Komunitas Malam Museum di Jogjakarta mampu menggaet puluhan peserta tiap menggelar jelajah malam yang diselingi permainan yang memadukan kejelian dan kegesitan. Berawal dari program mahasiswa, sampai kini pun pengurusnya juga harus mahasiswa.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
KALAU mereka memilih
berkunjung pada malam hari, tentu bukan untuk melihat Ahkmenrah, sang Pharaoh
dari Mesir yang tiba-tiba hidup, atau mengintip Jedediah, si koboi kecil siap
beraksi seperti di film Night at the Museum.
Bukan pula untuk menyaksikan
tingkah polah Dexter, si monyet capuchin, dari sinema yang sama.
Melainkan lebih kepada menawarkan
pengalaman menikmati museum secara berbeda. Sebab, selama ini museum secara
umum dipersepsikan kuno dan membosankan.
’’Malam hari memberi nuansa beda.
Lebih privat,’’ kata Erwin Djunaedi, pendiri Komunitas Malam Museum yang
berbasis di Jogjakarta.
Apalagi, lanjut Erwin, kunjungan
juga dikolaborasi dengan berbagai game atau permainan. Ini untuk menghindarkan
kebosanan partisipan. Jadi, mereka terus tertarik untuk datang sehingga
tempat-tempat bersejarah tidak nelangsa sendirian.
Komunitas tersebut didirikan lima
mahasiswa Universitas Gadjah Mada, termasuk Erwin, pada 2012. Komposisinya,
empat mahasiswa jurusan sejarah dan satu mahasiswa pariwisata. ’’Kami punya
keilmuan yang nggak jauh dari museum. Kami sering ke museum melihat dinamikanya
seperti apa,’’ ujarnya.
Berbekal pemahaman sejarah dan
kepariwisataan, mereka menyadari betul bahwa museum sebagai pilar peninggalan
sejarah berada di situasi kritis. Itu terlihat dari indikator kunjungan yang
rendah bila dibanding tempat-tempat wisata lainnya. ’’Seperti mal, pantai, dan
wisata alam. Jauh sekali bedanya,’’ tutur Erwin ketika dihubungi Jawa Pos dari
Jakarta pada Kamis (9/2) dua pekan lalu.
Di awal pendirian, komunitas
terbentuk sebagai bagian dari program kreativitas mahasiswa. Tapi, setelah
mereka wisuda, Erwin menjadi satu-satunya pendiri tersisa yang mau melanjutkan
dan mentransformasi menjadi komunitas terbuka. Lainnya, memilih mencari
kesibukan baru. ’’Saya mikirnya eman-eman (rugi kalau tidak dilanjutkan). Kami
udah bangun dan udah punya nama,’’ ungkapnya.
Dia lantas mulai bergerilya
mengajak adik-adik angkatan yang punya visi serupa. Beruntung, gayung
bersambut. Lambat laun, komunitas terus berkembang dan sanggup melakukan
rekrutmen yang kontinu setiap tahunnya. Sasarannya semua mahasiswa. ’’Semua
pengurus kami harus mahasiswa,’’ tegasnya.
Meski kepengurusan diisi
mahasiswa, kegiatan jelajah malam museum berlaku terbuka bagi masyarakat umum.
Meski, mereka menetapkan peserta di usia 18 sampai 35 tahun. Batas usia 18
tahun diambil dengan pertimbangan kedewasaan mengingat kegiatan dilakukan pada
malam hari. Sementara batas maksimal 35 tahun ditetapkan dengan
mempertimbangkan adanya aktivitas fisik saat kunjungan.
Ya, kunjungan museum ala komunitas
ini memang juga membutuhkan kesiapan fisik. Banyak permainan yang memaksa untuk
bergerak. Erwin mencontohkan permainan yang biasa disebut clue amazing race.
Di game tersebut, bekal
pengetahuan dari pemandu saat berkeliling dilombakan. Kejelian dan kegesitan
peserta dibutuhkan. ’’Misal pertanyaan apa, ada di ruang apa, di koleksi yang
apa, cek ke lokasi. Jadi, memang kadang harus lari-lari menguras tenaga,’’
ceritanya.
Wisnu Febri Wardana, mahasiswa
salah satu kampus swasta di Jogjakarta, termasuk yang merasakan langsung
serunya jelajah museum pada malam hari. Mulai mengikuti komunitas tersebut
sejak 2019 saat awal-awal mahasiswa, dari awalnya sekadar mencoba, kini Wisnu
memutuskan menjadi anggota aktif.
’’Saya mulai sadar, begitu banyak
teman-teman yang sangat passionate di suatu bidang yang tidak diminati oleh
anak muda seusia saya, yaitu permuseuman dan cagar budaya,’’ ujarnya kepada
Jawa Pos kemarin (23/2).
Dia menambahkan, konsep yang
disuguhkan Malam Museum dengan mendesain kunjungan yang dielaborasi dengan ragam
kegiatan sangat bermanfaat. Dari game yang sederhana, bisa memantik banyak hal
positif. ’’Itu mengajarkan berpikir kritis, peka terhadap sekitar, menghargai
orang lain, dan banyak hal,’’ katanya.
Erwin menyebut, dalam satu acara
kunjungan, mereka bisa menggaet hingga 50–70-an peserta. Dalam sebulan,
komunitas biasa menggelar acara jelajah satu hingga dua kali. Intensitas itu
disesuaikan dengan kesediaan pengelola museum.
Hingga kini, dari sekitar 50-an
museum dan cagar budaya di Jogjakarta, sebagian besar sudah didatangi. Misalnya
Museum Vredeburg, Monumen Jogja Kembali, Jenderal Soedirman, TNI Angkatan
Udara, Anak Kolong Tangga, hingga Sonobudoyo.
Kini, Komunitas Malam Museum juga
tengah memperluas cakupan: membuka pendampingan kunjungan bagi anak-anak dan
remaja. Tentunya dengan game dan kegiatan yang menyesuaikan pula.
Tapi, demi keamanan, kegiatan
dilakukan pada siang hari. Tetap seru tentunya, meski sudah pasti tidak akan
’’ketemu’’ Ahkmenrah, Jedediah, atau Dexter. (*/c17/ttg)
Comments