Alviani Sabillah, salah seorang pendiri Paramedis Jalanan |
Berbekal pendidikan medis dasar, para personel Paramedis Jalanan turun di tiap aksi besar untuk memberikan pertolongan pertama. Sering mendapat intimidasi meski sudah membawa tanda pengenal medis, termasuk dalam demo anti-omnibus law.
FOLLY AKBAR, Jakarta, Jawa Pos
---
JATUHNYA banyak korban dalam rangkaian aksi demonstrasi ’’reformasi dikorupsi’’ September 2019 lalu sangat lekat di ingatan Alviani Sabillah.
Dia yang juga ikut turun ke lapangan kala itu harus melihat dengan mata dan kepala sendiri kawan seperjuangannya terluka tanpa ada pertolongan medis yang cepat.
Kalaupun ada, hanya pertolongan spontanitas tanpa standar peralatan minimal yang memadai. Sisi kemanusiaannya pun tergugah.
Perempuan berjilbab itu pun akhirnya ikut menginisiasi lahirnya kelompok Paramedis Jalanan. Bersama sembilan kawan lain yang berlatar mahasiswa, buruh, dan aktivis medis. Sebuah kumpulan yang bertugas memberikan pertolongan pertama kepada massa aksi yang menjadi korban represivitas aparat saat demonstrasi.
’’Kami mulai tahun lalu tanggal 28 September,’’ ujarnya kepada Jawa Pos tadi malam.
Sejak dibentuk, kelompok Paramedis Jalanan berjalan dengan konsep yang cair. Tidak ada struktur layaknya organisasi.
Namun, mereka konsisten untuk turun ke lapangan. Dikomandoi rasa kepedulian bersama. Khususnya di aksi-aksi yang berkaitan erat dengan kepentingan publik dan dinilai memiliki potensi keributan. Misalnya, aksi peringatan Hari HAM, Hari Buruh, hingga yang terbaru pada aksi penolakan omnibus law Kamis lalu (8/10) di Jakarta.
’’Ketika aksinya penting untuk dilakukan, kami akan turun,’’ imbuhnya.
Untuk aksi yang skalanya kecil, terlebih yang bermuatan politik praktis dan tidak terkait dengan kepentingan umum, Alvi dkk menghindari.
’’Karena selama ini kami bagian dari massa aksi, hanya mengambil posisi berbeda,’’ kata dia.
Meski bernama Paramedis Jalanan, Alvi menyebut sebagian besar yang bergiat di dalamnya tidak memiliki latar belakang pendidikan medis sama sekali. Dia sendiri, misalnya, seorang mahasiswa hukum.
Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah yang didasari kesadaran dan kepedulian tersebut. Sadar kemauan saja tak cukup, Paramedis Jalanan pelan-pelan mempelajari ilmu medis dasar. Bahkan, para dokter dan perawat digandeng untuk memberikan pelatihan.
Hasilnya cukup baik. Saat ini setidaknya para anggota memiliki kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama dalam situasi yang khas demonstrasi. Mulai sesak napas karena gas air mata, pingsan akibat berdesakan, keseleo, hingga luka di badan.
’’Misal lihat ada orang robek, kita tutup supaya darah nggak keluar banyak,’’ tuturnya.
Sementara itu, tindak lanjutnya tetap diserahkan kepada petugas kesehatan di rumah sakit. ’’Kami bantu telepon ambulans,’’ ujarnya.
Karena hanya bersifat pertolongan pertama, bekal peralatan yang dibawa juga tidak terlampau rumit. Biasanya, mereka membawa perban, Betadine, minyak kayu putih, dan sejumlah obat-obat ringan lainnya di sebuah boks lengkap dengan tandu.
Semua kebutuhan tersebut dipenuhi dengan sistem swadaya atau patungan antaranggota. Meskipun dalam kasus tertentu, mereka membuka donasi untuk mengajak kepedulian masyarakat. Sejauh ini, Alvi menyebut faktor ’’logistik’’ belum terkendala.
Lantas, bagaimana teknis di lapangan? Mahasiswa STH Jentera itu mengatakan, di setiap aksi, para anggota akan berbagi tugas. Sebagian kecil membentuk posko di tempat yang dinilai strategis dan tidak jauh dari lokasi aksi. Sementara itu, sisanya disebar di berbagai titik. Penyebaran sengaja dilakukan untuk memastikan semua area demonstrasi ter-cover anggota Paramedis Jalanan.
’’Ketika kami lihat ada kawan butuh pertolongan, kami maju menolong mereka,’’ tuturya.
Dalam demonstrasi penolakan omnibus law Kamis lalu, Alvi menyebut tim yang turun sekitar 30 orang. Di lapangan, pihaknya berkolaborasi dengan massa aksi dari Poltekes Jakarta.
Sepanjang aksi tersebut, lanjut dia, cukup banyak demonstran yang dapat ditolong. Rata-rata yang yang ditangani adalah korban akibat gas air mata, peserta aksi yang jatuh, hingga orang pingsan.
’’Ada yang nggak bisa bangun tapi mulutnya ngomong, ada yang keseleo, bahkan jam mau magrib ada yang patah tulang,’’ kata dia.
Penugasan di lapangan, kata Alvi, tak melulu berjalan mudah. Meski sudah mengumumkan diri sebagai petugas medis, mereka tak lantas terbebas dari intimidasi aparat. Kamis lalu pihaknya harus dua kali pindah posko akibat situasi yang tidak kondusif.
Bahkan, saat posko dipindahkan hingga kawasan Gedung Joang Menteng, intimidasi itu tetap datang. ’’Tembakan gas air mata diarahkan ke kami di Gedung Joang. Itu udah bentuk intimidasi. Harusnya kan ke atas,’’ kata Alvi.
Selain itu, lanjut dia, situasi di lapangan cukup menyulitkan. Blokade aparat maupun massa membuat akses tim medis sulit. Mobil ambulans atau motor yang dibutuhkan untuk evakuasi sulit masuk.
Ke depan, dia berharap aparat kepolisian maupun massa aksi bisa lebih memikirkan proses evakuasi. Sebab, terlepas dari apa pun, faktor keselamatan adalah hal yang utama.
’’Jadi, perlu pemahaman yang sama soal aturan di aksi. Kemarin nggak ada jalan yang ditempuh untuk ambulans evakuasi,’’ kata dia.
Alvi mengatakan, semangat Paramedis Jalanan yang di Jakarta sudah merambat ke berbagai kota di tanah air. Di antaranya, Surabaya, Jogjakarta, dan Makassar.
Meski tidak ada naungan yang mengikat satu sama lain, komunikasi yang terjalin sesama Paramedis Jalanan cukup intens dengan dibalut kesamaan misi. Biasanya, satu sama lain berbagi pengalaman.
Alvi berharap semakin banyak warga yang mau bergabung dalam Paramedis Jalanan. ’’Kami melihat banyak massa aksi butuh pertolongan medis,’’ katanya. (*/c19/ttg)
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos edisi 10 Oktober 2020
Comments