Sejumlah personel band metal asal Ujung Berung |
Sikap berani lapar dengan tidak
menghamba pada industri menjadi kunci band-band beraliran metal di Ujung Berung
menjaga konsistensi. Hal itu juga memupuk fanatisme penggemar yang menjadi
fondasi militansi.
Folly Akbar, Bandung *)
SAAT
tiba di Ujung Berung Jumat (3/11), kesan "kawasan metal" yang
dibayangkan tidak muncul. Meski melahirkan ratusan band metal yang tak lekang
waktu, simbol metal seperti sosok berpenampilan garang yang berkeliaran, atau
gambar-gambar "iblis" khas metal yang mestinya memenuhi ruang publik,
justru sulit ditemui.
Kalaupun
ada kesan menonjolnya sebuah identitas, yang terpotret adalah kawasan pecinta
Persib. Persis dengan kawasan lainnya di seantero Bandung. Kebetulan, hari itu
Ujung Berung menjadi “tuan rumah” nonton bareng laga klasik Persija VS Persib.
Layaknya
sebuah daerah perkotaan, masyarakat di situ sibuk dengan rutinitasnya. Pedagang,
pegawai pemerintahan, karyawan swasta, hingga penyedia jasa transportasi
seperti ojek dan supir pun tampak menjalankan tugas kesehariannya
masing-masing.
"Keseharian
di sini sama saja kaya umumnya," kata Vokal Jasad, Muhamad Rohman atau
akrab disapa Man Jasad saat ditemui di Extend Studio, Jumat (3/11).
Jasad
sendiri merupakan salah satu band metal jebolan Ujung Berung yang sudah
mendunia. Selain itu, ada nama-nama lain yang juga tenar seperti Burgerkill,
Forgotten, Beside, hingga Disinfected.
Meski
terlihat biasa, kata Man, aktivitas musik, khususnya metal di Ujung Berung tak
pernah mati. Setiap harinya, ada saja anak-anak band yang berlatih, atau
sekedar berkumpul di daerah yang berada di wilayah Bandung Timur tersebut.
Sebuah rutinitas yang berlangsung sejak akhir 1980-an.
Saat
ini, ada tiga studio yang menjadi “jantung” seniman metal bermusik, sekaligus
nongkrong di wilayah tersebut. Yaitu Pieces Music Studio, Extend Music Studio,
dan Rooms Music Studio.
Dari
perkumpulan dan nongkrong bareng itulah, proses regenerasi berjalan
turun menurun. Ya, meski band underground di
sana menjamur sejak tiga dekade lalu, tidak pernah ada proses formal dalam
perjalanannya. Semuanya mengalir bak air di sungai.
“Kita
alamiah saja. Kalau formal jadi kaya ormas,” imbuhnya berseloroh. Kalaupun ada
komunitas bernama Ujung Berung Rabels, wadah tersebut pun sebatas membahas
sejumlah gawean acara-acara yang digelar bersama.
Vokalis
Disinfected, yang juga salah satu pentolan generasi awal Ujung Berung, Ameng
menambahkan, regenerasi di sana terbangun melalui relasi pertemanan. Biasanya,
ketertarikan untuk bermusik muncul karena komunikasi yang intens.
“Orang
bawa temen ke sini, ngobrol-ngobrol. Lama-lama tertarik, jadi main” terangnya.
Bahkan,
kata Ameng, tidak sedikit pula di antara pelaku musik metal di Ujung Berung
yang bermula dari coba-coba. Salah satu contohnya adalah Diaz yang kini merupakan
gitarisnya. “Dia awalnya otak-atik gitar,” ujarnya.
Dalam
proses informal itu, semua saling berbagi. Tak melulu soal teknis bermusik,
pengalaman dan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seniman, khsusunya pemusik cadas
pun terus ditransformasikan kepada mereka yang baru bergabung.
Man
Jasad menceritakan, terus eksisnya musik metal di Ujung Berung, di saat
komunitas serupa di Jogjakarta ataupun Malang mulai redup bukanlah tanpa
alasan. Bahkan dalam survei yang dilakukan internalnya, di tahun 2010 saja ada
sekitar 140 band serumpun seperti metal, death metal, grindcore, hingga heavy
metal di Bandung. Dan mayoritas ada di Ujung Berung.
Pria
kelahiran Cimahi itu menyebut kunci dari eksistensi adalah sikap berani lapar
yang terus dijaga kawan-kawannya. Man mengklaim, meski tidak semua, banyak band
metal di tempatnya yang masih kukuh memegang prinsip tersebut.
Dalam
praktiknya, prinsip itu ditunaikan dengan cara bermusik yang tidak menghamba
pada pemodal ataupun sponsor. “Kita mah kalau ada sponsor syukur, kalau tidak
ada jalan sendiri,” tutur pria berusia 39 tahun itu.
Uniknya,
meninggalkan cara-cara industrialisasi musik mainstream justru membuat Ujung
Berung semakin kuat. Jasad misalnya, dibangun sejak tahun 1990-an, hingga kini
tetap eksis dan digandrungi penggemarnya. Sebuah capaian yang sulit didapat
band-band yang mengikuti pola industri musik mainstream.
Dengan
tidak menghamba pada industri mainstream, militansi dan fanatisme di kalangan
para penyukanya justru menjadi pondasi yang kokoh bagi Ujung Berung.
"Kalau mainstream tidak ada sponsor tidak manggung. Kita mah tetap
manggung meski kecil-kecilan," kata pria berkumis itu.
Meski
demikian, bukan berarti Ujung Berung anti industri. Hanya saja, mereka lebih
suka membangun industri sendiri dibandingkan dengan mendompleng ke label
tertentu. Nyatanya, saat ini, semua yang berkaitan dengan produksi baik CD
maupun merchandise, distribusi seperti distro, hingga publikasi media mereka
bangun sendiri.
“Industri
mainstream penjualan sudah dimonopoli oleh label-label. Kita Jalan seadanya,” kata
pria yang menolak minum air mineral kemasan itu.
Kokohnya
kesetiaan para penyuka juga tidak terlepas dari cara Ujung Berung dalam
mendidiknya. Dalam memproduksi karya misalnya, cara manual tapi bermartabat
dengan membuat kaset atau CD terus ditanamkan. Maka jangan heran, segurem
apapun band metal di sana, semuanya memiliki CD. Sebab, Ujung Berung meyakini,
cara produksi mempengaruhi pola pikir konsumennya.
Mereka
tidak sepakat dengan pola musisi sekarang yang mulai memanfaatkan internet
seperti YouTube, atau portal-portal musik. Menurut Man, cara tersebut sama
saja dengan membodohi konsumen.
Dia
menilai, mengakses karya seorang seniman tidak layak dilakukan dengan cara
sembrono seperti mendownload di situs atau menonton di Youtube. “Itu cara yang
dzalim. Di balik proses produksi kan ada perut-perut yang harus diisi makanan,
ada senar yang harus dibeli,” kata lulusan STM itu.
Sebaliknya,
dengan cara bermartabat, kata dia, akan terjadi ikatan saling menghargai antara
seniman dan penggemar. Selain itu, koleksi yang nampak secara fisik, jauh
memiliki nilai lebih. bukan hanya sejarah, namun juga keuntungan ekonomi. Biasanya,
semakin jadul sebuah CD, semakin mahal nilai ekonominya.
Di
akuinya, walau jumlah penikmatnya nanti tidak sampai puluhan juta seperti viewer video klip beberapa musisi
di Youtube, Man yakin, para penyukanya memiliki kesetiaan yang lebih dalam. “Yang
sekarang naik daun di Youtube paling sekilas saja,” selorohnya.
Meski
demikian, dia tidak terlampau risau jika ada oknum-oknum yang membajak
karyanya. Sebab, para penggemarnya tetap akan membeli produk yang resmi. Karena
pola itu lah yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
Nah,
kini, semangat itu pula, yang sekarang terus dia tanamkan kepada para
adik-adiknya di Ujung Berung. Menurutnya, hanya dengan cara itu, Ujung Berung
sebagai entitas musik metal tidak terjerembab pada kemunduran.
Hanya
saja, diakuinya, proses transformasi tersebut tidak selalu berjalan mulus.
Sebab, ada saja kelompok yang salah menerjemahkan nilai-nilai tersebut. Dalam
menggelar acara misalnya, mulai muncul beberapa kelompok dikalangan generasi
baru yang mulai gila popularitas.
“Mulai
manja. Kalau bikin acara pengen diliput media mainstream, pengen ada sponsor,”
kata dia.
Saat
ditanya solusinya, Man mengaku hanya bisa berupaya tampil maksimal dan sesuai
prinsip yang dia pegang. Bagi seorang musisi, kampanye terbaik yang bisa dia
lakukan adalah memberi contoh yang baik. Dia enggan seperti politisi yang
banyak bermain dengan kata-kata namun minim bukti.
Toh,
pada perjalanannya, waktu pula yang akan menjawab, apakah sebuah band bisa
tetap eksis atau justru masuk ke lubang kematian. “Nanti berproses alami, yang
oportunis akan mati dengan sendirinya,” kata pria yang bergabung dengan Jasad
pada 1999 itu. *)
Tulisan Ini dimuat di Jawa Pos edisi Senin 8 November 2017
Comments