Menurunnya produktivitas komik bernuansa
budaya Nusantara memantik keresahan Sweta Kartika. Dia lantas mendirikan
Padepokan Ragasukma untuk mewadahi para pembuat komik Nusantara.
FOLLY AKBAR, Jakarta, Jawa Pos
---
BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya.
Pepatah tersebut sangat layak disematkan kepada Sweta Kartika. Seorang komikus
kelahiran Kebumen yang konsisten dengan karya-karya komik bernapas budaya
Nusantara.
Sosok Sweta bak wujud perpaduan yang
sempurna dari jiwa orang tuanya. Ibunya gemar membaca komik. Ayahnya adalah
orang yang gemar berseni-budaya. Keroncong, gamelan, wayang, hingga melukis.
Perpaduan dua aliran itu sangat akrab sejak Sweta kecil. Pada akhirnya, titisan
darah orang tuanya itu mengantarkan Sweta menemukan jati dirinya sebagai
komikus Nusantara. ”Dari situ saya akhirnya membuat komik yang mengambil unsur
budaya lokal,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Komik sudah menjadi bagian dari hidup
Sweta. Sejak kecil dia sering disodori berbagai judul komik bacaan ibunya.
Umumnya yang bertema pendekar.
Kebetulan, pamannya bekerja sebagai penjaga
lapak penyewaan komik.
Hari-hari Sweta kecil sering diisi dengan
membaca komik.
Hobi itu bertautan dengan bakat seni yang
mengalir dari ayahnya. Sweta berbakat menggambar sejak balita. Bahkan, di usia
3 tahun dia pernah memenangi perlombaan menggambar melawan anak-anak lain yang
berusia di atasnya. ”Saya menang gara-gara yang lain menggambar pemandangan
gunung dua berjejer. Saya gambar kura-kura ninja,” ujarnya mengenang masa
kecilnya.
Sweta terus menekuni passion-nya. Saat masa
kuliah tiba, dia mengambil S-1 dan S-2 di Jurusan Desain Komunikasi Visual
Institut Teknologi Bandung. Saat itulah dia bertemu dengan Prof Primadi
Tabrani, guru sekaligus rekan diskusi yang memantapkan jalannya menjadi komikus
yang memasukkan unsur keindonesiaan dalam setiap karya komiknya. ”Bahkan dari
yang paling remeh seperti sekadar menamai karakter budaya. Jadi, ada makna di
baliknya,” tuturnya.
Kini Sweta dikenal piawai memasukkan unsur
lokal dalam komiknya. Salah satu karya yang bikin geger para pencinta komik
berjudul Nusantararanger. Dalam komik yang digarap bersama sejumlah koleganya
itu, dia menampilkan kesatria dengan ciri khas Nusantara.
Tokoh Kesatria Nusa Merah dari Jawa
memiliki kekuatan elang Jawa. Nusa Kuning dengan kekuatan harimau Sumatera.
Nusa Hitam dari Sulawesi punya kekuatan anoa. Nusa Hijau dari Kalimantan
memiliki kekuatan roh orang utan. Serta Nusa Biru dari Papua yang punya
kekuatan hiu gergaji.
Pun sama booming-nya saat komik berjudul
Pusaka Dewa yang disebut-sebut sebagai Game of Thrones versi Jawa diterbitkan
beberapa tahun lalu. Salah satu karya terbarunya, Garuda Eleven, memiliki
semangat yang sama. Kisah Sekolah Sepak Bola (SSB) Praja Garuda Kencana yang
berisi para pemain bola dari berbagai daerah. Lengkap dengan berbagai
karakteristik fisik, permainan, dan posisi pemain yang sesuai dengan karakter
asli daerah Indonesia.
Hingga kini sudah ada puluhan karya komik
yang digarap secara khas Nusantara. Baik bertema action, romantic, sejarah,
maupun komik horor yang semuanya memasukkan unsur keindonesiaan.
Selain dipengaruhi kehidupan masa kecil,
tekadnya membuat komik Nusantara juga datang dari kegelisahannya. Komik-komik
dengan ciri khas budaya Nusantara yang banyak terbit pada tahun ’80-’90-an
dirasa mulai kendur. Di sisi lain, arus masuk komik terjemahan mengalir deras.
Terlebih dari Jepang. Misalnya, One Piece dan Naruto yang juga membawa budaya
setempat. Karena itu, sosok yang kini menetap di Bandung tersebut berupaya
mengisi kekosongan itu. ”Mata rantai bisa putus kalau enggak disambung,”
tuturnya.
Membuat komik dengan nuansa budaya
Nusantara tidak sederhana. Sweta membutuhkan riset di tengah minimnya literatur
yang tersedia. Tak jarang, dia harus melakukan observasi lapangan hingga
mewawancarai para tokoh budaya. Hal itu diperlukan untuk memastikan budaya
Nusantara yang diadopsi dalam komik tidak menyimpang.
Dalam komik Pusaka Dewa misalnya, Sweta
harus berkeliling hingga ke Jogja dan Sumenep. Di sana dia bertemu dan
berbicara dengan para penempa keris untuk memahami filosofinya. Sebab, komik
tersebut menceritakan kisah perebutan keris dengan latar belakang kerajaan
Jawa.
Sama halnya saat Sweta menggarap series
komik Walisongo Chronicles. Dia harus berbicara dengan banyak ahli sejarah dari
Nahdlatul Ulama (NU) untuk memastikan tidak ada hal yang keliru dalam penokohan
maupun setting kultur sosial. ”Kita sowan ke kiai biar aman,” ungkapnya.
Semua kebutuhan riset dan observasi yang
memakan waktu, tenaga, dan ongkos harus dipenuhi secara pribadi. Maklum, di
Indonesia, pemerintah hanya memfasilitasi bantuan riset untuk kepentingan
akademik. ”Berbeda dengan di Belanda,” ucapnya.
Hal itu pulalah yang membuat banyak komikus
pemula ragu untuk masuk ke konten budaya. Khawatir tak mendapat imbal hasil
yang setara. Alhasil, tidak sedikit yang mengambil jalan sebagai komikus drama
atau romantis yang relatif minim riset. ”Di Indonesia, orang kreatif biasanya
berkarya dengan perut lapar. Berkreasi untuk survive,” tuturnya.
Sadar cita-cita besar sulit diwujudkan
sendiri, Sweta lantas membangun Padepokan Ragasukma pada 2013. Bersama kolega
satu visinya, Alex Irzaqi. Padepokan tersebut mewadahi para komikus yang punya
semangat sama untuk menggairahkan komik bergenre budaya Nusantara. Lebih
khususnya pendekar. Misinya sama, memperkuat komik dalam negeri yang mulai
menggeliat di pasaran. ”Kita khawatir pasar komik balik lagi ke komik
terjemahan,” kata dia.
Pendekar, kata Sweta, merupakan salah satu
aset budaya dan sejarah yang dimiliki Indonesia. Posisinya mirip dengan Samurai
X di Jepang atau superhero di Amerika Serikat. Namun, kisah-kisah para pendekar
kurang dikapitalisasi. Berbeda dengan Samurai X dan superhero yang bisa dikenal
secara internasional. (*/c6/oni)
Tulisan Ini terbit di Harian Jawa Pos edisi 21 Desember 2020
Comments