Gonjang-ganjing penerapan kurikulum 2013 yang sudah
berjalan tahun ini kembali menyeruak. Hal ini tidak lepas dari munculnya berbagai
persoalan yang terjadi di lapangan, baik itu persoalan yang sifatnya teknis
maupun filosofis. Tapi terlepas dari berbagai persoalan yang melanda, penerapan
kurikulum 2013 yang digadang-gadang mengedepankan aspek pendidikan karakter sangatlah
menarik untuk kita kaji bersama.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Muhammad Nuh mengakui jika perumusan kurikulum 2013 merupakan salah
satu upaya menjawab tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang
menggelayutinya, tak terkecuali persoalan degradasi moral yang tengah melanda
bangsa Indonesia. Jika memang benar demikian, ini akan menjadi secercah harapan
di tengah mimpi kita melihat kembalinya fungsi pendidikan sebagai pembentuk
karakter bangsa yang bukan hanya berfungsi sebagai pengembangan keilmuan,
sarana transfer ilmu pengetahuan, penguasaan life skill dan teknologi, melainkan
juga sebagai ajang internalisasi nilai-nilai luhur bagi kehidupan. Dan kita
akan sama-sama melihat, apakah kehadiran kurikulum 2013 ini akan mampu
mereduksi perilaku “amoral” yang semakin menjamur dan massif?
Menjadikan lembaga pendidikan sebagai
"rumah sakit" bagi perbaikan moralitas bangsa bukan suatu hal yang
keliru. Harus diakui, lembaga pendidikan adalah pilihan yang relevan sebagai
garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena di situlah intensitas pembinaan
sumber daya manusia bisa dilakukan sedini mungkin. Selain itu, pendidikan
sebagai “sang pencerah” juga dituntut berperan efektif sebagai agen perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Dalam kurikulum 2013, pendidikan
karakter yang diajarkan kepada siswa ditujukan sebagai upaya preventif untuk
mencegah terjadinya degradasi moral secara lebih dini. Berbeda dengan
pendekatan represif, pendekatan preventif mungkin tidak bisa dilihat hasilnya
secara langsung, melainkan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Tapi sisi
positifnya, pendekatan preventif akan menciptakan kesadaran, sehingga berdampak
pada perbaikan moral terjadi secara alamiah (dibaca: tanpa paksaan).
Pendidikan Anti Korupsi
Di Indonesia, korupsi merupakan salah
satu persoalan terbesar yang dihadapi bangsa saat ini. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk membasmi “tikus-tikus” tersebut tak terkecuali melalui sektor
pendidikan. Di Indonesia sendiri, istilah ataupun wacana pendidikan anti
korupsi bukanlah pembicaraan yang baru lagi. Sudah jauh-jauh hari, para pakar
pendidikan kita mengingatkan betapa pentingnya pemahaman soal dampak buruk perilaku
korupsi kepada peserta didik. Dan Kemendikbud sebagai pemegang otoritas
pendidikan sebenarnya sudah berupaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya
dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pendidikan
antikorupsi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012
lalu.
Tapi dalam pelaksanaannya, MoU
tersebut belum dijalankan secara menyeluruh dan massif. Sebagai contoh, di
tingkat perguruan tinggi di Indonesia saja, hanya Universitas Paramadina yang
telah mewajibkan mahasiswanya mengambil matakuliah “pendidikan antikorupsi”
sebagai matakuliah wajib. Sedangkan ribuan kampus lainnya belum cukup tegas
untuk mendeklarasikan perang melawan korupsi. Adapun di tingkat SD-SLTA,
implementasinya masih jarang sekali kita dengar.
Dengan adanya momen penerapa
kurikulum baru –di mana pendidikan karakter menjadi salah satu aspek yang
ditonjolkan– kampanye pendidikan anti korupsi sudah semestinya digaungkan
kembali. Baik itu dengan menjadikan pendidikan anti korupsi sebagai mata
pelajaran/kuliah yang independen, maupun sebatas menyisipkannya dalam mata
pelajaran/kuliah tertentu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, wabah
korupsi sudah menjadi penyakit akut yang mendarah daging, sehingga diperlukan “dokter
spesialis” dalam penanganannya. Upaya-upaya yang strategis dan taktis sudah
tidak bisa lagi ditawar.
Tapi dalam penerapannya, penanaman pendidikan
karakter ataupun pendidikan anti korupsi kepada siswa bukanlah perkara yang
mudah. Grand desain yang dibentuk dengan cara pandang yang holistik jelas
sangat diperlukan. Ini artinya, Kemendikbud dalam hal ini dirasa perlu menyelaraskan
berbagai agenda pendidikan yang ada. Hal ini berguna untuk membasmi berbagai
fenomena “jungkir balik” yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Akibatnya, kesan di satu sisi “mengobati”, tapi di sisi lain menebarkan
“penyakit” pun muncul. Sebut saja kecurangan masal yang terjadi di setiap
pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Tentu ini menjadi sebuah ironi tersendiri.
Penanaman karakter yang dilakukan selama bertahun-tahun mendadak runtuh hanya
dalam seminggu pelaksanaan UN.
Hal yang sama juga perlu dilakukan
terhadap pemangku Stake Holder itu sendiri. Beberapa hari yang lalu, Indonesian
Corruption Watch (ICW) menyatakan jika Kemendikbud berada dalam tiga besar
kementerian yang paling berpotensi korupsi selain Kementerian Agama dan Kementerian
Kesehatan. Ini jelas bukanlah realitas yang baik. Karena bagaimanapun, pemimpin
formal di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif merupakan figur-figur yang
harus menjadi teladan bagi masyarakat dan siswa khususnya.
Selain itu, berbagai persoalan teknis yang kini
tengah membelenggu keberlangsungan penerapan kurikulum 2013 sudah selayaknya
diselesaikan. Ini dilakukan bukan hanya untuk mensukseskan program Kemendikbud
di akhir masa jabatan, tapi juga keberlangsungan pendidikan dan bangsa ini ke
depannya. Di akhir kata, mudah-mudahan fenomena gonta-ganti kurikulum
yang kerap dilakukan Kemendikbud bukan karena proyek semata? Karena jika
demikian, maka janganlah kita merasa heran kala “maling terdidik” seolah tiada
habisnya. La wong sudah terjadi dari hulunya!
Tulisan ini dimuat di Tabloid SuaraKPK edisi September 2014.
Comments