Sumbangsih Harjono dalam membenahi sistem ketatanegaraan Indonesia sangat banyak. Mulai keterlibatannya dalam amandemen UUD 1945 hingga menjadi hakim konstitusi. Kini dia dipercaya memelototi tingkah laku penyelenggara pemilu.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
RABU (21/6), cuaca di ibu kota Jakarta cukup terik. Dalam suhu yang lumayan hangat itu, Harjono justru memilih mengenakan jaketnya. "Saya sudah tua, saya nggak kuat AC," ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Jalan M.H. Thamrin 14.
Saat ini usia Harjono sudah 68 tahun. Di usia yang tidak muda lagi itu, sang profesor mengaku bahwa yang paling penting adalah menikmati hidup bersama keluarga. "Tapi, selama masih kuat, saya siap untuk terus mengabdi pada negara," imbuhnya.
Terhitung sejak 12 Juni 2017, Harjono dipercaya menjadi ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Keberadaan pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, di lembaga etik penyelenggara pemilu itu merupakan perwakilan pemerintah.
Aktivitas di DKPP menambah panjang daftar keterlibatan Harjono dalam lembaga negara. Sebelumnya, dia pernah berkecimpung di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bahkan menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dia tercatat sebagai tim seleksi anggota KPU-Bawaslu hingga calon hakim MK.
Era reformasi menjadi awal kiprahnya di panggung nasional. Saat itu, Harjono yang berstatus dosen tata negara Universitas Airlangga dipercaya sebagai utusan Jawa Timur untuk duduk di kursi MPR. Saat amandemen UUD 1945 berlangsung, idenya sering digunakan. Di antaranya, rumusan pasal 17 ayat (3), pasal 20 ayat (2), pasal 6 ayat (1), pasal 24 ayat (1), hingga pasal 24C ayat (1).
Tapi, yang paling fundamental adalah pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Amandemen yang dilakukan adalah mengubah frasa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat" menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."
Rumusan itu merupakan peletak dasar paham konstitusionalisme di Indonesia yang salah satu cirinya membatasi kewenangan lembaga negara sekaligus menghapus superioritas MPR. Karena berbagai sumbangsih tersebut, anak pertama di antara sembilan bersaudara itu dipercaya duduk di kursi hakim konstitusi periode 2003-2008.
Harjono menceritakan, menjadi seorang ahli tata negara sejatinya bukan pilihan utamanya. Sebagai anak tentara, alumnus SMA 5 Surabaya itu pun ingin seperti ayahnya. Menjadi seorang prajurit. Namun, atas saran bibinya, dia justru mendaftar di Unair. "Saya daftar fakultas ekonomi sama hukum. Akhirnya, diterima di fakultas hukum," terangnya.
Dia tidak ingat persis kenapa dua jurusan tersebut dipilih. Bahkan, ketertarikan pada ilmu hukum baru muncul saat sudah berada di bangku kuliah. Dalam perjalanannya, pria kelahiran 31 Maret 1948 itu mengambil konsentrasi hukum tata negara. "Karena nilainya nggak terlalu bagus dan dosennya killer, saya malah tertantang ambil tata negara dibanding pidana atau perdata," imbuhnya.
Ketertarikannya terhadap ilmu tata negara semakin tinggi setelah menempuh pendidikan pascasarjana di Southern Methodist University, AS, bersama mantan Ketua MA Bagir Manan. Namun siapa sangka, jalan yang awalnya tak dikehendaki itu justru membawa suami Siti Soendari tersebut menjadi sosok yang disegani.
Ketika namanya mulai melejit, Harjono sempat dilirik partai politik. Saat Pemilu 1999, PDIP sempat meminangnya untuk maju dalam kontestasi pemilihan umum legislatif. Namun, dengan alasan menjaga independensi dan kebebasan seorang akademisi, dia menolak untuk masuk partai. "Kalau di partai, saya menilai ada pikiran-pikiran yang tidak bisa dilakukan karena terbentur komando partai. Maka, saya di luar saja," ceritanya.
Semangat itu pulalah yang akan dia bawa dalam mengarungi kepemimpinannya di DKPP. (*/c6/fat)
Dimuat di halaman Politik Jawa Pos edisi 29 Juni 2017
Comments