Keberhasilan Edy Suryanto jadi penerima
bonus terbanyak merupakan buah kemauan keras berlatih catur sejak usia belasan
tahun. Termasuk melawan mereka yang berpenglihatan normal.
FOLLY
AKBAR, Bogor
---
KEEMPAT medali
kebanggaan itu dikalungkan di leher Edy Suryanto. Itu membuat keberadaannya
cukup mencolok jika dibandingkan dengan para atlet lain yang kemarin diterima
Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor.
”Saya
sebetulnya target empat emas. Tapi, satu luntur jadi perunggu,” ujarnya, lantas
terbahak.
Kalau
seharian kemarin Edy terlihat sangat gembira, itu wajar. Sebab, bersama dengan
para duta olahraga Indonesia lain yang tampil di Asian Para Games (APG) 2018,
dia mendapat ganjaran bonus.
Juga,
Edy yang berkantong paling tebal. Itu tak lepas dari raihan pecatur tunanetra
tersebut di APG 2018: tiga emas dan satu perunggu.
Tiga
medali emas diraih dari kelas catur cepat perorangan VI-B1, kelas catur klasik
beregu VI-B1, dan kelas catur cepat beregu VI-B1. Atas prestasi itu, dia
diganjar Rp 1,5 miliar untuk emas individu dan masing-masing Rp 750 juta untuk
emas beregu.
Sementara
itu, satu medali perunggu dia dapatkan di kelas catur klasik perorangan VI-B1.
Atas prestasi di kelas tersebut, dia mendapat tambahan Rp 250 juta. Total, pria
60 tahun itu mengantongi bonus Rp 3,25 miliar.
Pemerintah
memberikan besaran bonus yang sama kepada para atlet Asian Games dan Asian Para
Games. Peraih emas mendapat Rp 1,5 miliar, perak Rp 500 juta, dan perunggu Rp
250 juta. Sementara itu, atlet yang tidak mendapat medali tetap diberi bonus
masing-masing Rp 20 juta.
Kesuksesan
Edy merupakan buah perjuangan panjang. Muara atas keteguhannya untuk tidak
menyerah terhadap kondisi fisik. Yang tentunya bisa menjadi inspirasi bagi siapa
saja.
Mempelajari
catur tanpa indra penglihatan jelas membutuhkan usaha ekstra. Saat seorang
pecatur tunanetra bermain, tangannyalah yang berfungsi untuk melihat.
Karena
itu, setiap sudut di papan catur harus tuntas diraba. Harus dipahami posisinya.
Bukan
hanya itu. Setiap pergerakan pion catur yang dimainkan mesti diingat betul.
Baik yang dia mainkan ataupun yang dimainkan lawan. Jika lupa dengan posisi dan
pergerakannya, strategi bisa buyar. Kekalahan akan menghampiri.
Edy
yang mengalami kebutaan sejak berusia 6 tahun berkenalan dengan catur saat
duduk di bangku SMP. Ketika usianya masih belasan tahun. Guru pertamanya adalah
sesama kawan yang juga tunanetra.
Papan
catur yang digunakan pun khusus. Berjenis braille. Ada lubang-lubang simbol di
permukaannya. ”Saya latihan di mana saja, di trotoar, di warung kopi. Pokoknya
mana saja,” imbuhnya.
Lama-kelamaan,
ayah dua anak itu kian menaruh hati pada permainan ”lomba membunuh raja”
tersebut. Intensitas bermainnya pun terus ditingkatkan. Kemampuannya bertambah.
Buntutnya,
kawan yang mengajari pun dapat dia imbangi. Bahkan kemudian dikalahkan.
Karena
kian lama tidak ada lawan tanding di kalangan penyandang tunanetra di
kampungnya di Solo, dia kerap bermain dengan kerabatnya yang mampu melihat.
Meski terkesan tidak berimbang, itu tak menciutkan keinginan Edy untuk menguji
kemampuan.
”Dia
nggak mau papan catur braille. Saya pakai catur yang tidak bisa diraba. Tapi,
saya memberanikan diri, berani saja,” tuturnya dengan antusias.
Tentu
saja itu menyulitkan Edy. Namun, pria yang sehari-hari bekerja sebagai pemijat
tersebut sesekali berhasil mengalahkan si lawan yang bisa melihat.
Meski
kemampuan bermain caturnya cukup menjanjikan, Edy tidak lantas menjadikan catur
sebagai jalan hidup. Maklum, saat itu perlombaan-perlombaan juga belum
menjanjikan penghasilan yang mamadai.
Bagi
dia kala itu, bermain catur hanya digunakan untuk menyegarkan pikiran.
Sekaligus menjadi wadah untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.
Nah,
untuk menutupi kebutuhan hidupnya, Edy memilih untuk menjalani profesi tukang
pijat. Profesi yang memang sangat identik dengan penyandang tunanetra. Dia
lantas berkeliling dari rumah ke rumah. Mendatangi siapa pun yang membutuhkan
jasanya.
Meski
tidak bisa menjanjikan uang dalam jumlah besar, pekerjaan itu setidaknya bisa
membantu keuangan keluarga yang juga disokong pekerjaan sang istri, Yuniarti,
sebagai penjahit. Pekerjaan sebagai tukang pijat itu pun Edy lakoni sampai 2007
atau dua tahun setelah dirinya resmi terjun ke catur profesional. Ajang bergengsi
pertama yang dia ikuti adalah ASEAN Para Games di Manila, Filipina, pada 2005.
Di
ASEAN Para Games edisi ketiga tersebut, Edy berhasil merebut medali emas.
Kesuksesan itu kemudian berlanjut di ajang ASEAN Para Games selanjutnya. Yakni,
edisi 2007 di Thailand, 2009 di Laos, 2011 di Indonesia, 2013 di Myanmar, 2015
di Singapura, dan 2017 di Malaysia. Menurut perhitungannya, sudah ada 15 medali
emas ASEAN Para Games yang berhasil dia raih.
Sejak
terjun ke kelas profesional, tidak ada hari tanpa bermain catur bagi Edy.
”Latihan pikiran, selalu mikirin catur terus. Bahkan tidur pun mimpi main
catur,” tuturnya, lantas terkekeh.
Dengan
rentetan medali yang kerap diraih, kehidupannya pun telah lama berubah. Mimpi
Edy berikutnya adalah pergi ke Tanah Suci. Selain itu, dia berencana
mengembangkan usaha sang istri di bidang konfeksi.
”Jenis
usaha istri saya menjahit dan jual baju. Terserah istri saya mau bagaimana,”
kata dia.
Bagi
dia, itu hadiah yang sangat pantas untuk sang istri yang telah demikian penuh
kasih mendampingi. ”Istri saya setia banget sama saya. Kemarin, pas saya
dapat emas, dia nangis saking senengnya,” katanya. (*/c11/ttg)
Tulisan dimuat Koran Jawa Pos edisi Minggu, 14 Oktober 2018
Comments