Skip to main content

Perjalanan ke Badau, Desa di Tapal Batas



Dari Pontianak, butuh waktu 18 jam untuk sampai ke Nanga Badau, sebuah desa di Kapuas Hulu yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Selain mengagumi keindahan alam yang dianugerahkan tuhan, peristiwa nyaris nyemplung ke jurang membuat perjalanan lebih spiritual. Berikut kisahnya.

Oleh : Folly Akbar, Kapuas Hulu
____

Pesawat Garuda yang membawa saya dan teman-teman dari Jakarta mendarat di Bandara Supadio, Pontianak, pukul 14.00 WIB (15/3/2017). Begitu turun pesawat, hawa panas langsung terasa. Menyeruak ke seluruh badan.

Maklum saja, kota Pontianak berada tepat di garis khatulistiwa. Bagi yang gak biasa seperti saya, Kondisinya cukup memacu produksi keringat di tubuh.

Di bandara, tidak banyak aktivitas yang kami lakukan. Selain terbatasnya fasilitas, waktu yang ada pun tak cukup banyak. Alhasil, usai salat ashar, kami harus melanjutkan perjalanan ke Badau.

Agar lebih efisien, sebetulnya kami bisa melanjutkan perjalanan udara Pontianak- Sintang. Lumayan, bisa memotong sekitar 320 kilometer. Namun sialnya, sudah tidak ada tiket pesawat ke Sintang. Mau tak mau, perjalanan darat pun harus tempuh.

"Berapa lama kira-kira," tanya saya.

"Lumayan," jawab supir, singkat.

"Wah, jauh nih," gumam ku dalam hati.

Perjalanan darat pun kami mulai dari bandara sekitar pukul 15.00 WIB. Ada dua mobil yang membawa kami. Mobil yang saya tumpaki sendiri berisi enam orang. Selain saya dan supir, ada Yono, Bang Ikbal, Mbak Titin dan seorang kawan wanita.

Setelah 30 menit berjalan, kami pun mulai keluar dari kota Pontianak. Jalan-jalan yang awalnya luas, mulai menyempit. Ukuranya hanya sekitar tujuh sampai delapan meter untuk dua arah. Kira-kira, Mobil tidak bisa berjalan beriringan. Bisanya berbaris.

Keluar dari Pontianak, suasana 'Kalimantan banget' mulai kami terasa. Rumah yang berdiri di atas tanah gambut, hingga sungai-sungai yang luas mulai terlihat dari balik jendela mobil.

Namun berbeda dengan di jalan Pantura Jawa, jalan trans Kalimantan yang merupakan jalan nasional relatif sepi. Tidak ada barisan toko ataupun deretan rumah. Jarak antar rumah cukup jauh. Kalaupun ada yang dekat, jumlahnya tidak terlalu banyak.

Semakin jauh melaju, suasana alam semakin terasa. Rumah semakin sedikit. Praktis, hanya ladang gambut dan hutan yang banyak kami saksikan. Segerrr...

Untungnya, meski naik-turun dan berkelok-kelok, jalanan mulus. Bahkan, Mobil kami bisa melaju hingga 80 kilometer/jam. Wusshhh.

Lebih dari satu setengah jam berlalu, hutan semakin lebat. Layaknya hutan di daerah tropis. Ya meskipun mulai bercampur dengan perkebunan sawit.

Sepanjang jalan, yang tampak hanya hijau. Temaram senja yang mulai datang, membuat suasana menjadi lebih syahdu. Ibarat bumi dan langit, jika dibandingkan jalanan di tengah kota Jakarta!

Sayang, rona hijau yang menyegarkan tidak berlangsung lama. Karena malam pun keburu tiba. Warna hijau yang awalnya menyegarkan, berubah menjadi gelap gulita. Semuanya menjadi hitam.

Maklum, jalan trans Kalimantan nyaris tanpa pencahayaan. Hanya lampu mobil yang saling bersahutan di jalan,  yang membuat saya masih bisa melihat di kanan kiri. Meskipun tidak terlalu terang.

Lagi-lagi, kami beruntung. Cuaca baik. Langit amat cerah, tanpa awan mendung yang menggelayuti. Sesekali, cahaya rembulan menyelinap di balik pepohonan. Sementara ratusan bintang tampak di atasnya.

Jelang isya, rasa capek mulai menerpa. Setali, perut pun keroncongan. Memilih untuk rehat sambil makan minum menjadi pilihan yang bijak.

Alhasil, begitu menemui perkampungan, kami pun menepi. Saya tidak tahu, ada di daerah mana. Yang saya ingat, itu perempatan pertama setelah keluar dari kota Pontianak. Sebuah rumah makan padang menyambut kami.

"Jauh-jauh ke Kalimantan, makannya tetep nasi padang," kata salah seorang teman.

Karena takut mabok darat, menu yang saya pilih pun hati-hati. Saya pun memilih rendang. (Sungguh, memilih dalam keterpaksaan. Tapi tetep enak.. hehe). Minumnya es kopi. Plus kerupuk.

Oya, kerupuk ini penting menjadi temen makan buat saya. Layaknya perokok, - saya yang bukan perokok ini, menjadikan kerupuk sebagai santapan wajib pasca makan. Mulut ga enak kalau ga ngemil. Asem!

"cekrek, cekrek," suara ponsel mengabadikan momen tersebut.

"Mumpung ada sinyal, kirim ke temen-temen jakarta," ujarku.

Rampung mengisi bensin, perjalanan pun dilanjut. Layaknya orang kenyang, penyakit yang muncul ya… ngantuk. Namun sialnya, jalanan mulai tidak bersahabat. Aspal mulus sudah tidak ada lagi. Adanya, jalan tanah, lengkap dengan lubang yang bertebaran di mana-mana. (Pakdhe Jokowi ini tolong dibereskan)

Untungnya, perjalanan kami tetap ceria. Canda dan tawa membuat jalan rusak tidak terlalu buruk buat kami. Dan yang terpenting, tawa menjadi obat penangkal mabok darat. Hehe.

Sepanjang jalan, kita memang berupaya agar terus sadar. Karena menurut pengalaman, terhanyut dalam goyangan mobil bisa menimbulkan gejolak di perut. Ya, semacam dorongan untuk mengeluarkan makanan yang dari dalam perut. hehe

Jika sudah begitu, dunia terasa suram. Seindah apapun perjalanan kita, percayalah, akan tidak ada artinya. Saya pengalaman soal itu. Hiks.

Tak sekuat sore hari, perjalanan malam hari sedikit lebih tersendat. Penyebabnya, ada seorang temen yang mulai beser. Di sisi lain, supir pun lelah. Harus banyak istirahat.

Seingat saya, sebelum dan sesudah melewati Kota Sanggau, kita dua kali rehat. Buat pipis, buat ngopi, dan buat selonjoran. Masing-masing sekitar 15 menit. Tidak terlalu lama memang, tapi cukup untuk memanjakan tubuh.

Malam makin larut, runtuh juga badan saya. Ingin rasanya melek menemani supir. Tapi apa daya, mata tak kuat. Saya pun tidur.

"Cewek pendiam itu susah," kata seseorang yang duduk di bagian tengah. Obrolan itu membangunkan ku dari lelap.

Saya tak tahu persis, apa yang diobrolkan Yono dan Bang Ikbal. Tapi sepertinya tidak jauh-jauh dari perempuan. Dasar cowok!.

Sesampainya di Sintang, rombongan dipecah. Ada tambahan satu mobil menjadi tiga. Mbak titin dan satu kawan wanita pindah mobil. Tujuannya, agar bisa tidur. Kursi-kursi mobil pun mulai bisa ditidurkan. Ahh, nikmatnya.

Sekitar pukul tiga pagi, saya terbangun. Jalanan sempit, dengan rute berkelok dan naik turun membuat tubuh susah tidur.

"kita kerjar waktu, jadi harus cepat," katanya.

Saat menemui kelokan, jantung rasanya mau copot. Pun sama halnya dengan tanjakan. Begitu menukik ke bawah, terasa mau terbang.

Sampai akhirnya, yang dikhawatirkan pun tiba. Mobil kami, nyaris jatuh ke jurang. Ban depan dan belakang sebelah kiri sudah menganga dipinggir jurang. Tidak dalam sih, sekitar lima meter. Tapi cukup untuk membawa kami ke rumah sakit. Hehe.. Untungnya, baru sebatas hampir, belum nyemplung.

Bagaimana saya keluar mobil? Lihat saja aksi Dokter Kang dalam serial drama korea Descendants of the Sun. Kira-kira, seperti itu. Bedanya, tidak ada sosok Yoo Shi Jin yang menyelamatkan dengan sangat romantis. Baper.com

Mobil kami pun belum bisa direlokasi. Beberapa angkutan yang kami dapati belum bisa member pertolongan. Baik bus, maupun truk-truk pembawa barang.

Karena diburu waktu, formasi pun kembali seperti awal. Saya dan Yono nebeng ke mobil yang membawa mbak titin dan seorang kawan wanita. Minus bang ikbal yang mewakafkan dirinya menemani sopir mencari bantun. Dia sungguh pegawai honorer yang bertanggung jawab. Haha

Jelang pagi, udara semakin dingin. Pengalaman nyaris nyemplung membuat kami sulit tidur. Bersyukur, masih diberi keselamatan. Jita pedal rem telat diinjak satu detik saja, mungkin ceritanya bisa lain. Terima kasih ya Allah..

Di sisi lain, aktivitas masyarakat di pedalaman juga menarik untuk disaksikan. Hal yang tidak ditemui di Jakarta. Di beberapa tempat, bahkan perumahan di tepi jalan itu belum ada listrik. (Ini PR Pakdhe Jokowi. Ini perintah pak).

Jelang pukul 6 pagi, mobil kami terhenti. Sementara di depan mata, tampak sungai yang cukup luas. Airnya tenang. Namanya sungai Kapuas. Di pinggirnya, beberapa kapal bersandar. Mereka menyediakan jasa penyeberangan motor.
Tapi bukan kapal itu yang kami tunggu. Karena ada dua mobil, kami menunggu kapal yang lebih besar.

"Sedang perjalanan ke sini," kata salah seorang penyedia jasa.

Sambil menunggu, kami pun menunaikan ibadah pagi. Boker dan pipis? Ya benar.

Beruntung, tak jauh dari penyeberangan, ada rumah warga. Pemiliknya sangat baik. Kami punya tempat untuk membuang. Satu demi satu, kami bergantian.

Namanya kawasan bergambut, air di Kalimantan beda dengan di Jawa. Warnanya keruh kekuning-kuningan. Bagi yang tak biasa, mungkin agak sedikit jijik. Seperti yang dirasakan salah seorang kawan saya, Astri. Wanita jebolan miss universe itu terlihat agak terkejut saat masuk ke kamar mandi.

"Tapi namanya kebelet, apa mau dikata," gumamku dalam hati.

Kembali ke tepi sungai, rupanya kapal yang akan membantu kami menyeberang sudah datang. Namun, bentuknya diluar perkiraan saya.

Kapalnya kecil, tapi disampingnya membawa pontoon disampingnya. Ukurannya cukup besar. Muat untuk tiga buah mobil ukuran Inova.

Setelah mobil berhasil dinaikkan, kapal pun melaju. Menerabas aliran sungai hulu Kapuas pagi itu. Sementara di sebelah timur, mentari bersinar cerah. Bagaimana rasanya? Seperti surga.hehe semua persoalan hilang. Hiruk pikuk pilkada DKI yang sialan itu lenyap dari pikiran.

"Di sini ada buaya tidak," ujar salah seorang kawan.

"adanya buaya darat," ujarku disambut senyuman.

Tak lupa, momen langka bagi kami penduduk jakarta itu diabadikan. Wefie!

Sayangnya, melintasi sungai tidak berlangsung lama. Hanya sekitar belasan menit saja. Namun, itu tetap saja tidak melunturkan rasa bahagia kami.

Tiba di seberang, perjalanan pun kami lanjutkan. Namun medannya sangat berbeda. Ya namanya saja motong jalan.
Kami masuk ke perkebunan sawit. Sangat luas.

Jalannya yang berkontur tanah membuat laju mobil kami tidak bisa cepat. Plus bergelombang dan penuh kubangan. Itu belum termasuk jembatan darurat yang kondisinya separuh rusak. Harus ekstra hatihati.

Sementara warna mobil kami sendiri mulai tak karuan. Lumpur menyergap ke seluruh badan mobil. Jika tanah agak kering, debu bertebaran.

Melewati perkebunan sawit bak melewati sebuah labirin. Ada banyak pertigaan dan perempatan yang sulit untuk dibedakan. Jika salah belok, kita bisa tersesat. Untungnya, kami dipandu seorang warga setempat.

Melewati perkebunan sawit seperti menahan kegetiran yang pahit. Hampir empat jam kami berjalan, sepanjang itu pula berdiri pohon sawit. Siapa pemiliknya? Tentu pengusaha. Di satu sisi, tanah menjadi barang mewah bagi rakyat. Tapi di sisi lain, ada pengusaha yang memiliki tanah sedemikian luas.

"Siapa pemilik negeri ini?," gumamku dalam hati.

Tapi seperti sebelumnya, akoh yang bukan siapa-siapa ini hanya bisa mengelus dada. Mau berbuat apa? Hmmm.

Perjalanan kami menyusuri kebun sawit berakhir sekitar pukul 9.15. Itu setelah kami tiba di Badau. Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Sampai di Badau, jalan kami mulai memasuki jalanan beraspal. Kondisinya berbeda jauh lebih baik dengan jalan yang kami tempuh. "Pembangunan untuk pencitraan,"  ujarku. Hehe

Tapi tak apa, itu jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Potret pembangunan di perbatasan memang harus digenjot. Hal itu, setidaknya bisa memperbaiki citra kita sebagai negara dihadapan warga lain. Meminjam istilah pak jokowi, agar warga perbatasan bangga.

Sepanjang jalan, suasana Badau begitu ramai. Ada banyak warga yang berdiri di tepi jalan. Sementara di lapangan kecamatan, ribuan orang berkumpul. Mereka menantikan hari yang bersejarah.

Ya, karena pada hari itu, 16 Maret 2017 adalah hari pertama kampung mereka dikunjungi Presiden RI. Dan yang berkesempatan adalah Presiden Jokowi. 

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.