Membangun mental yang baik bisa dikatakan
sebagai pondasi terpenting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
memadai. Karena dengan mental yang naik tersebut, berbagai persoalan yang
menyangkut kualitas skill dan pengetahuan manusia akan terselesaikan
dengan sendirinya. Sayangnya, paradigma tersebut tidak terjadi di Indonesia. Hal
ini bisa kita lihat dari sistem pendidikan Indonesia yang lebih banyak
memberikan porsi pada penguatan skill dan pengetahuan dibandingkan
mental itu sendiri.
Jadi wajar, jika hingga saat ini masih kerap
kita temui perilaku-perilaku yang tidak menunjukkan kualitas mental manusia
yang baik di negeri ini. Di jajaran birokrasi, ada kebiasaan KKN (Korupsi,
Kolusi dan nepotisme), hingga rendahnya etos kerja yang mendarah daging. Di
ranah pendidikan, ada perilaku mencontek dan plagiat yang semakin
memperihatinkan. Adapun dalam kehidupan masyarakat, budaya menerobos rambu lalu
lintas, membuang sampah di sungai, hingga merusak fasilitas umum merupakan
fenomena keseharian yang begitu akrab dengan masyarakat kita.
Jika kita menelisik lebih dalam, semua perilaku
tersebut sejatinya berangkat dari akar yang sama, yakni mental yang culas, atau
Munawir Aziz menyebutnya sebagai mental penerabas. Manusia dengan mental
demikian biasanya ingin memperoleh kesenangan maupun kesuksesan tanpa mau
bersusah payah. Jadi korupsi merupakan manifestasi dari mental kerdil di bidang
politik, plagiat merupakan ketidakberdayaan mental di bidang akademik, dan
menerobos rambu lalu lintas merupakan ekspresi mental culas yang terjadi begitu
alami.
Dan parahnya, masyarakat mulai permisif dan
menganggap perilaku-perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Kalaupun ada
perbaikan di sana-sini atas inisiatif tokoh tertentu yang menumbuhkan harapan,
gerakan ini rentan dikalahkan oleh sikap mental lama yang belum beranjak dari
kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging. Karena orang yang waras akan
dianggap gila jika berada di tengah kerumunan orang gila.
Lemahnya mental bangsa Indonesia, dalam
pengamatan Koentjaraningrat, merupakan akar dari krisis. Koentjaraningrat
(1996) menyebutkan bahwa orang Indonesia mengidap penyakit kronis berupa
mentalitas penerabas. Mentalitas ini membawa orang Indonesia menjadi mudah
terpesona, terkagum karena rendahnya wawasan, menginginkan cara-cara instan
untuk menghasilkan sesuatu, dan hilangnya rasa kepekaan terhadap mutu.
Koentjaraningrat melacak akar lahirnya mental penerabas pada sindrom
pasca-kolonial, kekacauan zaman revolusi, dan pasca-revolusi.
Persaingan SDM
Sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan,
kondisi mental pada akhirnya akan berimplikasi pada kualitas manusia itu
sendiri. Karena hakikatnya, mental penerabas berbanding lurus dengan perilaku
instan –yang berujung pada kemalasan. Dan kemalasan merupakan pangkal dari
kebodohan, ketidaktahuan dan ketidakmampuan.
Setelah dipaparkan kondisi mental objektif
bangsa kita yang rapuh, maka bukanlah hal mengejutkan jika kualitas Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tidaklah menggembirakan. Berdasarkan
Laporan Pembangunan Manusia atau Human Development Report yang dikeluarkan oleh
Lembaga PBB untuk Pembangunan atau United Nations Development Programme (UNDP)
pada tahun 2013, Indonesia berada di posisi 121 dari 187 negara dan kawasan
yang dikenal PBB. Kita masih tertinggal dari Negara-negara tetangga seperti
singapura (18), Brunei (30), Malaysia (64), Thailand (103), dan Filipina (114).
Melihat perkembangan dunia yang mengarah pada
globalisasi, berbagai upaya strategis dan taktis perlu segera dilakukan
pemerintah untuk mendongkrak SDM Indonesia. Hal ini untuk mengantispasi kalah
saingnya SDM Indonesia dalam persaingan dunia internasional. Apalagi
kesepakatan perdagangan bebas MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang akan
dilaksanakan pada 2015 tinggal menghitung hari. Kegagalan dalam ACFTA (ASEAN
China Free Trade Agreement) yang berujung pada membanjirnya produk Tiongkok
–dan berpengaruh pada matinya beberapa sektor produksi lokal– harus menjadi
pembelajaran yang penting bagi pemerintah.
Selain itu, dalam kurun waktu 2025-2035 akan
ada bonus demografi yang diberikan alam kepada bangsa ini, di mana jumlah usai
produktif jauh lebih besar dibandingkan usia nonproduktif. Dalam berbagai
kesempatan, para pemimpin kita kerap menyampaikan rasa sumringahnya menyambut
bonus demografi ini. Padahal jika tidak dibarengi dengan kualitas SDM dan
ketersediaan lapangan kerja yang memadai, bonus tersebut akan berubah menjadi
bencana demografi. Di sinilah, tugas pendidikan selaku wadah pencetak SDM
menjadi penting.
Terlepas dari sengketa budaya “gonta-ganti
kurikulum” yang dilakukan pemegang pendidikan kita, adanya upaya menekankan
pendidikan karakter dan mental pada kurikulum 2013 memberikan secercah harapan.
Sekolah atau lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi “bengkel” atas
berbagai kerusakan yang terjadi di republik ini. Tinggal bagaimana keseriusan
para stakeholder merealisasikannya.
Jika pembangunan mental ini sukses diwujudkan,
mimpi kita untuk melihat bangsa ini sejahtera bukanlah sesuatu yang utopis.
Tuhan telah menganugerahkan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Jika
diimbangi dengan SDM yang memadai, yakni Integritas dalam sikap, cerdas dalam
wawasan dan tangkas dalam skill, SDA yang dimiliki bangsa ini sudah
lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya. []
Comments