Stroke, hernia, dan katarak boleh menghantamnya, tapi Remy Sylado
tetap menyimpan novel di kepalanya dan berkolaborasi menyiapkan pementasan
teater.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
RAUT mukanya tampak sedikit lusuh. Suaranya sudah tak sekuat
dulu. Rambut, kumis, dan jenggot putihnya juga tidak ada lagi.
Separo tubuh Remy Sylado, khususnya di bagian kiri, juga sudah
tidak bisa digerakkan. Kini pria kelahiran 12 Juli 1945 tersebut hanya bisa
berbaring sambil melawan penyakit yang terus menggerogoti.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, jiwa seni dan bara
kreatifnya tidak pernah padam. Dengan penuh penghayatan, seniman berdarah
Minahasa itu masih menghafal berbagai karya.
Misalnya, sebuah puisi yang dibacakannya dan penggalan videonya
diputarkan secara virtual dalam acara Doa dan Penggalangan Dana untuk Remy
Sylado di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (4/2).
Kini, di usia 77 tahun, seniman serbabisa itu memang tengah
bertarung mengalahkan penyakit. Selain stroke yang melanda sebagian tubuh
bagian kiri, Remy juga menderita hernia dan katarak. Komplikasi tersebut sudah
berlangsung setahun terakhir.
Tapi, saat ini kondisinya sedikit membaik. Hernia yang dideritanya
berhasil dioperasi di RSUD Tarakan, Jakarta. Dalam waktu dekat, pengobatan
stroke dan katarak juga dilakukan secara bergantian dengan bantuan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Di usia Remy yang sepuh, dokter memang menghindari
tindakan medis secara bersamaan.
”Tadinya dia menderita sekali setiap mau BAB (buang air besar)
atau kencing. Setelah dioperasi keadaan membaik, tenang gak teriak lagi.
Makannya udah banyak,” kata sang istri, Emmy Tambayong, saat ditemui di sela
acara.
Remy adalah seniman langka. Sangat tidak mudah untuk dimasukkan
satu kategori karena dia terus-menerus melintas batas. Dia cerpenis, novelis,
dramawan, penyair, aktor, musikus, munsyi, dosen, juga wartawan.
Sejumlah karya penting mantan wartawan majalah musik Aktuil itu,
antara lain, Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (1996), Puisi Mbeling (2005), dan 9
dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Dia juga pernah tiga kali masuk
nominasi aktor pendukung terbaik Festival Film Indonesia.
Meski kesehatannya kini jauh membaik, lanjut Emmy, batin Remy
masih sangat tersiksa. Tak lain karena kobaran jiwa berkaryanya yang tinggi
harus terhalang keadaan. Tubuhnya tidak lagi menunjang ekspresi seninya.
”Kadang saya kasihan, dia merasa terbebani. Dia bilang di otak
saya ada novel, tapi harus bagaimana,” imbuhnya.
Kepada Emmy, Remy mengaku ingin menuliskan novel tentang Semarang,
kota yang diakrabinya, di zaman dulu. Bahkan, saat keinginan menuangkan karya
itu tak kuasa terbendung, Remy kerap meminta istri menuliskannya. Namun, Emmy
yang juga sudah beranjak tua tak bisa berbuat banyak untuk melayani keinginan
sang suami. Dia bisa menuliskan sekadarnya.
Kepada sang suami, Emmy hanya memintanya tetap semangat melawan
penyakit. Agar dia bisa kembali berkarya. Juga menularkan ilmu yang dimiliki
kepada orang lain.
”Banyak teman sayang kamu. Kamu harus bangkit. Masih banyak yang
mengharap ilmu dari kamu. Tuhan sudah berikan ilmu dan talenta. Jadi untuk kamu
bagikan,” kata Emmy mengulang nasihatnya kepada suami.
Kuatnya tekad Remy untuk terus berkarya juga dirasakan rekannya
sesama seniman, Jose Rizal Manua, penggagas acara Doa dan Penggalangan Dana
untuk Remy Sylado. Bahkan, di tengah pembaringan tempat tidur, dua kawan
tersebut menggarap proyek seni bersama.
Rencananya, Remy mementaskan sebuah karya teater berjudul Om
Hendri di Manado. Tentu saja, pementasan tidak dilakukan sendiri. Di situ, Remy
hanya menyumbangkan alur cerita.
”Naskahnya akan saya rekam, Remy akan bercerita. Naskahnya saya
ketik dan Remy meminta saya menyutradarai drama itu,” ceritanya.
Karya tersebut diciptakan Remy sebagai bentuk sumbangsih dirinya.
Sebab, pada 12 Juli mendatang yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya,
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bakal meresmikan museum dan galeri seni.
Sebagai wadah memamerkan karya dan kiprah salah seorang putra daerah terbaiknya.
Di mata Jose, penulis novel Kerudung Merah Kirmizi itu merupakan
seniman yang istimewa. Bukan cuma karya-karyanya yang melintas batas, Remy juga
mampu berbahasa Yunani, Ibrani, Arab, hingga Mandarin. ”Jarang seniman yang
semultitalenta itu,” ungkapnya.
Dia berharap Remy segera pulih. Jose mengaku rindu dengan
karya-karyanya yang selalu baru dan menawarkan hal yang berbeda. Beruntungnya,
Jose melihat ada keinginan kuat dari kerabatnya untuk sembuh. ”Semangatnya
untuk sehat dan berkarya kembali tinggi sekali. Sekarang makannya banyak,”
terangnya.
Harapan agar Remy cepat pulih juga disampaikan seniman Reza
Rahadian. Aktor pemeran Aris dalam serial Layangan Putus itu menilai
karya-karya Remy masih sangat dibutuhkan. ”Puisinya puisi bagus, bagus banget,”
ujarnya.
Yang berkesan bagi Reza, Remy merupakan seniman yang peka terhadap
diksi-diksi bahasa Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari salah satu karya
bukunya yang mengupas tuntas pentingnya berbahasa Indonesia. ”Itu ada
(tecermin) dalam puisi Om Remy,” kata Reza.
Seniman Lidia Djunita Pamoentjak atau yang akrab disapa Jajang C.
Noer juga punya kesan yang dalam terhadap Remy. Dia mengenalnya sebagai sosok
seniman yang penuh kasih sayang. ”Dia kalau ketemu cewek cantik seperti saya
itu pasti dia peluk dulu. Peluk benar-benar. Kehangatan luar biasa,” ceritanya.
Kepribadian lain yang juga berkesan bagi aktris senior itu adalah
karakternya yang percaya karya orang lain. Pengalaman itu pernah dirasakannya
saat menggarap sinetron sepuluh episode berjudul Bukan Perempuan Biasa.
”Ketika saya minta dia main, dia langsung oke. Dia nggak mikir
kalau saya belum pernah (jadi) sutradara,” ungkapnya.
Jajang berharap Remy bisa bangkit. Sosoknya masih dibutuhkan para seniman di Indonesia. ”Kalau kita senang atau susah, dia selalu ada sama kita,” katanya. (*/c19/ttg)
Terbit di Harian Jawa Pos edisi 7 Februari 2022
Comments