Dua kali kecelakaan pesawat, dengan luka
parah dan nyaris meninggal menjadi pengalaman buruk Laura Lazarus sebagai
Pramugari Lion Air. Kini, dia sukses sebagai penulis dan motivator.
Folly Akbar, Jakarta
JIKA
tidak ada dua kruk di kedua sisi tubuhnya, siapapun akan melihat Laura Lazarus
sebagai sosok biasa. Kulitnya putih dan bersih. Rambutnya yang lurus menambah
rona ayu di wajahnya. Saat berdiri, dia terlihat sempurna. Sosok yang pas untuk
ukuran pramugari pesawat.
Namun,
itu sebetulnya adalah tampilan terkini. Empat belas tahun setelah dia berhasil
melewati peristiwa paling mengerikan di sepanjang hidupnya. Peristiwa yang
menguras air mata, emosi dan materi yang besar.
Ya,
perempuan kelahiran Jakarta, 25 Maret 1985 itu merupakan salah seorang korban
yang selamat dari dua kecelakaan pesawat Lion Air. Masing-masing di kawasan
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pada Juli 2004, dan kawasan Bandara Adi
Soemarno, Solo, empat bulan kemudian. Di situ, dia tengah bertugas sebagai
salah seorang pramugari.
Atas
peristiwa yang terjadi di Solo itu, Laura nyaris kehilangan nyawanya. Saat
ditemukan, dia berada pada kondisi yang amat mengenaskan. Tulang pipi di bagian
kanan remuk dengan sekepal daging yang sudah hilang. Sementara daging betis di
kaki kanannya sudah habis. Tulangnya sudah patah tak beraturan.
Di
sekujur tubuhnya, dia penuh luka parah. Bahkan, saat itu, Laura sempat dikira
meninggal. “Pokoknya ngeri lah,” kata dia saat menjelaskan perasaannya pasca
kecelakaan kepada Jawa Pos di sebuah café, kawasan Jakarta Selatan, Selasa
(6/11).
Beruntung,
berkat kegigihan tim medis di singapura dan pemberian tulang kaki warga
Filipina, kondisi Laura jauh lebih baik. Dia bisa berjalan meski harus dibantu
kruk di kedua sisinya. “Semoga bisa jalan normal lagi,” kata dia saat memperlihatkan
kondisi tubuhnya sambil berdiri.
Saat
kecelakaan pertama, kondisinya tidak terlampau parah. Meski sama-sama keluar
lintasan, posisi pesawat tidak seperti di Solo yang terlempar jauh. Karena itu
lah, saat kecelakaan di Palembang, dia belum terfikir untuk keluar dari dunia
penerbangan. Terlebih, menjadi pramugari juga menjadi cita-citanya sejak kecil.
“Saya
merasa mereka (lion) keluarga. Punya impian berjuang bersama (saat itu maskapai
baru). Saya tetap berjuang dong, tetap terbang,” tuturnya. Namun, kecelakaan di
Solo benar-benar meruntuhkan segalanya. Laura, yang kala itu berusia 19 tahun,
terpaksa mengakhiri cita-cita terbesarnya.
Hidup
pasca mengalami peristiwa mengerikan bukanlah perkara mudah. Terlebih, Lion
air, perusahaan yang sempat dianggap keluarga itu tidak memberikan perhatian
sebagaimana dia harapkan. Belum juga pengobatan tuntas, maskapai berlambang
Singa itu seolah melepaskan dia begitu saja.
Laura
sendiri mengaku beberapa kali mendatangi kantor Lion. Di berbagai kesempatan,
dia sempat mempertanyakan nasibnya. Sebab, benar-benar tidak ada kejelasan
apakah karirnya berhenti atau bisa berlanjut dengan tugas yang berbeda.
“Saya
nanya ke kantor, saya harus gimana. Mereka cuma bilang nanti akan dikabarkan.
Dan 2007 gaji saya diberhentikan,” ungkapnya.
Karena
tidak ada pemecatan, dia pun lantas mempertanyakan hal itu. Bersama Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), dia sukses memaksa kantor memberikan hak keuangannya.
Namun itu hanya berlangsung setahun. Setelah itu, gaji kembali berhenti.
Dia
pun kembali mendatangi kantor. Lagi-lagi tanpa kejelasan. Tapi, kali ini dia
memilih untuk bersikap biasa. Meski tanpa kepastian, Laura menganggap itu
sebagai akhir dari hubungannya dengan perusahaan. “Ibaratnya mau pulang ke
rumah tapi koper sudah di depan. Ya sudah tahu diri saja,” ungkapnya.
Move
On
Mendapati
sikap perusahaan yang tidak bisa diandalkan. Jiwa petarungnya pun muncul.
Sebagai tulang punggung keluarga, dia melakukan segalanya. Mulai dari jualan
makanan hingga kosmetik dia lakoni. Semua yang ada diupayakan.
Di
sela-sela masa pencarian itulah, dia terlintas untuk memulai aktivitas baru.
Yakni menulis. Dengan kemampuan seadanya, dia nekat menulis. Kisahnya yang
selamat dari peristiwa mengerikan dia goreskan kalimat per kalimat. Tak
disangka, satu buku berhasil dirampungkann dan terbit di tahun 2008.
Dan
yang lebih mengejutkan, buku berjudul ‘Unbroken Wings’ mendapat tanggapan
positif. Banyak orang memburunya. Kisahnya di baca banyak khalayak. Terlebih,
mereka yang tengah mencari inspirasi atau jalan keluar atas persoalan yang
dialami. Pundi-pundi rupiah mulai masuk ke kantongnya.
Seiring
waktu berjalan, beberapa pembaca mulai memberikan respon balik. Rata-rata
melalui surat. Di antara sekian banyak repon, ada satu yang paling menyayat
hatinya. Saat ada pembaca yang mengaku batal bunuh diri usai membaca kisahnya.
“Saya
merasa dari buku ini saya bisa beri kesempatan ke banyak orang di luar sana,”
imbuhnya.
Tak
pelak, upayanya untuk berbagi semangat semakin kuat. Laura mulai sering mengisi
forum. Keberhasilannya Move On dari kondisi mengenaska dirasa cocok
untuk membangkitkan antusiasme. Forum kecil di sekolah-sekolah, hingga
perusahaan memintanya berbagi kunci kebangkitan.
“Mereka
harapkan kasih semangat. Ingin orang di sekeliling saya bisa belajar dari saya,”
kata dia.
Di
tahun 2013, cobaan sempat kembali menggelayutinya. Kaki kanan hasil operasi
mengalami keretakan. Diduga, kaki tersebut tidak bisa menopang tubuhnya. Sadar
kebutuhan untuk menjaga kondisinya tidak mudah, Laura mulai memikirkan cara
lain meraih materi. Sebab, tidak mungkin meminta pengobatan kembali ke Lion
Air.
Di
tengah kondisi itu, keluarlah ide untuk mendirikan penerbitan. Yang dia namai
Growing Publising. Kebetulan, saat itu juga dia berencana menerbitkan buku
baru. Berjudul Unbroken Spirit.
Dia
berfikir, dengan menerbitkan sendiri buku itu, keuntungan yang didapat bisa
lebih besar dibandingkan dengan menitip di penerbitan orang. Selain itu, Laura
juga mulai menerima naskah dari banyak penulis. Rata-rata, buku yang dia
terbitkan memiliki genre buku motivasi.
Hingga
lima tahun berjalan, sudah lebih dari 40 buku dia terbitkan. Selain materi, dia
juga merasa mendapat kepuasan lain. Yakni bisa lebih bermanfaat bagi banyak
orang. "Ini lebih dari uang yang saya dapatkan," terangnya.
Dia
bersyukur atas apa yang dia raih. Kalaupun Lion tidak lagi menjamin biaya
pengobatannya, kini Tuhan memberinya dengan cara yang lain. Sebab, setiap
beberapa bulan, dia masih harus berobat. Bukan lagi ke Singapura, melainkan
Penang Malaysia. "Saya ga mampu biaya di Singapura," ungkapnya.
Kini,
saat peristiwa kecelakaan pesawat kembali terjadi, Laura semakin sibuk. Dia
harus mondar-mandir memenuhi wawancara media. Bukan itu saja, kasus kecelakaan
yang terjadi di perairan Karawang juga kembali membawanya ke ingatan masa lalu.
"Setiap
ada kecelakaan pesawat, saya selalu teringat. Ikut takut," pungkasnya.
(*)
Naskah teredit Terbit di Koran Jawa Pos edisi 8 November 2018.
Comments