Sunyinya malam mengantarkan saya untuk mengingat masa kecil. Waktu itu saya pernah menemani seorang kawan yang tengah lahap menyantap makan siangnya sambil ngobrol ngalor-ngidul ga karuan. Tiba-tiba dia mengeluh; aduh. Sontak saya menanyainya; kenapa kamu?. Tanya saya. Tanpa sempat menjawab, dia memasukan tangan ke mulut. Seperti mencari sesuatu di sela-sela makanan yang tengah dikunyahnya. Tiba-tiba dia berucap; ih, batu segede gini ada di nasi!. Saya hanya melongo sambil berucap; ooh!
Di tempat dan waktu yang tidak jauh berbeda, saya pernah
menyaksikan sebuah truk pasir terlilit kubangan tanah yang becek karena hujan.
Berapa lelaki dewasa berusaha menolong. Salah seorang tetangga lantas mendapati
sebiji batuan untuk mengganjal roda truk, agar truk terlepas dari kubangan dan
kembali berjalan. Tapi tetangga saya yang lain mengatakan; Itu batunya
kekecilan, cari yang gede. Saya pun cuma melongo.
Mengapa saya tidak protes sewaktu kawan saya mengatakan batu
yang nyasar di mulutnya itu besar? Padahal saya masih ingat
betul, ukuran batu itu tidak lebih besar dari ukuran sebutir biji kacang ijo.
Lalu mengapa pula saya tidak protes sewaktu seorang tetangga mengatakan batu
yang digunakan untuk membantu roda truk itu kecil? Padahal saya masih ingat betul
ukuran batu itu 10.000 persen lebih besar dibanding batu yang nyasar di
mulut kawan saya.
Akhirnya, kalau dipikir-pikir, menurut saya, ukuran besar atau
kecil sebuah itu tidak ditentukan pengelihatan kita. Tapi ditentukan oleh
sistem tanggapan yang diberikan oleh hati dan fikiran kita. Seperti itu pula
seluruh perkara yang datang kepada kita di dalam hidup ini. Sejauh apapun
cita-cita kita, sebesar apapun cobaan yang menerpa kita, dan sesulit apapun
rintangan yang menghalangi kita, ketika hati dan fikiran kita tidak terganggu
dengan semua itu, maka kita akan sangat mudah menganggap cita-cita itu dekat,
cobaan itu kecil dan rintangan itu mudah. Lalu selesailah perdebatan.
Sistem tanggapan hati dan pikiran model bagitu pasti bisa kita
terapkan dalam hidup kita sehari-hari. Kita seringkali mengeluh, bahkan menolak
untuk bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita karena kita menganggap
pemberian Allah itu kecil. Tengoklah bagaimana perilaku pejabat kita yang suka
korupsi. Apakah gaji mereka kecil? Tentu tidak. Namun sistem hati dan
pikiran merekalah yang buruk dan tidak bekerja dengan baik. Sehingga sebesar
apapun gaji mereka, tetap saja terasa kecil bagi mereka. Karena itu, mereka
tidak segan-segan merampas hak rakyat.
Kita juga kerap kali mengeluh atas cobaan yang diberikan Allah
kepada kita karena cobaan itu kita rasa sangat besar. Padahal kita tahu, Allah
telah berjanji untuk tidak memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya.
Lagi-lagi, karena sistem tanggapan hati dan pikiran kitalah yang buruk.
Sehingga cobaan kecil menjadi terasa amat besar.
Di sekeliling kita masih bisa kita jumpai orang-orang yang sanggup
menata hati dan pikiranya dengan baik. Ada orang yang mampu hidup berkecukupan
dengan penghasilan yang menurut logika kita tergolong kecil. Ada orang yang
masih bisa bersabar di antara cobaan yang jauh lebih berat dari yang kita
alami. Berapa ribu petani dan abang becak yang sanggup menyekolahkan anaknya
hingga sarjana? Berapa ribu orang yang masih bisa tertawa ditengah bencana yang
menimpanya? Itu lah ajaibnya sistem tanggapan hati dan fikiran manusia.
Dengan rasa syukur, pendapatan yang kecil sanggup memenuhi
kebutuhan yang jauh lebih besar. Dengan rasa sabar, cobaan yang besar sanggup
kita lalui dengan selamat. Jadi benar apa yang dikatakan Cak Nun, bahwa sehebat
apapun peristiwa yang terjadi atas kita, masih lebih hebat manajeman hati dan
fikiran kita. Syaratnya, hati dan pikiran harus sering digunakan dengan baik.
Oleh karena itu, dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit dan
keras ini, prasangka baik menjadi perlu untuk dilakukan. Jika tidak, kita hanya
akan mengarungi hidup ini dengan lautan keluh kesah. Pada akhirnya hidup kita
akan terasa tidak indah.
Hanya dengan manajeman hati dan pikiran yang baiklah, rasa
sepotong tempe bisa lebih nikmat daripada sekepal daging. Begitu Cak Nun
menggambarkan. Maka, apakah puasa kita tahun ini bisa membantu penataa system
menejemen hati dan pikiran kita? Wallahu’alam.
Artikel ini pernah dimuat di Buletin MJS edisi Jumat, 12 Juli
2013.
Comments