banyak membaca. Semata-mata untuk
mengimbangi tokoh yang dikaguminya. Berbagai buku dan museum dia lahap. Dalam
proses itulah, Pram menemukan sosok Tirto Adhi Soerjo yang tidak banyak di ekspose.
Untuk itu, dalam karya Tetralogi Buru yang termasyhur, Pram menjadikan Tirto
yang dalam buku disebut Minke sebagai lakon utamanya.
“Annelies, Ontosoroh,
dan lainnya itu imajinasi dan hebat. Dia menggambarkan situasi sebagaimana
jamannya,” terangnya.
Sempurnanya Tetralogi
Buru, lanjutnya, tidak lepas dari banyaknya masukan yang diterimanya. Sebab,
setiap kali menulis, dia selalu membuat sebanyak enam rangkap. Tumiso,
Suprapto, Oey Hay Djoen, dan dua teman lainnya selalu diminta memberi masukan. Soal
bagaimana Minke dan Ontosoroh melawan di Pengadilan misalnya, Tumiso menyebut
itu tidak lepas dari masukan yang diberikan Suprapto yang ahli hukum.
“Tidak ada hukum atau kebiasaan pada jaman itu yang
digambarkan melampaui jamannya, atau mundur ke belakang,” tuturnya.
Ada juga, masukan
Tumiso juga diakomodir Pram. Misalnya terkait aksi petani tebu bernama
Trunodongso di Sidoarjo yang memprotes seorang diri. Sebelumnya, Pram
menggambarkan Trunodongso, melakukan unjuk rasa secara beramai-ramai.
“Saya bilang jaman
itu belum begitu, orang masih takut belanda. Kita gambarkan Trunodongso sebagai
sosok yang berani,” kenangnya. Selain itu, masukan lain yang diberikannya di
Tetralogi Buru adalah yang menyangkut suasana Surabaya.
***
Mendapat kepercayaan
besar sebagai pemberi masukan, membuat Tumiso tersanjung. Sejak saat itu, dia
berjanji untuk menyelematkan karya-karya Pram untuk masyarakat luas. Sebab dia
tahu, karya Pram sangat baik dan layak dikonsumsi banyak orang.
Untuk itu, dia
benar-benar merawat dengan baik karya-karya yang dipegangnya. Sampai-sampai,
tidak semua orang dia berikan pinjaman. Tumiso sangat selektif. “Saya dianggap sok ketat. Katanya Tumiso diberi kepercayaan gitu saja sombong,”
ujarnya menirukan suara miring teman-temannya di Pulau Buru.
“Ya kalau tercecer dibaca penguasa ini hilang,”
ujarnya memberi alasan. Meski begitu, ada juga yang dia beri pinjam. Itupun
dengan catatan. Yakni harus menceritakan ke orang lain. “Kalau kelak buku gak
terbit, akan ada cerita pram dipenjara itu nulis. Bisa dibuat buku, walau nanti
agak gak pas,” terangnya.
Dia
bersyukur, “kepelitannya” dalam meminjamkan karya Pram berbuah manis. Karena
ketelatenannya lah, dia berhasil menyelamatkan dan kelak menerbitkan buku-buku
yang kini banyak diterjemahkan ke banyak negara.
Walaupun
apa yang dilakukannya bermanfaat dan memberi sumbangsih besar bagi kesusastraan dunia, Tumiso tetap
merendah. Menurutnya, apa yang dilakukannya hal biasa. “Selama ada kemauan dan
keberanian,” kata pria kelahiran Samarinda tersebut.
Meski
demikian, Tumiso mengaku risih jika ada orang yang mengaku-ngaku menyelamatkan
karya Pram setelah diterbitkan. Hingga pada suatu hari, dia membuka suara di
sebuah pertemuan yang dihadiri orang-orang Lekra, organisasi sayap kiri di
Indonesia.
Karena
banyak para senior, awalnya, Tumiso enggan berbicara dan hanya mendengar. Namun
suatu ketika, dia diminta bicara. “Saya yang menyelamatkan,
Yang lain omong kosong,” ujarnya.
Tak terima, beberapa
orang menuntut bukti pada Tumiso. “Buku
yang diterbitkan Hasta Mitra dari saya. Ada surat serah terima. Diakui Hasjim Rachman, Joesoef Isak,
dan Pram. Tidak ada yang bantah,
semua diam,” kenangnya.
Di
usianya yang hampir memasuki 77 tahun, fisik Tumiso tergolong masih kuat. Di
Panti Jompo, dia bukan hanya bertugas memasak, tapi juga beres-beres panti.
Semua itu, menurutnya, tak lepas dari banyaknya orang yang menyampaikan rasa
terima kasihnya. “Saya merasa berguna, saya ingin terus melakukan sesuatu,”
ungkapnya.
(Tulisan ini terbit di Jawa Pos edisi 14 September 2016)
(Tulisan ini terbit di Jawa Pos edisi 14 September 2016)
Comments
CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI (ASLI) BUKAN REKAYASAH!!!
TERIMA KASIH BANYAK MBAH SERO SUDAH 3 TAHUN SAYA MENDERITA DI MALAYSIA KERJAAN SAYA CUMA MENOMBAK KELAPA SAWIT PENDAPATAN TIDAK SEBERAPA SEDANKAN SEWAH KONTRAKAN RUMAH 700 RIBU PERBULAN TAPI SETELAH KAMI DAPAT NOMOR MBAH DI INTERNET KAMI COBA-COBA HUBUNGI LALU MINTA BANTUAN ANGKA GHOIB DAN ALHAMDULILLAH ANGKA YANG DIBERI MBAH SERO LANSUNG TOTO 6D BENAR-BENAR 100% TERBUKTI TEMBUS SEKALI LAGI TERIMA KASIH MBAH SERO RENCANA MAU PULANG KE INDO BUKA USAHA INI SEMUA BERKAT BANTUAN ANGKA GHOIB MBAH SERO BAGI ANDA YANG INGIN MERUBAH NASIB SEPERTI SAYA HUBUNGI MBAH SERO DI NOMOR 082 370 357 999 TERIMA KASIH..!!! INI KISAH NYATA DARI SAYA..