Skip to main content

Soal Miras, Sinergikan Regulasi dan Kearifan Lokal


Dewasa ini, kasus kematian akibat minuman keras (Miras) oplosan telah menjadi fenomena yang biasa, khususnya di DIY. Terakhir, dua warga Bantul tewas pasca menenggak miras oplosan setelah dua warga Sleman mengalami hal yang sama pada bulan November. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi seolah tidak pernah dihiraukan masyarakat. Dengan penuh kesadaran, para oknum terus melakukannya.
Disaat yang sama, hingga saat ini pemerintah terkesan tidak responsif dalam menangani persoalan ini. Padahal dalam konstitusi telah disebutkan jika negara memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warganya. Jadi walau bagaimanapun kondisi yang melatarbelakangi, pemerintah tetap dituntut mengambil kebijkan.

Faktanya peredaran miras di lapangan sangatlah mudah ditemui. Hal ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan aparat, baik di ranah produksi maupun distribusi. Saat ini, pemerintah provinsi maupun pusat memang telah memiliki regulasi yang mengatur produksi, distribusi dan konsumsi miras. Tapi aturan tersebut hanya bersifat konseptual, adapun dalam implementasi dan pengawasan di lapangan belum berjalan secara maksimal.
Di tingkat hulu, aparat nyaris tidak melakukan pengontrolan intens terhadap pabrik yang memproduksi miras. Akibatnya pabrik kerap memproduksi secara tidak proporsional. Over produksi pun membanjiri peredarannya di lapangan. Hal yang sama terjadi di tingkat distribusi, begitu banyak pengedar yang tidak memiliki izin legal masih bisa bebas menjajakan barang haram tersebut. Tentu suap dan main mata antara pengedar dan aparat menjadi kunci persoalan dalam kondisi tersebut. Dan itu sudah menjadi rahasia umum!
Aparat terkesan seperti “pemadam kebakaran” yang hanya berusaha mematikan api, tanpa pernah mencegah terjadinya kebakaran. Jika demikian, terwujudnya konsumsi miras yang proporsional hanyalah romantisme belaka.
Selain itu, upaya penanganan dengan menggunakan perspektif nilai dan kearifan lokal juga perlu ditempuh untuk menanggulangi ditingkatan konsumen. Ini mengingat persoalan miras yang sudah menjadi penyakit sosial. Masyarakat perlu diingatkan kembali perihal norma-norma hukum masyarakat yang telah melekat di tanah Jawa ini. Bagaimana penghargaan kolektif tentang kepentingan bersama begitu ditekankan.
Jika kedua upaya tersebut dilakukan secara maksimal, upaya penanggulangan miras relatif bisa dilakukan. Karena pada prinsinya, penanganan miras tidak bisa dilakukan setengah-setangah. Dari hulu sampai hilir, semuanya buth penanganan serius!

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.