Foto Istimewa |
Ingin Buktikan Islam dan Demokrasi Compatible
Tanpa memiliki latar belakang pendidikan
kepemiluan, sosok Masykurudin Hafidz justru banyak terlibat dalam perjalanan
pesta demokrasi di Indonesia beberapa tahun belakangan. Selain melakukan
pemantauan, sumbangsih pemikiran aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk
Rakyat (JPPR) itu banyak di dengar oleh pemangku kebijakan kepemiluan.
Oleh : Folly Akbar, Jakarta*)
Ya,
pria yang akrab disapa Cak Masykur itu sejatinya adalah seorang santri tulen.
Lahir dari keluarga yang taat beragama, membuat darah santri mengalir di sanubarinya
sejak dini. Tak ayal, mulai dari pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi,
lembaga tempatnya menempuh pendidikan selalu saja beririsan dengan pendidikan
agama.
“Saya
di MI, MTS, MA juga khusus keagamaan. Kemudian masuk LIPIA punya Arab Saudi,”
ujarnya kepada Jawa Pos.
Kiprahnya
terjun ke dunia sosial baru dimulai saat dia masuk ke organisasi Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tahun 2002. Selain kuliah, dia
menyempatkan diri keluar dari rutinitasnya sebagai santri. Itupun, masih tidak
ada kaitannya dengan pemilu. Saat itu, dia masih bergerak di kegiatan-kegiatan
sosial semata.
Barulah
di tahun 2007, sepak terjangnya dalam urusan kepemiluan resmi dimulai. Kebetulan,
P3M merupakan satu dari puluhan organisasi yang masuk dalam lingkup JPPR. “Tahun
2007, saat pilkada Jakarta saya ditugaskan mewakili P3M ke JPPR. Namanya santri
ya mau,” imbuhnya.
Namun,
Masykur menjelaskan, pilihannya untuk mau terjun ke dunia pemilu bukan
semata-mata mengikuti perintah. Di sisi lain, dia juga memiliki misi pribadi. Salah
satunya mendobrak pemahaman ‘kuno’ yang banyak melekat di masyarakat kala itu.
Singkatnya,
dia ingin membuktikan, bahwa nilai ketaatan terhadap agama yang tinggi, tidak
lantas membuat seseorang alergi terhadap demokrasi. Masykur yakin, bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi “yang sebenernya” sangat nyambung
dengan ajaran agama.
“Saya ingin buktikan agama dengan demokrasi
bisa compatible,” kata pria yang
akrab dengan peci hitam tersebut.
Nah,
baru bergabung di JPPR, dia langsung diberi tugas yang cukup berat untuk kaliber
pendatang baru. Bapak beranak satu itu didaulat menjadi koordinator pemantau di
wilayah Jakarta Timur saat Pilkada DKI Jakarta 2007. Selain mengukuti bimbingan
teknis, dia juga memiliki cara sendiri untuk belajar memantau. Yaitu dengan rajin
membaca Undang-undang.
“UU
bunyinya gimana, di lapangan kondisinya gimana. Kalau ga sesuai berarti ada
yang dilanggar,” ujarnya memberi tips.
Cukup
sukses di jabatan pertamanya, karier pria kelahiran Banyuwangi di JPPR langsung
meroket. Saat pergantiaan kepengurusan di 2009, dia didaulat menjadi sekretaris
nasional. Dua tahun kemudian dipercaya menjadi manajer pemantau, dan dua tahun
kemudian duduk di kursi deputi. Serta puncaknya terjadi pada 2015, di mana dia
diangkat menjadi koordinator nasional.
“Saya
termasuk orang beruntung, belajar kepemiluan semua tanggung jawab pernah
diikuti,” tuturnya.
Selama
menjalani berbagai jabatan di JPPR, pengetahuannya pun terus digenjot. Bukan
hanya menyangkut pemantauan, dia juga belajar banyak hal menyangkut kepemiluan.
Mulai dari yang sifatnya teknis, sampai dengan hal-hal teroritis seperti sistem
pemilu dan sebagainya. Kebetulan, banyak ahli kepemiluan yang ditemuinya selama
beraktivitas di JPPR.
"Setiap kali mendengar pendapat mereka, saya bertanya ada dibuku apa? Kalau ada saya cari," terang pria berkacamata itu.
"Setiap kali mendengar pendapat mereka, saya bertanya ada dibuku apa? Kalau ada saya cari," terang pria berkacamata itu.
Nah,
menjadi pegiat pemilu yang berdiri di luar kelembagaan negara sendiri telah
memberinya banyak pengalaman. Baik suka maupun duka. Senangnya, kata Masykur,
dia bisa menyamaikan argumen secara mandiri. Tanpa harus terbebani dengan
kepentingan apapun.
Selain
itu, dia juga bisa bergaul dengan semua pihak. Baik penyelenggaa, maupun peserta
pemilu seperti partai politik tanpa adanya sekat.
Lalu,
apa dukanya? “Saya sering diprotes keluarga,” ujarnya lantas tertawa.
Menurutnya,
kesibukannya sebagai pemantau memang cukup menyita waktu. Apalagi, jika dalam
momen agenda politik seperti Pilkada dan Pemilu. “Biasanya dua minggu sekali
pulang ke Jogja. Tapi kalai lagi overload
bisa sebulan sekali. Keluarga mengerti, tapi tetep protes,” ujarnta berkelakar.
Selain
itu, kesulitan lain yang dihadapinya adalah adanya tuntutan untuk terus bersikap
netral. Kalaupun dalam sebuah kontestasi pemilu dia memiliki ‘jagoan’, Masykur
harus tetap menjaga diri. Ini penting, untuk tidak terkesan condong ke salah
satu pihak saat berpendapat maupun dalam memantau.
Selain
itu, satu hal yang selalu ditanamkan dalam hati hingga saat ini. Bahwa sebagai
seorang pemantau, haram baginya “melacurkan diri” demi materi. Oleh karenanya,
saat ada pihak-pihak yang berupaya menggunakan posisinya untuk kepentingan
tertentu, dengan tegas dia menolaknya.
Contohnya,
saat mendorong pengembalian Pilkada menjadi pemilihan langsung 2014 lalu, ada oknum yang mencoba memanfaatkannya. Sebetulnya, secara pandangan sama, yakni mengembalikan pilkada
menjadi demokrasi langsung. Hanya saja, motifnya beda.
“Dia
pengen pilkada langsung agar menguntungkan sebagai lembaga survei. Meskipun keinginannya
sama, tapi substansi alasannya berbeda, tidak bisa kita terima,” tegasnya.
Meski
demikian, pria kelahiran 31 Agustus 1981 itu mengaku tidak mau ambil pusing
dengan semua suka maupun duka yang datang silih berganti. Sejak awal, dia sadar
betul, itu merupakan bagian dari dinamika dan resikonya sebagai pemantau pemilu
independen.
Lantas,
apakah ada cita-cita bergabung menjadi penyelenggara pemilu? “Kemungkinan untuk
bergabung ga tertutup. Ya sembari tetap menyiapkan masyarakat sipil untuk
memantau pemilu,” tuturnya diplomatis. “Mau diluar atau dalam, yang penting
kontribusi,” pungkasnya bijak.
Comments