Skip to main content

Mengenal Suku Dayak Bumi Segandu Indramayu yang Memuliakan Perempuan




Setia, bertanggung jawab, dan tidak menyakiti perasaan istri jadi bagian penting nilai yang dijunjung para anggota suku Dayak Bumi Segandu. Mereka mengaji rasa ke alam agar bisa ”mengayak” mana yang benar dan salah.

FOLLY AKBAR, Indramayu
---
NUR Baiti tertawa begitu mendengar obrolan Jawa Pos itu. ”Malah enak, kalau nyuci tidak berat,” selorohnya.

Bersama istri seorang anggota Suku Dayak Bumi Segandu Indramayu itu, Jawa Pos tengah berbincang tentang berbagai laku tradisi dan hidup komunitas di mana dia berada. Di antaranya tentang cara berpakaian para lelaki setempat yang selalu bertelanjang dada.

”Saya bersyukur punya suami yang bertanggung jawab dan menyayangi anak-anak,” kata ibu dua anak dari pernikahannya dengan Kasan tersebut.
Suku Dayak Bumi Segandu Indramayu yang anggotanya semua laki-laki itu dikenal sebagai komunitas yang sangat memuliakan perempuan dan anak-anak.

Bagi mereka, perempuan merupakan sumber kehidupan. ”Kami juga meyakini, anak merupakan pemberian dan titipan dari alam,” kata Wardi, salah seorang anggota Suku Dayak Bumi Segandu Indramayu, dalam bahasa Dermayon saat ditemui Jawa Pos di padepokannya Kamis (4/4) tiga pekan lalu.

Dermayon adalah dialek dalam bahasa Cirebon yang luas digunakan di Indramayu, Jawa Barat. ”Markas besar” Suku Dayak Bumi Segandu Indramayu memang berada di lahan seluas 1 hektare di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Meski ada kemiripan nama, Suku Dayak Bumi Segandu tidak memiliki keterkaitan dengan suku Dayak di Kalimantan. Di komunitas itu suku juga tidak berarti suku bangsa atau etnis.

Suku dalam bahasa Dermayon berarti kaki. Maknanya, setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan. Sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.

Sementara itu, dayak berasal dari kata ayak atau ngayak yang dalam bahasa Dermayon berarti menyaring atau memilih. Makna kata dayak di sini adalah memilih mana yang benar dan mana yang salah. Sementara bumi berarti wujud dan segandu bermakna sekujur badan. Jadi, makna utuh dari bumi segandu adalah kekuatan hidup.

Mereka tak menganut agama tertentu. Inti ajaran yang dipercaya dan dirawat Suku Dayak Bumi Segandu dari leluhur mereka adalah kedekatan dengan alam semesta. Dan, rasa yang dimiliki manusia.

”Jadi, kami ngaji alam,” ujarnya.

Wardi menceritakan, berdasar cerita yang diyakininya, ajaran tersebut sempat surut setelah masuknya agama-agama dari luar. Tapi, pada akhir 1960-an, seorang pemuda asli Indramayu bernama Paheran Takmad Diningrat berupaya melestarikan kembali ajaran itu.

Ngaji alam berarti mengaji rasa. Sebagaimana filosofi kata dayak, kelompok tersebut diajari untuk bisa mengayak atau memilih mana yang benar dan mana yang salah. ”Kalau kami mengambil barang orang lain apa menimbulkan rasa senang? Kalau tidak, berarti itu salah,” terangnya mencontohkan.

Berbekal ngaji alam itu pula, Suku Dayak Bumi Segandu mengamalkan nilai-nilai ajaran mereka. Soal makanan, misalnya, kelompok tersebut tidak pernah memakan makanan yang berbahan dasar makhluk yang bernyawa. Setiap hari mereka menjadi seorang vegetarian. Untuk makanan dasar, mereka biasa mengonsumsi nasi, kentang, dan berbagai umbi-umbian lain.



Sementara untuk lauk, mereka terbiasa makan berbagai jenis sayur-sayuran maupun makanan olahan yang berbahan dasar tumbuhan. Seperti tempe, tahu, ataupun perkedel. Kalau ingin variasi, bisa juga memasak tumis yang diolah hanya dengan bumbu garam atau gula.

Berdasar ngaji alam yang mereka rasakan, Suku Dayak Bumi Segandu meyakini, hewan memiliki rasa sakit saat dibunuh untuk dikonsumsi. ”Kasihan kalau dibunuh,” tutur Wardi.

Memuliakan perempuan dan anak-anak juga jadi bagian penting keyakinan Suku Dayak Bumi Segandu. Perwujudannya sederhana saja: dengan selalu setia pada komitmen pernikahan, memberi nafkah, mau mengerjakan pekerjaan rumah, dan tidak menyakiti perasaan. ”Tidak ada (anggota, Red) kelompok sini yang membentak atau memarahi istri,” kata pria 43 tahun tersebut.

Karena itu pula, tidak ada satu pun istri dari anggota kelompok yang bekerja. ”Kalau di Indramayu banyak perempuan jadi TKI (tenaga kerja Indonesia) di luar negeri, di sini tidak boleh,” ucap Wardi.

Nur Baiti mengamini. Sempat ditentang keluarga saat menjalin hubungan dengan anggota Suku Dayak Bumi Segandu, dia kini justru bersyukur. Sebab, sang suami sangat menyayangi dan menghormatinya. ”Enak, suami saya nggak pernah nakal,” ungkapnya malu-malu.

Tidak diketahui jumlah pasti anggota Suku Dayak Bumi Segandu. Sebab, mereka membebaskan anggota untuk punya KTP atau tidak. Jadi, banyak yang akhirnya tak terdata secara administratif.

Anak-anak pun tidak diwajibkan mengikuti jalan hidup seperti ayah mereka. Kelompok itu juga tak pernah menyebarkan, apalagi memaksakan, ajaran mereka kepada orang lain. Mungkin karena itu pula, harmoni dengan lingkungan sekitar terjaga. Apalagi, para anggota Suku Dayak Bumi Segandu dikenal ramah dan terbuka kepada orang luar.

Jawa Pos merasakan sendiri keramahan tersebut saat sejak siang sampai malam berada di pusat kegiatan mereka. Kebetulan saat itu malam Jumat Kliwon, waktu bagi para anggota Suku Dayak Bumi Segandu menembangkan kidung-kidung perwujudan rasa syukur kepada alam. Ada tiga kidung yang ditembangkan saat itu: Kidung Pujian Alam, Kidung Alas Turi, dan Kidung Sejarah Wayang Pandawalima.

Di lahan seluas sekitar 1 hektare yang jadi pusat kegiatan sejak 1970-an itu, ada bangunan rumah pemimpin suku, pendapa, pesarean, serta pesanggaran. Juga bangunan rumah tinggal yang dikelilingi tembok dengan berbagai ukiran setinggi 2 meter.

Wardi menceritakan, tidak semua anggota suku tinggal di situ. Bahkan, sebagian besar justru tinggal di rumah masing-masing. Berbeda dengan warga adat seperti Baduy, misalnya, yang tinggal berkoloni. ”Di sini tempat berkumpul dan ritual,” imbuhnya.

Mayoritas anggota bercocok tanam di sawah dan ladang. Ada juga yang bekerja sebagai sopir hingga kuli panggul di pasar-pasar. Tapi, di mana pun tinggal dan bekerja, para anggota tetap hidup dengan nilai-nilai adat yang dipegang.

Dari penampilan, misalnya, anggota suku adat tetap mengenakan setelan pakaian yang berlaku di kelompoknya. Yakni bertelanjang dada, bercelana pendek motif hitam dan putih, serta mengenakan aksesori khusus. ”Ada anggota sini yang bekerja jadi sopir, ke Jakarta atau ke mana juga, tetap berpakaian seperti biasa (bertelanjang dada, Red),” ujarnya.

Meski tak pernah mengajak, Suku Dayak Bumi Segandu selalu saja kedatangan anggota baru. Riswan contohnya. Pria 32 tahun itu sudah sejak 2011 memutuskan untuk masuk ke Suku Dayak Bumi Segandu. Keputusan tersebut dia ambil setelah mengalami stres bertahun-tahun sesudah ditinggal pergi istri-anaknya. Kala itu dia nyaris gila.

Dengan mengaji alam, Riswan menemukan kedamaian hidup, mampu menghargai orang lain, dan menularkan kasih sayang. ”Saya sudah bisa hidup dengan tenang sekarang,” katanya dalam bahasa Dermayon.
Untuk menjaga ketajaman dalam ngaji rasa, Suku Dayak Bumi Segandu juga memiliki ritual tahunan yang bernama kumkum. Dalam bahasa Dermayon berarti berendam.

Ritual kumkum dilakukan selama empat bulan dalam setahun. Menjelang akhir tahun. Dalam ritual tersebut, para anggota berendam di sebuah sungai tak jauh dari padepokan.

Selama empat bulan penuh, mereka berendam setiap pukul 12 malam hingga 6 pagi. Sementara di siang harinya mereka berjemur setiap pukul 11 hingga 14. (*/c9/ttg)

Tulisan ini dimuat di Jawa Pos edisi 26 April 2019

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.