Sebagai salah satu kota tujuan wisata yang populer di Indonesia,
Jogja menjadi surga tersendiri bagi pelaku usaha, khususnya dibidang
perhotelan. Jumlah wisatawan yang terus meningkat setiap tahunnya berdampak
pada kebutuhan hotel yang meningkat pula. Tak ayal, perkampungan warga pun tak
luput dari sasaran tiang-tiang pancang hotel itu berdiri. Berbagai persoalan
baru tak terelakkan lagi.
Meningkatnya wisatawan -yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah
hotel menjadi buah simalakama tersendiri bagi warga Jogja. Di satu sisi, ini
menggembirakan -karena akan semakin menggairahkan perekonomian masyarakat
Jogja. Tapi di sisi lain, berbagai persoalan lingkungan terus muncul
bergiliran. Ini tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah Kota Jogja dalam
menciptakan tatanan lingkungan yang seimbang. Kemacetan yang mulai akrab,
semakin sempitnya lahan terbuka di tengah kota, dan terbaru -persoalan krisis
air yang melanda perkampungan- merupakan sederet efek negatif dari menjamurnya
hotel.
Keputusan Walikota Jogja untuk menghentikan perizinan pendirian
hotel hingga tahun 2017 mendatang merupakan langkah yang tepat dan perlu
diapresiasi. Karena dengan jumlah hotel yang ada saat ini saja, berbagai
persoalan yang menjadi dampak berdirinya hotel belum terselesaikan. Tentu akan
semakin rumit jika jumlahnya bertambah.
Pelaku usaha perhotelan mungkin mangkel dengan
keputusan tersebut. Karena kesempatan meraup keuntungan lebih menjadi sirna.
Tapi bagi warga Jogja, kebijakan tersebut merupakan angin segar di tengah
kebisingan dan padatnya lalu lintas. Karena bagaimanapun, warga Jogja berhak
untuk hidup nyaman di tanah kelahirannya. Gerakan “Jogja ora didol” yang
marak terjadi beberapa waktu lalu merupakan bentuk reaksi spontan warga Jogja
atas ketidaknyamanan yang mereka alami.
Need atau will?
Selain itu, pemerintah kota Jogja juga perlu mengkaji okupansi
atau tingkat keterisian hotel-hotel yang ada. Apakah ratusan izin pendirian
hotel baru yang masuk benar-benar berlandaskan pada kebutuhan pasar, atau hanya
sebatas keinginan? Jika merujuk pada data yang disajikan www.harianjogja.com pada tahun
2013, okupansi rata-rata hotel di Jogja pada saat peak season memang
mencapai 85%. Tapi saat low season, tingkat keterisiannya
hanya berkisar di angka 25 %. Itu artinya, pendirian hotel baru di Jogja
bukanlah sesuatu yang benar-benar mendesak.
Hingga kebijakan pemberhentian izin pendirian hotel berakhir pada
2017 mendatang, ada baiknya pemerintah membenahi berbagai persoalan terlebih
dahulu. Karena sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan lingkungan
yang seimbang, yang saling menguntungkan antara warga pribumi dan wisatawan.
Selain itu, kesemerawutan yang terjadi, bisa mengurungkan niat
wisatawan untuk datang ke Jogja. Dan ini artinya bumerang bagi warga jogja,
yang selama ini banyak menggantungkan hidup di sektor pariwisata.[]
Tulisan ini dimuat Harian Jogja edisi Selasa, 1 April 2014
Comments