Bersama sejumlah kawan sesama tuli, Laura Lesmana Wijaya telah melatih setidaknya 1.500 juru bahasa isyarat. Semua dilakukan demi menghapus stigma ”orang tuli biar di rumah saja”
FOLLY
AKBAR, Jakarta
---
BUAH kerja
keras selama empat tahun itu mulai dipetik R.N. Jasmina. Dia kini bisa
berinteraksi langsung dengan kawan, saudara, atau kenalan yang tuli.
”Senang
sekali. Karena kebetulan saya ini suka kepo, hehehe,” kata mahasiswi Sastra
Jawa Universitas Indonesia itu.
Penguasaan
bahasa isyarat tersebut dipelajari Mine –sapaan akrab R.N. Jasmina– di Pusat
Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo). Di matanya, iklim belajar di sana yang
mengharuskan siswa terjun ke lapangan sangat membantu.
”Jadi
berasa kurangnya apa, harus diperbaiki apanya, tahu juga situasi yang
dihadapi,” imbuhnya.
Laura
Lesmana Wijaya berada di balik penciptaan iklim tersebut.
Perempuan
28 tahun itulah yang selama beberapa tahun terakhir menakhodai Pusbisindo.
Laura
pula yang dalam tiga tahun terakhir bersama sejumlah kerabat sesama tuli
mendirikan Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ), produsen juru bahasa
isyarat profesional. Satu-satunya lembaga resmi di Indonesia, dalam catatan
Laura, yang menyediakan jasa juru bahasa isyarat.
Hingga
saat ini, menurut Laura, setidaknya sudah 1.500 orang yang pernah dilatih
menjadi juru bahasa isyarat. Meskipun masih pada taraf bahasa standar ataupun
dasar-dasar. ”Sekarang baru level 3. Ke depan, ingin dibuat sampai level 6,”
tutur dia yang diterjemahkan oleh Aliyah, lulusan Pusbisindo juga.
Laura
terlahir sebagai penyandang tuli. Kondisi itu otomatis membuat dia tak bisa
berbicara. ”Bapak, mamah, dan kakak saya tuli. Mungkin keturunan. Tapi, saya
juga tidak tahu dari mana penyebabnya,” ujar perempuan lajang itu.
Sangat
tak mudah terlahir sebagai difabel di Indonesia. Minimnya orang yang paham
bahasa isyarat, misalnya, sangat menyulitkan penyandang tuli. Termasuk di dunia
pendidikan.
Laura
mengalami sendiri bagaimana dirinya sejak duduk di bangku TK dipaksa memahami
pelajaran secara oral. ”Saya berjuang memahaminya sendiri,” katanya dalam
perbincangan menjelang tutup tahun lalu di sebuah food court di Jakarta Barat.
Puncaknya
adalah stigma miring di lingkungan masyarakat. Penyandang tuli dianggap sebagai
sosok yang tak bisa diandalkan. Karena itu, tidak jarang mereka terpinggirkan.
Tidak diberi kesempatan yang sama untuk berkembang. ”Banyak orang berpikir,
orang tuli biar di rumah saja,” kata dia.
Berangkat
dari kegelisahan itu, Laura bertekad melakukan sesuatu bagi orang-orang yang
bernasib sama dengannya. Apalagi, berdasar pengalaman menempuh pendidikan S-1
di Chinese University, Hongkong, dia menemukan kondisi yang berbeda.
Itulah
yang tak dia temukan di Indonesia, kecuali mungkin di Universitas Indonesia.
Namun, Laura tidak mau menyalahkan lembaga pendidikan di Indonesia sepenuhnya.
Sebab,
faktanya, memang tidak banyak orang di Indonesia yang mampu menjadi juru bahasa
isyarat. Apalagi, tidak ada lembaga yang benar-benar menyediakan kebutuhan
tersebut.
Di
situlah Pusbisindo berperan. Alumninya tidak hanya diberdayakan di PLJ, tapi
juga merambah sektor lain. Misalnya, menjadi guru bantu di sekolah luar biasa
(SLB) atau bertindak sebagai pembimbing bahasa isyarat bagi orang tua yang
memiliki anak tuli.
Ada
pula yang bekerja sebagai penerjemah freelance seperti Aliyah. Mahasiswi UIN
Syarif Hidayatullah itu kini ditugasi sebagai juru bahasa isyarat di wilayah
Tangerang, Banten.
Namun,
jika ada job di Jakarta yang tidak bisa diambil anggota lain, dia kerap diminta
untuk menggantikan. ”Buat nambah-nambah biaya skripsi,” katanya.
Di
Pusbisindo, pembelajaran sepenuhnya dilakukan oleh Laura bersama para guru yang
kompeten. Semua pengajar di sana tuli. Mereka memiliki kemampuan bahasa isyarat
yang alami dan sesuai dengan kebiasaan di Indonesia.
Selain
teori, pembelajaran kebanyakan dilakukan dengan praktik langsung. ”Kami
berinteraksi langsung dengan penyandang tuli,” kata Mine, mengenang masa-masa
dirinya belajar di Pusbisindo.
Selain
membentuk PLJ dan memimpin Pusbisindo, upaya yang tengah ditempuh Laura adalah
menyusun kamus bahasa isyarat. Dengan bermacam versi daerah.
Saat
ini dia sudah membuat kamus bahasa isyarat versi Jakarta dan Jogja. Sementara
itu, versi lain yang sedang dikerjakan adalah versi Banten, Pontianak, dan Makassar.
Banyaknya
versi bahasa isyarat, lanjut dia, menunjukkan bahwa kekayaan bahasa di
Indonesia tidak hanya terjadi pada metode oral. Kosakatanya memiliki gerakan
isyarat yang berbeda-beda dan berangkat dari budaya daerah masing-masing.
Kamus-kamus
tersebut bisa menjadi panduan. Sebab, saat ini standar bahasa isyarat yang
dibuat pemerintah Indonesia diadopsi dari Amerika Serikat sehingga menimbulkan
resistansi dari kelompok tuli di seluruh Indonesia.
”Teman-teman
tuli Indonesia melihat bahasa isyarat yang dari Amerika, tidak paham,”
tuturnya.
Namun,
dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan untuk merealisasi kamus berbagai versi
tersebut. Selain anggaran, menurut dia, diperlukan riset dan kerja sama dengan
universitas di daerah maupun komunitas tuli lokal.
”Kira-kira
butuh waktu 3 sampai 5 tahun untuk membuat kamus,” terangnya.
Mine
sangat kagum dengan kegigihan Laura berjuang untuk kesetaraan kalangan tuli
itu. ”Mbak Laura itu pantang menyerah, tegas, dan sangat menghargai orang lain.
Contoh kecil saja, meski sibuk, masih mau membalas (pesan, Red) WhatsApp,”
katanya.
Sejauh
ini, perjuangan kerasnya telah membuahkan banyak hasil. Jumlah penyandang tuli
yang mau ”keluar rumah”, memperlihatkan bakat terpendam mereka di berbagai
bidang, menunjukkan tren membaik. Misalnya, jumlah peserta acara perkemahan
tuli yang dia gagas bersama komunitas juga semakin banyak. Mulai kategori usia
9–12, 13–17, hingga 18–30 tahun.
Namun,
Laura sadar, perjuangannya belum sampai ke garis finis. Masih banyak yang harus
dia kerjakan sembari berharap itu semua bisa membuka mata pemerintah.
”Bagi
saya, yang paling berharga adalah ketika apa yang saya kerjakan, baik mengajar
atau membuat kamus, bisa dimanfaatkan banyak orang. Membuat kalangan tuli
percaya diri,” katanya. (*/c11/ttg)
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos edisi Sabtu 26 Januari 2019
Comments