Terperdaya Kebutuhan Palsu

Pergerakan nilai rupiah terhadap dollar Amerika terus melemah. Mengacu pada treck record beberapa tahun terakhir,  nilai tukar rupiah saat ini -yang sempat mencapai angka 11 ribu menjadi yang terburuk dalam 4 tahun terakhir. Beberapa pengamat ekonomi bahkan mengisyaratkan jika krisis 98 sangat mungkin kembali terulang.

Melihat aktivitas impor yang masih tinggi, atau bahkan semakin tinggi, melemahnya nilai tukar rupiah tentu sangat mempengaruhi situasi perekonomian nasional, mengingat posisi dollar sebagai alat transaksi utama perdagangan dunia. Kondisi ini mengakibatkan harga beberapa kebutuhan,–terlebih kebutuhan yang bergantung pada komoditas impor mengalami kenaikan.

Awal tahun 2013 lalu, Bank Indonesia memprediksi jika jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini mencapai 60 % dari total penduduk, atau sekitar 135 juta jiwa. Dengan perilaku konsumtif yang tinggi, angka sebesar itu menjadikan bangsa ini layaknya lautan madu bagi pelaku usaha di dunia, khususnya di bidang elektronik dan kendaraan.

Tengok saja angka penjualan mobil hingga semester I tahun 2013 yang meningkat 12,45 % menjadi 601.952 unit, dibanding tahun sebelumnya yang hanya 532.261 unit pada periode yang sama. Hal yang tidak jauh berbeda pun terjadi pada penjualan gadget dan sejenisnya.

Suka tidak suka, perilaku konsumtif kelas menengah ini akan berpengaruh pada stabilitas harga. Mengingat kelas tersebut mendominasi berbagai transaksi ekonomi. Karena dalam teori ekonomi, meningkatnya permintaan selalu disandingkan dengan kenaikan harga. Jika demikian, masyarakat menengah ke bawah kembali menjadi korban. Mereka yang sudah tertatih, dipaksa berpacu bersama masyarakat kelas menengah dengan segala “kebutuhan palsu” yang menyelimuti mereka.

Kebutuhan Palsu

Jika kita mengamati apa yang menjadi bahan konsumsi masyarakat kelas menengah belakangan ini, kita akan sulit menemukan sesuatu yang sangat substansial. Artinya, apa yang mereka konsumsi bukanlah hal-hal yang bersifat primer, melainkan kebutuhan yang diciptakan kaum kapital guna mensukseskan bisnis mereka. Meminjam istilah dalam kajian Pop Culture, mereka di setir oleh “Kebutuhan Palsu”.

Maka tidak heran jika tren di masyarakat begitu cepat berubah. Bergantung pada sejauh mana market dari sebuah produk memenangi wacana yang ada pada benak masyarakat. Dulu Nokia, sekarang Samsung dan Blackberry. Belum selesai disitu, Apple dengan iPhone5-nya sudah mencoba menggeser dominasi keduanya. Padahal kita sama-sama tahu jika fungsi dari semua itu adalah alat komunikasi.

Dengan demikian, akan sangat sulit jika kita berharap kelas menengah segera menyadari rekayasa kaum kapital. Karena menurut mazhab Frankfurt, industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kesadaran palsu. Tidak hanya itu, industri budaya terus berusaha mengesampingkan kebutuhan riil, dan ini menjadikan manusia tidak menyedari dengan apa yang terjadi. Jadi akan sangat utopis jika kelas menengah menghilangkan budaya konsumsinya.

Revolusi Industri dalam negeri

Melihat kondisi tersebut, satu-satu jalan yang bisa ditempuh bangsa ini adalah dengan menggenjot sektor produksi dalam negeri. Dengan kemandirian bangsa ini memenuhi kebutuhanya sendiri, persoalan obligasi dollar tidak akan banyak pengaruh. Sebaliknya, justru kita akan diuntungkan jika produksi kita bisa surplus dan dijual di pasar internasional.

Jika melihat tak pernah surutnya kreatifitas pelajar, baik di tingkat SMK maupun perguruan tinggi, bangsa ini sebetulnya memiliki potensi SDM untuk memenuhi kebutuhanya sendiri di bidang teknologi. Bahkan apa yang dilakukan BJ Habibie 18 tahun yang lalu menjadi bukti nyata bahwa anak bangsapun sanggup melakukan maneuver di bidang teknologi. Yang dibutuhkan hanya kemauan pemerintah.

Dukungan yang dilakukan Jokowi dan Dahlan Iskan terhadap karya siswa SMK belakangan ini seyogyanya menginspirasi pemerintah pusat mendukung kreatifitas generasi muda secara kolektif, terstruktur dan riil, disamping menciptakan wacana mencintai produk dalam negeri. Jika itu dilakukan, “Revolusi Industri dalam negeri” hanya soal menunggu waktu. Bahkan jika itu dilakukan di sektor lainya, bangsa ini akan menjadi bangsa yang mandiri dan sejahtera.

Pernyataan di atas bukanlah susuatu yang utopis, terlebih mimpi tersebut sejalan dengan arah modernitas. Artinya itu bisa dilakukan jika kita mau. Persoalanya, beranikah pemerintah kita melawan kapital asing dan menjadikan bangsa ini mandiri?