Skip to main content

Para Penjaga Kelestarian Ampo, Makanan dari Tanah Liat khas Cirebon yang Terancam Punah

Ampo sudah matang bikinan Warli



Warli saat membuat ampo


Pertahanan terakhir eksistensi ampo di Cirebon kini berada di pundak dua perempuan sepuh. Bertahan sebagai penganan hajatan, bukan konsumsi sehari-hari.


FOLLY AKBARCirebon 

---

PADA gigitan pertama, aroma yang menguat dari kue berbentuk lonjong itu adalah sangitnya. Seperti umumnya makanan yang dimasak dengan cara dibakar.

Tapi, tetap kriyes, kriyes. Renyah, mirip keripik. Semakin dikunyah, baru pahitnya camilan dengan lubang menganga di tengah itu terasa.

''Bagaimana, enak kan makan tanah? Nggak ada campuran apa pun,'' kata Warli yang menyaksikan Jawa Pos mencicipi penganan buatannya pada Selasa (30/5). Di rumah perempuan 70 tahun yang terletak di Desa Jamblang, Kabupaten Cirebon, itu, tanah liat bertebaran di banyak sudut. Nodanya juga menempel di tembok, kusen, hingga pintu dapur.

Maklum, nyaris sepanjang usianya dia bergelut dengan tanah liat. Mengolahnya menjadi kue hitam legam yang baru saja dicicipi Jawa Pos: ampo.

Itulah camilan yang identik dengan Cirebon, meski juga bisa ditemukan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Tuban. Penganan itu sempat populer, terutama sebagai sajian hajatan atau untuk oleh-oleh.

Tapi, belakangan popularitasnya kian merosot. Memasuki awal 1990-an, jumlah produsen ampo juga terus berkurang. Baik karena tidak ada regenerasi maupun karena beralih profesi. Memasuki abad milenium, jumlahnya anjlok drastis.

Bahkan, kini di Desa Jamblang yang dikenal sebagai sentra ampo, hanya tersisa dua orang yang masih bertahan. Dan, keduanya sudah sangat sepuh. Selain Warli, ada Naziri, perempuan berusia 69 tahun yang juga masih kerabatnya. "Kalau saya berhenti, ya bisa selesai (punah)," tuturnya.

Maka, dengan sisa-sisa tenaga dan kegigihannya, Warli dan Naziri bertahan. Sebab, bagi mereka, ampo bukan melulu soal pekerjaan. Namun juga tradisi yang harus dijaga. Juga, sebuah jalan hidup.

Padahal, proses membuatnya tak bisa diperingkas. Dan, bahan pembuatannya kian tak gampang dicari.

Warli menceritakan, tanah yang digunakan untuk membuat ampo bukanlah tanah liat sembarangan. Melainkan harus tanah lempung sawah yang padat dan empuk.

Itu pun mesti yang berwarna merah. "Kalau yang hitam, buat bikin gerabah," jelasnya.

Jika sudah kering dan keras, tanah ditumbuk sampai hancur bak tepung terigu. Setelah itu, dipilah dan diayak dengan alat seperti saringan pati yang cukup rapat. Nanti, bubuk-bubuk tanah halus itulah yang digunakan untuk bahan makanan. Sementara itu, kerikil-kerikil maupun tanah lainnya dibuang.

Setelah bubuk tanah siap, Warli menuangkan sedikit air agar tercipta adonan yang padat. Sehingga mudah dibentuk seperti kue semprong. Saat proses itu, ampo diolesi minyak sayur yang dicampur abu jerami.

Dan, puncak proses tersebut adalah membakarnya di atas tungku api selama 5 jam. "Jadi, proses awal sampai selesai bisa berhari-hari," kata istri Dulkarja tersebut.

Warli menceritakan, dirinya belajar membuat ampo sejak berumur 7 tahun. Kebetulan, aktivitas tersebut menjadi sumber mata pencaharian keluarga yang sudah berlangsung turun-temurun dari neneknya.

Sebetulnya, pada usia sebelia itu, Warli lebih ingin bersekolah. Namun sayang, mimpinya kandas oleh tradisi patriarkis yang masih sangat kuat di masyarakat saat itu.

Perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan. Demikian pula prinsip yang dipegang orang tuanya. "Katanya buat apa anak perempuan sekolah, nanti juga di dapur," ujarnya mengenang perkataan sang ibu.

Jadilah ketika orang tuanya menjajakan camilan tersebut ke pasar, Warli sibuk "bergelut" dengan tanah liat di rumah. Dan, dia tak sendirian. Anak-anak sebanyanya ketika itu juga demikian. Tak heran kalau Desa Jamblang saat ini dikenal sebagai sentra ampo di Cirebon.

Seiring berjalannya waktu, Warli pun semakin mahir dan menyukai pekerjaan tersebut. Bahkan, di usia gadis, dia rela berburu tanah sendiri di sawah yang mendominasi desanya. "Saat orang tua meninggal, saya lanjutkan sendiri. Orang bisanya cuma ini, hehehe."

Sekarang Warli tentu tak mampu mencari tanah liat sendiri. Apalagi, setelah tertabrak motor beberapa tahun lalu, ibu tiga anak itu harus menggandeng tongkat untuk berjalan.

Karena itu, untuk tetap menjaga tradisi tersebut, dia pun terpaksa mempekerjakan orang lain untuk berburu tanah. Harganya pun tidak bisa dibilang murah.

Untuk sekali angkut dengan menggunakan Colt, dia harus membayar tanah liat khusus itu Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Stok tersebut cukup untuk persediaan selama lima bulan.

Pada usia yang sudah memasuki kepala tujuh, Warli masih sanggup membuat hingga 1.000 ampo setiap hari. Untuk setiap 400 buah/1 kardus, dia biasa menjualnya Rp 20 ribu.

Dalam sebulan, sekitar 30 kardus berhasil dilepas ke pasar. "Biasanya tiap minggu ada yang ambil ke sini," katanya.

Tak besar memang penghasilan yang bisa dikantongi. Pasar tak menyerap banyak karena jumlah peminatnya juga semakin berkurang. Kalaupun ada, rata-rata digunakan untuk ritual masyarakat seperti pernikahan atau sunatan.

Sementara itu, yang benar-benar untuk konsumsi sangat minim. "Kalau nggak ada yang hajatan, ya sepi," ujar Dadang, salah seorang distributor.

Erik Setiawan, salah seorang warga Cirebon, mengungkapkan, saat remaja dirinya masih cukup rutin menyantap ampo. Namun, beberapa tahun belakangan, dia mulai meninggalkannya. "Apa boleh buat, banyak camilan lain yang dari segi rasa lebih cocok di lidah. Tapi, sayang juga kalau nanti punah," katanya.

Itu pula yang dikhawatirkan Warli. Tiga anaknya tak ada berminat melanjutkan meski sudah beberapa kali dirayu. Begitu pula anak-anak Naziri. "Saya pengin sekali anak melanjutkan. Tapi, tidak mau," ungkapnya dengan wajah pasrah. (*/c5/ttg)

Terbit di Jawa Pos edisi Senin, 1 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.