Sekolah Pagesangan mengembalikan apa yang hilang dari
sekolah formal: kesinambungan antara pendidikan dan realitas sekitar.
FOLLY AKBAR, Gunungkidul, Jawa Pos
---
DUA belas tahun sudah Sekolah Pagesangan (SP)
berjalan. Selama itu pula, kebun, ladang, dan semua lingkungan yang ada di desa
tempat mereka berdiri menjadi ruang kelas.
”Pagesangan itu artinya hidup atau kehidupan. Sekolah
ini memiliki misi mendekatkan anggota dengan realitas atau kehidupan nyata di
desanya,” kata Diah Widuretno, sang penggagas, kepada Jawa Pos Kamis pekan lalu
(11/2).
Berdiri di Desa Girimulyo, Gunungkidul, Jogjakarta,
pada 2009, SP berfokus pada pendidikan pertanian. Pilihan itu diambil karena
dinilai paling relevan dan kontekstual dengan kondisi riil masyarakat di desa
tersebut.
Tak ada yang namanya seragam di sekolah itu. Di sekolah
informal tersebut, para murid pun lebih banyak berpraktik di luar. Dari kebun
sampai dapur. Teori hanya diberikan secukupnya.
Desain pembelajaran dilakukan secara partisipatif
antaranggota dan relawan dari luar desa. Siapa yang memiliki pengetahuan dapat
memberikan pengalaman dan pembelajaran kepada yang lain.
”Prinsip kami, semua guru dan semua murid,” terang
Diah.
Hasil berproses bersama selama 12 tahun itu pun mulai
kelihatan. Di antaranya, tepung mocaf, tepung gaplek, tiwul instan, keripik
singkong, mengleng singkong, kerupuk singkong, lempeng tiwul, salai pisang, dan
tempe kara/benguk/botor.
Hasil-hasil pertanian dari SP tersebut sejalan dengan
kondisi di lingkungan mereka berada. ”Selain memberdayakan ma_nusia, pendidikan
memang harus kontekstual dan relevan dengan realitas kehidupan,” kata Diah.
SP memang berangkat dari kegelisahan lama Diah. Bahkan
sejak perempuan kelahiran Madiun, Jawa Timur, itu masih berstatus mahasiswa di
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dia menilai, secara kurikulum, pendidikan formal saat
ini mem iliki kekurangan. Yakni, missing link atau ketidaksinambungan antara
pendidikan dan realitas keseharian. ”Yang diajarkan di sekolah berbeda dengan
dunia yang dihadapi di rumah (di desa),” ujarnya.
Desa Girimulyo yang dia datangi sejak 2003 dipilih
sebagai tempat. Sebab, desa tersebut dianggap turut menjadi korban
ketidaksinambungan pendidikan dengan realitas sekitar.
Padahal, Girimulyo memiliki potensi. Meski berada di
kawasan gersang dengan kondisi kesulitan air, masyarakatnya mampu beradaptasi
sejak masa lampau hingga kini melalui pertanian yang khas: konsep pertanian
subsisten.
Komoditas yang dihasilkan di ladang berbatuan juga
sangat khas seperti kelapa, jagung, pisang, dan singkong. Belum lagi, mereka
memiliki kemampuan mengolah komoditas seperti minyak kelapa dan tiwul. Juga
telah memiliki pesuncen, sebuah sistem pengawetan dan penyimpanan pangan yang
terbukti menjadi kunci ketahanan pangan yang dipraktikkan selama bertahun-tahun.
Kini SP telah membentuk empat kelompok belajar dengan
rentang usia beragam. Mulai kelompok anak dan remaja yang berisi 35 anggota,
kelompok pengolah dengan anggota 30 perempuan dewasa, hingga kelompok tani yang
beranggota para ibu dan bapak sebanyak 55 orang. Semuanya warga Girimulyo.
Masing-masing memiliki ”kurikulum” pembelajaran yang
sesuai dengan karakter anggota. Untuk kelompok anak dan remaja, misalnya,
mereka lebih banyak belajar soal hal-hal mendasar. Di antaranya, pengenalan
vegetasi, pembibitan, teknik berkebun dan mengelola kebun di lahan gersang,
hingga dasar-dasar pengolahan pangan.
Sesuai dengan namanya, kelompok anak dan remaja diisi
anggota usia 8 sampai belasan tahun. ”Sebagian besar masih sekolah formal,”
jelasnya.
Mereka belajar di SP pada hari libur atau di luar jam
sekolah formal. Sementara itu, kelompok tani yang berisi warga dewasa berfokus
pada pengembangan kemampuan teknik bertani alami, manajemen budi daya tani,
hingga keseimbangan alam dengan tetap meningkatkan hasil pertanian.
Beberapa anggota kelompok anak-remaja naik level
menjadi kelompok pengolah dan tani. Artinya, mereka bertransformasi menjadi
petani maupun wirausaha dan punya ketahanan ekonomi.
Ivy Londa, salah seorang relawan, termasuk yang
berperan untuk berbagi materi soal ketahanan pangan. Baik kepada anggota maupun
masyarakat umum di setiap kegiatan workshop atau seminar SP. ”Karena kita perlu
juga membagikan ide ini ke luar,” ujar Ivy yang bergabung sejak 2018.
Untuk mengakselerasi pemasaran, SP juga telah
mendirikan Kedai Sehat Pagesangan yang dapat bertransaksi secara luring maupun
daring. ”Sudah ada pemasaran hasil bumi dan olahan pangan serta ada transaksi
di dalamnya yang tentu berdampak secara ekonomi.”
Murni, warga Girimulyo, mengaku lebih mengenal desanya
justru dengan berproses bersama SP. Karena itu pula, meski di sekolah formal
lulusan SMK teknik komunikasi jaringan, perempuan 22 tahun tersebut memilih
untuk memberdayakan desa di sektor pertanian. ”Saya membantu bertani keluarga,”
ujarnya kepada Jawa Pos.
Lalu, adakah rencana membuka konsep serupa di tempat
lain? Diah menggeleng. Sebab, pada dasarnya, SP bukan program resmi yang
memiliki target untuk ekspansi layaknya program pemerintah atau LSM.
SP lahir dari kerelawanan yang diperkuat dengan
pertemanan. Diah yang ingin mewujudkan model belajar yang diyakini dan warga
Girimulyo yang butuh model pembelajaran yang mengakomodasi persoalan mereka.
Namun, jika konsep tersebut dinilai menginspirasi dan
ada pihak yang ingin menerapkan di daerah lain, Diah membuka diri untuk
membantu. ”Model pendidikan kontekstual, yang bisa diduplikasi adalah prinsip
dan value-nya. Tapi, teknik penerapannya tetap harus kontekstual dengan daerah
setempat,” katanya. (*/c19/ttg)
Tulisan ini terbit di Harian Jawa Pos edisi 15 Februari 2021
Comments