Dok Pribadi |
Selama lima tahun ini,
Indah Darmastuti berusaha menjembatani keterbatasan penglihatan dan kebutuhan
menikmati sastra. Teks cerpen, cerita anak, dan puisi disuarakan narator dengan
intonasi khusus agar keindahannya terjaga.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
DARI ”kenyamanan”
yang terusik itu, lahirlah ratusan karya sastra suara. Yang merentangkan lebih
lebar lagi lengan keadilan hingga bisa merangkul lebih banyak orang, termasuk
mereka yang selama ini terpinggirkan dalam cara menikmati cerpen, cerita anak,
dan puisi: kalangan difabel.
”Sebelumnya, mata saya
seperti dibuka bahwa karya-karya sastra yang bertebaran di berbagai platform
ternyata belum diterima secara adil di semua lapisan masyarakat,” kata Indah
Darmastuti, penulis, sosok yang membidani kelahiran ratusan sastra suara itu.
Adalah kelompok difabel,
lanjut Indah, yang kesulitan menikmati untaian kata dan kalimat yang ditulis
para penulis. ”Khususnya mereka yang memiliki penglihatan terbatas atau bahkan
tidak punya sama sekali,” ujarnya.
Keterusikan itu berawal
saat Sastra Pawon, sebuah komunitas yang diikuti Indah, tampil di salah satu
stasiun radio asal Solo, Jawa Tengah.
Hadir juga ketika itu
kalangan tunanetra sebagai narasumber.
Dari titik itu, Indah
sadar bahwa memang ada karya sastra yang ditulis dalam huruf braille, tapi
jumlahnya sangat terbatas. Bahwa memang ada aplikasi pembaca layar e-book, tapi
dinilai tidak ideal untuk menikmati sastra karena intonasinya yang kaku.
Padahal, sastra itu bukan cuma soal teknik, melainkan juga tentang batin,
tentang rasa.
Berangkat dari situasi
itu, Indah lantas berpikir dan berimajinasi untuk berupaya menjembatani dua
jurang tersebut. Keterbatasan penglihatan dan kebutuhan menikmati sastra.
”Baru setelah satu tahun
lebih akhirnya menemukan sastra suara. Menyuarakan teks sastra,” tutur
perempuan paro baya yang bekerja di toko batik itu ketika dihubungi Jawa Pos
dari Jakarta.
Berbeda dengan audio baca
biasa, sastra suara didesain dengan narator yang punya kemampuan membuat
intonasi khusus. Tujuannya, sastra bisa dinikmati semua lapisan pendengar
secara layak dan indah.
Tepat pada Agustus di
tahun dia terusik itu, Difalitera, demikian dia menamakan komunitas yang dia
motori, berhasil memproduksi karya sastra suara perdana. Sebuah cerita pendek
berjudul Sarpakuda karya Indah sendiri.
Sesuai dengan misinya
mewujudkan sastra inklusif, Difalitera dibangun tidak dengan tujuan komersial.
Karena itu, semua produk sastra suara bisa diakses siapa pun secara gratis.
Website difalitera.org yang menjadi wadah menampung sekaligus mendistribusikan
karya juga didesain mudah diakses kelompok difabel.
Setelah berjalan sekitar
lima tahun, kata Indah, kini sudah ada sekitar 300 karya sastra suara yang
tersedia di website tersebut. Mulai puisi, cerita anak, cerita pendek, cerita
cekak (cerpen dalam bahasa Jawa), hingga guritan. Jenis-jenis karya tersebut
dinilai paling relevan untuk dikonversi menjadi karya sastra suara.
Bayu Sadewo, seorang
penikmat sastra suara, mengaku sangat terbantu dengan konten-konten yang
diproduksi Difalitera. Sebab, kini dia sebagai penyandang tunanetra total bisa
mulai menikmati karya sastra.
”Saya sangat senang.
Karena ini kan yang pertama di Indonesia audiobook yang sastra,” ujar penulis
yang cerpennya termuat di berbagai media termasuk Jawa Pos itu.
Bayu mulai mengakses konten
Difalitera sejak 2018. Awalnya, dia mendapat informasi dari rekannya hingga
akhirnya rutin. ”Terutama saat (pandemi) Covid-19. Nggak bisa ke mana-mana
juga, jadi sering sekali (menikmati sastra suara),” imbuhnya.
Dari semua konten, Bayu
paling menyukai cerpen. Sebab, kisah-kisahnya lebih reflektif. Terutama jika
membahas kegelisahan-kegelisahan batin dari penulisnya.
Untuk karya dalam durasi
yang lebih panjang seperti novel, Indah berterus terang tidak sanggup. Sebab,
dibutuhkan sumber daya yang besar. ”Belum berani karena kami ini volunter.
Kalau mengerjakan novel yang tebel, aku ora tego (tidak tega menyuruh
narator),” tuturnya.
Saat ini jumlah sumber
daya manusia tetap yang dimiliki Difalitera mencapai 12 orang. Tiga kali lipat
banyaknya jika dibandingkan dengan awal berdirinya yang hanya empat orang.
Semuanya berstatus
volunter atau bekerja secara sukarela. Selain narator, ada relawan bidang lain.
Mulai audio editor, ilustrator, hingga yang bertugas mengurus website.
Meski berada dalam satu
gelombang, mereka jarang berinteraksi secara langsung. Sebab, mereka tersebar
di berbagai daerah. Mulai Purwodadi di Jawa Tengah hingga di London, Inggris.
Namun, kesamaan visi
membuat jarak tidak berarti. Kerja kelompok tetap bisa berjalan efektif.
Alur kerja mereka, kata
Indah, diawali pemilihan naskah yang bisa berasal dari karya di buku, koran,
majalah, ataupun kiriman dari orang. Untuk naskah hasil pencarian, dia akan
meminta izin penulis. Tujuannya, tidak menjadi persoalan di kemudian hari.
Dia juga mencantumkan
sumber atau penulis pada audionya untuk menghormati penulis. Adapun naskah
hasil kiriman, Indah terlebih dulu melakukan penilaian. Di situ dia menggunakan
hak prerogatifnya untuk menilai kelayakan sebuah konten.
”Kalau cerita anak, tapi
ada konten yang nggak sesuai anak, aku kembalikan,” tuturnya mencontohkan.
Nanti naskah yang sudah
siap ditawarkan kepada narator yang siap untuk mengerjakan menjadi audio.
Sebelum dipublikasikan, karya akan dicek ulang Indah untuk memastikan semuanya
klir.
Kini, seiring lebih
mapannya kerja komunitas, Difalitera juga tengah mengerjakan program lain:
kanal Sastra Nusantara. Tim menggarap audio dengan bahan karya-karya sastra
berbahasa daerah.
Tujuannya pun sama. Selain
mengarsipkan, gerakan itu bermaksud memperluas akses bagi kelompok difabel.
Sebab, banyak di antara mereka yang hanya bisa berbahasa daerah. Karena itu,
sastra suara harus bisa menjangkaunya pula.
Dari 817 bahasa suku yang
terdata, Difalitera sudah berhasil mengumpulkan dan mengaudiokan sastra untuk
32 bahasa dari berbagai daerah. Mayoritas karya sastra daerah itu berasal dari
kiriman orang-orang di berbagai sudut Indonesia.
”Kegabutan selama pandemi
aku (gunakan) mencari cara, link supaya ditemukan dengan orang-orang yang mau
berkontribusi,” terangnya, lantas tertawa.
Soal kekurangan, Bayu
mengaku tidak menemukan yang berarti. Dari segi akses, desain website sudah
sangat aksesibel. ”Pembawaan pembacanya juga udah keren. Webnya makin ke sini
juga makin mudah diakses,” ujar pria berusia 33 tahun itu.
Pengakuan dari penikmat
seperti Bayu itulah yang menjadi penyemangat Indah dan kawan-kawan. Setidaknya
lengan keadilan telah terentang untuk merangkulnya. ”Lega sekali banyak
penyandang disabilitas yang terbantu dengan upaya kami,” katanya. (*/c19/ttg)
Jawa Pos edisi 7 Juli 2022
Comments