BBM telah resmi naik, dan
aksi penolakan kenaikan harga BBM telah berakhir. Dimana bentrokan antara
mahasiswa dengan masyarakat di beberapa tempat menjadi “buah tangan” dari aksi
tersebut. Hal itu merupakan fenomena baru dalam demokrasi di Indonesia. Dimana
masyarakat mulai berani mengkonfrontasi langsung aksi mahasiswa yang sebenarnya
membela kepentingan masyarakat itu sendiri.
Keresahan masyarakat terhadap
aksi mahasiswa dilandasi pada citra demonstrasi yang buruk. Yang mana kerap
berujung pada anarkisme, bahkan tidak sedikit diantaranya yang justru merugikan
kepentingan publik. Akibatnya, cita-cita mulia yang diusung mahasiswa “kalah
populer” dibanding dampak kericuhan yang kerap terjadi. Selain itu, cara
pandang masyarakat sekarang sudah sangat empiris, artinya apa yang terlihat
menjadi realitas yang diyakini masyarakat.
Ada beberapa inovasi gerakan
mahasiswa yang bisa dilakukan, yang tentunya relevan dengan kondisi masyarakat
saat ini. Pertama, menggalakan gerakan sosial melalui situs jejaring
sosial. Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
jumlah pengguna internet di Indonesia telah melampaui angka 120 juta. Kehidupan
dunia maya yang dinamis menjanjikan interaksi sosial yang masif di dalamnya.
Jika mampu dikonsolidasikan, maka akan melahirkan gerakan alternatif yang
besar. Faktanya, robohnya rezim Husni Mubarok di Mesir juga bermula dari
gerakan di jejaring sosial. Wajar saja jika negara komunis seperti Cina
memproteksi secara intens setiap gerakan sosial yang meletup di jejaring
sosial. Jika gerakan mahasiswa mulai menyeriusi hal ini, apapun yang menjadi
cita-cita mahasiswa untuk kemajuan bangsa ini, relatif mudah dicapai.
Kedua, memanfaatkan forum di media masa, baik cetak maupun
elektronik. Di masa refromasi, media yang menjadi pilar ke empat demokrasi
telah membuka kran besar untuk siapapun yang ingin menyampaikan gagasan atau
kritik atas kondisi sosial, tak terkecuali mahasiswa. Ini adalah space
yang bisa dimaksimalkan. Apalagi melihat karakteristik masyarakat Indonesia saat ini -dan kedepan adalah masyarakat yang berbasis informasi.
Artinya mengkonsumsi media sudah
menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Dengan demikian, gagasan dan ide-ide
cemerlang yang diusung mahasiswa tak akan luput dari konsumsi masyarakat, atau bahkan
Presiden sekalipun.
Ketiga, gerakan membangun dari bawah, yang dipopulerkan
Jokowi dengan istilah blusukan. Selama ini, gerakan mahasiswa cenderung
menghendaki perubahan dari atas, dengan mendesak pemerintah untuk membuat
kebijakan yang pro rakyat. Sementara permasalahan yang terjadi di akar rumput
masyarakat kerap kali luput dari sentuhan langsung mahasiswa. Padahal,
disanalah masyarakat hidup. Jika gerakan mahasiswa mau blusukan, ini
akan membuktikan bahwa mahasiswa sanggup mengambil alih peran yang semestinya
di ambil negara. Selain sebagai bentuk pengaplikasian Tri Dharma Perguruan
Tinggi(pengabdian masyarakat), hal tersebut juga akan memperbaiki citra gerakan
mahasiswa di mata masyarakat.
Ketiga hal tersebut memang
tidak menjanjikan apapun, tapi bisa menjadi gerakan alternatif selain turun ke
jalan. Agar gerakan mahasiswa tidak terkesan stagnan. Intinya, “Banyak Jalan
Menuju Roma”, begitu peribahasa menggajarkan.
Artikel Ini pernah dimuat Koran Sindo edisi Sabtu 13 Juli 2013
Comments