Salah satu kesibukan di Stasiun Klaten, Jawa Tengah. Pasca dilarangnya aktivitas pedagang asongan, Stasiun tersebut tampak sepi. |
Upaya PT KAI menertibkan Kereta Api (KA)
dari asongan tanpa memberi solusi mendapatkan perlawanan keras. Bagi asongan,
ancaman perut jauh lebih menakutkan ketimbang aparat.
Oleh
: Folly Akbar**)
SESAAT
setelah matahari menampakkan sinarnya. Tepat pukul 08.15 WIB, suasana Stasiun
Klaten, Kabupaten Klaten Jawa Tengah, pada Rabu 2 Oktober 2013 terlihat
berbeda. Di hari biasa, bagian dalam stasiun hanya dipadati calon penumpang dan
beberapa karyawan PT KAI(Kereta Api Indonesia) yang tengah bertugas. Sedangkan
di luar, hanya ada puluhan tukang ojek dan becak yang berlalu lalang merayu
setiap pengunjung untuk menggunakan jasanya. Tak lupa, beberapa tukang parkir
yang secara konsisten mengarahkan pengendara untuk meletakan kendaraanya dengan
rapih juga turut melangkapi rutinitas di stasiun.
Tapi
hari itu, ada puluhan anggota kepolisian berseragam rapih yang berkeliaran di
stasiun yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Solo tersebut. Di beberapa jalan
menuju stasiun, seperti Jalan Pramuka, terdapat beberapa kelompok polisi
berkeliaran. Baik yang menggunakan angkutan, maupun yang berjalan kaki.
Pemandangan
yang tidak jauh berbeda juga terlihat di parkiran stasiun. Satu mobil bak
bertuliskan Polisi Polsek Klaten dan dua mobil pribadi milik Polisi terlihat
parkir di sebelah timur gerbang stasiun.
Sementara
di dalam stasiun sendiri, sudah ada belasan anggota kepolisian yang
berjaga-jaga. Semuanya laki-laki. Tak tampak satupun polisi wanita (Polwan)
yang turut di
sana, kecuali AKP Heru Setyaningsih, Kepala Polisi Sektor Kota (Kapolsekta)
Klaten. Tidak ketinggalan, beberapa wartawan dari berbagai media pun telah
hadir di sana.
Pemandangan
yang tidak biasa itu menimbulkan perbincangan di berbagai sudut luar stasiun.
“Ono opo? (ada apa),” tanya seseorang
pengunjung yang baru tiba di stasiun.
“Biasa asongan,”
jawab tukang becak yang sudah lebih awal datang.
Pada
hari itu, polisi tampaknya sudah berniat menghadang upaya pedagang asongan yang
masih nekat berjualan di gerbong kereta. Apel pagi yang dipimpin langsung Kabag
Ops Polres Klaten AKP Kurniawan Ismail bahkan digelar di halaman stasiun.
Hingga
pukul 08.30 WIB, suasana masih begitu tenang. Tak lama berselang, terdengar
aba-aba yang dikumandangkan pihak stasiun akan kedatangan Kereta Api (KA) Sri
Wedari dari arah Jogja di jalur dua.
Sayup-sayup
suara sirine terdengar dari sebuah palang pintu perlintasan di jalan raya,
sekitar seratus meter sebelah barat stasiun. Perlahan, dari kejauhan kereta
berwarna merah muda dengan lokomotifnya yang mirip kepala Hello Kitty terlihat berjalan menyusuri rel mendekati stasiun.
Puluhan
calon penumpang mulai mempersiapkan diri menanti kereta tersebut. Beberapa di
antara mereka adalah pedagang asongan yang telah menyembunyikan dagangannya
dengan berbagai cara. Ada yang membungkus dengan kain, ada pula yang memasukan
ke dalam tas besar layaknya orang yang hendak mendaki gunung.
Namun
nahas, upaya mereka diketahui Polisi Khusus Kereta (Polsus), mengingat posisi
mereka yang terlihat tidak memiliki jatah kursi. Puluhan polisi yang sudah
berjaga sejak pagi pun beranjak menaiki kereta. Mereka memaksa para pedagang
asongan untuk turun. Perdebatan antara asongan dengan polisi tidak bisa
dihindari.
“Aku ora dol-dolan, aku cuma nunut sampe
Purwosari (aku gak jualan, aku hanya numpang sampai Purwosari),” ucap salah
seorang asongan.
Tanpa
basa-basi, polisi akhirnya menurunkan secara paksa barang dagangan mereka.
Karena kalah jumlah, asongan tidak kuasa menahan upaya polisi. Teriakan dan makian
pun semakin menjadi-jadi hingga terdengar menggema di stasiun.
Di
tengah perdebatan tersebut, terdengar upaya penumpang kereta lainnya untuk
menolong para asongan. “Ada berapa asongan, biar saya bayarin tiketnya,” cetus
salah seorang penumpang yang merasa iba. Namun hal itu tidak digubris polisi.
Tangis
histeris akhirnya meletus dari salah seorang pedagang asongan wanita bernama
Yani Cilik (32 tahun), kala beberapa
nasi bungkus dagangannya tercecer akibat penurunan paksa yang dilakukan polisi.
“Opo ngene iki dadi aparat didu
ambe rakyate. Sampeyan tingali bu,
niku sekul bu (Apa kaya gini jadi
aparat diadu sama rakyatnya. Anda lihat bu, itu nasi bu),” ujar salah seorang asongan membela Yani.
“Niki dagangan, mboten maling
(Ini dagangan, bukan maling),” ujar asongan lainnya sambil membanting dagangan.
“Thitik-thitik dibawa ke kantor,
wong cilik dibawa ke kantor (Sedikit-sedikit dibawa ke kantor, orang kecil
di bawa ke kantor),”
Dalam
keadaan emosi yang semakin memuncak, sembari menangis, Yani pun nekat melempari
kaca ruang pusat pengendalian stasiun dengan nasi bungkus dagangannya yang
tercecer itu. Jaraknya sekitar 6 meter dari posisi Yani melempar. Lemparan
pertama dan kedua hanya mengenai tembok bagian bawah yang dilapisi kramik. Tapi
lemparan yang ketiga, tepat mengenai sisi kaca bagian atas.
“Praang,” kaca pun pecah. Beberapa polisi
berusaha menangkap Yani.
“Hey..hey…
Itu pecah, katanya gak anarkis,” teriak seorang polisi sembari menunjuk Yani.
Dengan
sigap, asongan lainnya segera melindungi Yani. “Jangan dibawa, nanti kami ganti
kacanya,” teriak asongan kompak. Polisi pun mengurungkan niatnya untuk
menangkap Yani.
“Anak saya dua, masih umur tujuh tahun sama lima tahun, hanya saya saja
yang bekerja. Kalau tidak boleh jualan, mau dikasih makan apa mereka? Coba
kalau bapak-bapak aparat dan petugas KAI seperti saya. Mau bilang apa coba?,”
cerita Yani sambil menangis.
Di
tengah pertengkaran mulut antara aparat dan asongan, KA Sri Wedari yang sempat
tertunda keberangkatannya 20 menit mulai berjalan. Melihat kereta berangkat,
asongan semakin emosi. Mereka terus memaki dan mempertanyakan nasib mereka
kepada PT KAI.
“Kita itu cari nafkah, bukan maling. Apa jadi asongan itu haram?,” ujar
salah seorang asongan membentak.
“Wong cari rejeki
dibenturkan dengan aparat, asongan dibenturkan sama aparat, mana hati nuraninya?,”
Keadaan
baru bisa sedikit tenang ketika Kapolsekta Klaten AKP Heru Setyaningsih dan
Kabag Ops Polres Klaten AKP Kurniawa Ismail mencoba turun tangan menenangkan
emosi para asongan.
“Kemarin
saya baru gajian, gimana kalau nasinya dimakan bareng aja rame-rame,” ungkap Heru menenangkan.
Selanjutnya
Heru berjanji, jika Kepala Polisi Resort (Kapolres) Klaten yang baru akan
mengadakan mediasi antara asongan dengan PT KAI. “Kita punya Kapolres baru,
nanti kita upayakan mediasi.” Mediasi yang ditawarkan Heru tidak sepenuhnya
membuat asongan tenang, mereka kembali mempertanyakan nasib mereka. “Kita
menunggu solusi dari daop 6, nah sambil menunggu itu sehari-harinya itu lo kita gimana?,” bantah salah seorang
asongan.
Pembicaraan
antara Heru dan para asongan terus berlanjut. Tidak berselang lama, perlahan
asongan pun mulai membubarkan diri. Dan menyempatkan diri bersalaman dengan
beberapa anggota kepolisian.
“Ngapunten pak, bu (permisi pak, bu),”pamit mereka dengan tertib.
Mereka
berjalan menuju sisi barat stasiun, tempat di mana mereka biasa menerobos masuk
stasiun. Di sanalah, sejenak mereka berkumpul.
KA
Sri Wedari sendiri merupakan kereta lokal dengen trayek Jogja - Solo.
Sebagaimana umumnya kereta lokal, kereta jenis ini bukan menjadi ladang para
asongan mengais rejeki. Para asongan biasanya memburu kereta api kelas ekonomi
jarak jauh. Tapi pada hari itu para asongan terpaksa numpang KA Sri Wedari
untuk bisa sampai di Stasiun Jebres, Kota Solo. Tempat mereka mulai menjajakan
daganganya di kereta.
Saat
ini, asongan Klaten terpaksa berjualan melalui Stasiun Jebres. Terhitung 1 Oktober
2013, asongan Klaten sudah tidak bisa lagi menjajakan daganganya melalui
Stasiun Klaten. Hal ini tidak lepas dari kebijakan PT KAI Daop (Daerah
Operasional) 6 yang berpusat di Yogyakarta untuk tidak lagi memberhentikan KA
kelas ekonomi di Stasiun Klaten.
***
SEKITAR
100 meter sebelah barat Stasiun Klaten. Tepatnya di Jalan Pramuka No. 58,
terdapat bangunan megah bercatkan orange
milik BMT Safinah. Siapa sangka, di belakang bangunan berlantai dua itu
terdapat pemukiman padat penduduk dengan berbagai kesemerawutan; aliran sungai yang penuh sampah, lalu-lalang
anak-anak bermain di tengah keterbatasan lahan, hingga rumah-rumah yang
dibangun di sisi jalanan sempit yang membuat kita merasa berada di Jakarta.
Itulah sekilas suasana yang ada di Kampung Tegal Sepur, RW. 01 RT. 02, Klaten
Kota.
Di
samping barat BMT Safinah, ada sebuah gang tempat masyarakat sekitar mengakses
keluar masuk kampung. Tidak kurang dari 25 meter masuk ke dalam gang, ada
sebuah rumah bercatkan putih dengan gerbang kecil selebar setengah meter yang
dihimpit tembok setinggi satu meter. Di situlah Ane Herawati (36 tahun) beserta
suami dan tiga anaknya menetap.
Rumah
yang ia tempati berdiri di atas tanah wakaf seorang pelukis kondang asal
Klaten, yakni Ustamaji. Mertua Ane merupakan salah satu sopir pribadi keluarga
Ustamaji. Kedekatan mertua Ane dengan Ustamaji, menjadi alasan mengapa Ane
menjadi salah seorang yang mendapat jatah tanah wakaf tersebut.
Dengan
luas empat meter dan panjang tujuh meter, Ane dan suaminya Aan (38 tahun) harus
memupuskan keinginanya untuk memiliki kamar layaknya rumah pada umumnya.
Panjang bangunan yang hanya tujuh meter di bagi menjadi empat bagian. Satu
meter untuk teras, empat meter untuk ruang keluarga sekaligus tempat mereka
tidur -yang sewaktu-waktu menjadi ruang tamu, sisanya digunakan untuk dapur
yang harus berebut lahan dengan kamar mandi.
Ane
merupakan satu dari sekian banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan
menjajakan dagangan di gerbong-gerbong kereta. Ketidakmampuan keluargannya
membuat cita-cita Ane menyelesaikan kuliah di Amikom, Yogyakarta gagal
terwujud. Tepat pada tahun 1997, Ane memutusakan untuk menyudahi masa lajangnya
setelah menikah dengan pujaan hatinya, Aan.
Saat
itu, Aan belum memiliki pekerjaan tetap. Hingga akhirnya Ane memilih untuk
menjadi pedagang asongan kereta beberapa bulan pasca pernikahannya, hingga saat
ini. Itu dilakukannya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai barang
dagangan pernah dia jual kepada penumpang kereta, mulai dari keripik belut, nasi
bungkus, hingga bakpia. Nama terakhir merupakan produk yang dia jajakan saat
ini.
“Jualan
di kereta itu enak mas, lebih mudah. Gak perlu ijazah dan keahlian lebih
seperti di pabrik-pabrik itu,” ujar wanita berbadan sedikit gemuk tersebut.
Empat
belas tahun ia habiskan sebagian hidunya di atas rel, kehidupannya bersama
suaminya mulai bisa dilalui dengan sedikit mudah. “Dulu saya bisa dapat 70 ribu
per hari,” cerita Ane sumringah.
Tapi
semua menjadi berubah, kala PT KAI mengeluarkan peraturan yang melarang asongan
berjualan di kereta pada awal Januari 2012.
“Dulu
saya bisa tiga kali bawa barang. Sekarang cuma sekali bawa saja sudah susah.”
“Apalagi
sekarang harus ke Solo dulu kalau mau jualan. Ongkos bis pulang pergi aja udah
berapa?”
Saat
ini, suami Ane bekerja pada sebuah dealer
motor di daerah Bendo, Klaten. Pendapatan suaminya tidak bisa dikatakan cukup
untuk menghidupi dirinya dan tiga orang anaknya. Anak pertamanya, Nabila (15
tahun) yang kini tengah menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) belum bisa
membantu ekonomi keluarganya. Yang kedua Gilang (10 tahun), saat ini masih
menempuh Sekolah Dasar (SD). Adapun anak bungsunya, Raihan yang baru berumur
dua tahun juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“UMR
Klaten berapa to mas? 900 ribu. Padahal
setiap pagi, paling enggak saya sudah
harus megang uang 25 ribu untuk sangu
(uang saku) dan sarapan keluarga.” Biaya kebutuhan pokok yang terus menjulang
memaksa Ane untuk tetap berjualan di kereta api.
***
PELARANGAN
asongan berjualan di KA seyogyanya akan diberlakukan PT KAI sejak tahun 2007
lalu. Seiring dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Di
mana dalam Pasal 38 disebutkan, ruang manfaat jalur kereta api diperuntukkan
bagi pengoperasian kereta api dan merupakan daerah yang tertutup untuk umum.
Selanjutnya, di Pasal 173 juga dijelaskan bahwa masyarakat wajib ikut serta
menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian.
Selain
Undang-undang, juga ada PP No 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Kereta Api. Di mana pada pasal 124 disebutkan bahwa setiap orang dilarang masuk
ke dalam peron stasiun, kecuali petugas, penumpang yang memiliki karcis, dan
pengantar/penjemput yang memiliki karcis peron.
Tapi
saat itu (2007), upaya yang dilakukan hanya sebatas himbauan dan tidak mampu
membersihkan asongan dari dalam gerbong. Upaya baru kembali dilakukan pada awal
tahun 2012 dengan dalih memberikan kenyamanan kepada penumpang melalui Surat
Instruksi Direksi PT KAI Nomor: 2/LL.006/KA-2012 tentang Penertiban Padagang
Asongan.
Dalam
instruksinya, Direksi Utama PT KAI, Ignasius Jonan memerintahkan seluruh
jajaran PT KAI untuk melarang pedagang asongan menjajakan barang dagangannya di
dalam rangkaian KA, baik rangkaian KA yang sedang berhenti di stasiun, ataupun
rangkaian KA yang sedang dalam perjalanan. Dan memberikan sanksi kepada para
pejabat dan pegawai PT KAI yang tidak melaksanakan instruksi ini. Instruksi
tersebut berlaku mulai tanggal 1 Januari 2012, tanpa ada toleransi. Begitu
kira-kira inti surat yang dikeluarkan direksi.
Sumarsono,
Manager Humas Daop 6 Yogyakarta (Periode Th 2013) membenarkan jika aturan
tersebut baru bisa dilaksanakan secara lebih intensif pada tahun 2012 lalu.
“Dulu
kita tidak bisa tegas. Sekarang sudah tidak, karena kita harus memberikan
pelayanan yang terbaik kepada penumpang.”
“Pertama, orang naik kereta api harus bertiket. Kedua, tidak dibenarkan
penumpang berjualan. Itu berlandaskan pada UU No. 23 tahun 2007.”
“Kalau sekarang asongan diijinkan, saya sebagai penumpang, mendingan
saya gak usah beli tiket kan? Pasti
penumpang akan berpergian Jakarta-Surabaya
bawa tas kresek isi Aqua tiga, gak usah beli tiket,” ujarnya.
Ketika
ARENA
mempertanyakan nasib asongan kepada PT KAI, Sumarsono menolak dan menyerahkan
persoalan tersebut kepada pemerintah daerah.
“Oh enggak, itu bukan urusan PT KAI.”
Bagi
asongan, kebijakan PT KAI ini sangat mengejutkan. Hemy Frankerta Ismayadi (40
tahun), Ketua Paguyuban asongan kereta Klaten mengungkapkan kekecewaannya. Dia
juga mempertanyakan motif dibalik pelarangan tersebut.
“Padahal aturan pedagang tidak boleh dari tahun 2007, tapi kenapa baru
tahun 2012 berlaku? Setelah restorasi menjadi Reska? Mereka takut asongan nyaingin Reska? Wong dagangan yang kita
sajikan juga pantas.”
“Reska itu anak perusahaan, beda dengan restorasi yang dipegang
perusahaan swasta.”
Hemy
juga menyayangkan, turunnya aturan ini tidak dibarengi dengan solusi yang tepat
bagi asongan. “Kasih dong kita solusi, kita itu manusia bukan hewan,” ungkap
pria yang biasa menjajakan minuman di kereta.
Meski
demikian, asongan tetap nekat berjualan. Bagi asongan, tetap berjualan menjadi
satu-satunya solusi untuk menyambung hidup keluarga mereka. Tekanan akan
kebutuhan hidup membuat mereka tidak lagi gentar dengan polsus maupun aparat.
“Karena musuhnya perut ya jalani aja, kita
terjang. Yang penting tidak anarkislah.”
Nyaris
tiap hari, mereka harus terlibat adu mulut dengan aparat keamanan di dalam
kereta. Hemy menceritakan salah satu peristiwa di mana dia terpaksa berdebat
dengan polsus. Kala dia tengah menjajakan minumannya, seorang polsus
mendatanginya.
Kowe asongan (kamu asongan)? tanya polsus.
Iyo ngopo (Iya kenapa)? jawab Hemy.
Ayo medun (Ayo turun)?
Moh…!! (Tidak…!!)
Endi tiketmu (Mana tiketmu)?
La kowe yo endi tikete (La kamu juga mana
tiketnya)?
Aku kan lagi tugas (Saya kan sedang
bertugas)?
Aku yo tugas. Soko anak bojoku (Saya juga tugas.
Dari anak istriku)?
“Setelah itu dia
pergi gak bisa jawab”, cerita Hemy sambil tertawa.
Selain
nekat berjualan, berbagai upaya diplomasi juga telah dilakukan paguyuban
asongan Klaten. Paguyuban sendiri baru berdiri pada 31 Desember 2009. Namanya
SMS, kepanjangan dari Seneng Melu Sepur
(Suka Ikut Kereta Api). Hingga saat ini, tidak kurang dari 80 asongan yang
bernaung pada paguyuban ini.
Pada
tanggal 4 Juli 2013, para asongan sempat mendatangi dan mengeluhkan nasibnya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Klaten. Tentu dengan
harapan, para wakil rakyat bisa membantu nasib mereka, sehingga melahirkan
kebijakan yang Win-Win Solution
antara asongan dan PT KAI.
Hadir
dalam forum yang berlangsung di ruang rapat Komisi II tersebut, perwakilan
asongan, perwakilan PT KAI yang diwakilkan Daop 6, dan beberapa anggota DPRD. Dalam
forum tersebut, para wakil rakyat mencoba memberikan solusi dengan memberikan space lahan bagi para asongan berjualan
di beberapa sudut Kota Klaten, seperti Alun-alun Kota Klaten dan Pasar
Klitikan. Dan menawarkan modal usaha untuk asongan.
Sebagaimana
yang diceritakan Hemy, tawaran yang diberikan DPRD sempat menimbulkan pro dan
kontra di internal asongan. Namun mayoritas asongan menolak dengan berbagai
macam pertimbangan, mulai dari tempat relokasi yang sepi pengunjung, hingga
persoalan tidak adanya modal.
“Temen-temen
bingung mau jual apa, iya kalau modal yang di kasih gede? Itupun nanti belum tau dikasih cuma-cuma atau cuma dipinjamkan?”
“Keahlian kita itu
menjemput pembeli, bukan menunggu pembeli.”
Menurut
pengamatannya, sikap para dewan terkesan membela kepentingan PT KAI, bukan
asongan Klaten yang merupakan rakyatnya. “Makanya kita sudah katakan. 2014
asongan kereta, khususnya Klaten golput. Percuma kok dipilih tapi tidak memihak kita,” ungkap Hemy emosi.
Pembicaraan
asongan dengan dewan pun akhirnya menguap sia-sia tanpa sempat ditidaklanjuti.
Karena bagi asongan, tetap berjualan di kereta merupakan satu-satunya solusi.
“Yang
kita minta itu cuma jualan di kereta kelas ekonomi saja. Ibaratnya mereka
(Reska) dapat dua (kelas eksekutif dan bisnis). Kita satu saja (kelas ekonomi).”
Upaya
diplomasi selanjutnya dimediasi oleh Polres Klaten. Itu dilakukan sebagai
bentuk pemenuhan janji Polres Klaten dengan Kapolres barunya, AKBP Nazirwan
Adji Wibowo untuk membantu persoalan asongan Klaten. Mediasi yang pertama
dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2013. Pertemuan itu berakhir deadlock dan belum bisa menghasilkan
solusi bagi kedua belah pihak.
Pertemuan
kembali di gelar pada tanggal 1 November 2013 di tempat yang sama, yakni ruang
rapat Polres Klaten. Upaya mediasi sengaja dilakukan Polres Klaten untuk
menyelesaikan konflik yang kerap mengganggu stabilitas dan keamanan wilayahnya.
Pada
pertemuan kedua, lagi-lagi tidak ada solusi yang disepakati. Pihak asongan
masih ngotot untuk berjualan di KA Ekonomi. Adapun pihak PT KAI menganggap
penertiban asongan dari KA adalah keputusan yang final.
“Kemaren gak
ada keputusan apapun. Masing-masing hanya mementingkan kepentingannya. Termasuk
Polisi, yang menginginkan wilayahnya aman,” ujar Hemy kecewa.
Saat
ini, upaya asongan kereta untuk tetap berjualan semakin sulit. Ini tidak lepas
dari keluarnya kebijakan PT KAI untuk tidak memberhentikan kereta ekonomi di
Stasiun Klaten. Asongan Klaten sendiri memiliki jatah trayek ke arah timur
hingga wilayah Sragen. Terhitung 1 Oktober, hanya ada satu KA ekonomi yang
berhenti di Stasiun Klaten, yakni KA Bengawan (Jakarta-Solo). Sebelumnya, ada
KA Kahuripan, Pasundan, KA Gaya Baru Malam, KA Logawa dan KA Sri Tanjung yang
biasa diakses para asongan.
“Bengawan
itu berhenti di Solo (dari Jakarta), nyampe
sini udah kosong. Mau jualan ke siapa?”
“Mungkin
ini (kebijakan tidak memberhentikan KA ekonomi) untuk menghindari asongan”,
ujar Hemy menyesalkan.
Untuk
tetap bisa berjualan, kini asongan Klaten terpaksa berjualan melalui Stasiun
Jebres, Solo. Kebetulan aturan tersebut belum terlalu digalakkan di sana.
Biasanya, setiap pukul 07.00 pagi para asongan bersiap dengan barang
dagangannya di Jalan By Pass, yang terletak di selatan stasiun.
Di sana mereka menanti bus yang akan membawanya
ke Solo. Tidak kurang dari 8 ribu rupiah yang harus dikeluarkan asongan untuk
sampai ke Solo, dan 8 ribu untuk kembali ke Klaten. Itu artinya, pendapatan
mereka harus dipangkas ongkos transportasi.
Tengok
saja apa yang di alami Yani Gede (39
tahun), penjual mainan anak di kereta. Panggilan Yani Geder sengaja disematkan teman-teman asongan kepadanya, karena ada
dua asongan yang bernama Yani. Yani mengaku harus memangkas pendapatannya
sebesar 25 ribu per hari untuk transportasi dan uang makan.
“Kebijakan
KAI untuk kawula alit(orang kecil)
seperti saya sangat menyiksa. Sekarang saya harus ke Solo dulu kalau jualan,
biasanya dapet 70 ribu bersih, sekarang harus dipotong transport dan makan 25
ribu.”
Meski
semakin sulit, Yani gede terpaksa
melakukannya. Menurutnnya, mengasong adalah satu-satunya lapangan pekerjaan
yang sesuai dengan keahliannya.
“Sebenarnya saya gak mau
ngasong seperti ini, cuma karena lapangan kerjanya di sini, pengalaman kerjanya
di sini ya udah.”
Tidak hanya itu,
bagi Yani, ngasong sudah menjadi
bagian dari hidupnya yang sulit untuk dipisahkan.
“Saya
hidup dan dibesarkan dari asongan. Mbah saya asongan, ibu saya asongan. Tetap
akan kita perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Seperti nenek moyang kita
terdahulu. Intinya kita cuma satu kok,
cari nafkah halal.”
Tidak
berhentinya kereta ekonomi di Stasiun Klaten juga berdampak pada menurunnya
pendapatan puluhan tukang becak dan ojek di sana. Meski demikian, tukang ojek
di Stasiun Klaten enggan menyalahkan asongan, sebagaimana yang terjadi di
Stasiun Jebres, Solo. Seperti yang disampaikan Usmani. “Mereka(PT KAI) memakai
metode penjajahan Belanda, dengan mengadu domba. Mereka kewalahan tidak bisa
mengatasi asongan, ini jadi diadu horizontal.” ujarnya menggebu, meski
rambutnya telah ubanan.
Di
Stasiun Jebres Solo, para asongan kereta sempat bersitegang dengan tukang ojek
dan becak yang khawatir, jika kebijakan tidak memberhentikan kereta yang
terjadi di Klaten juga diberlakukan di sana.
Sementara
itu Sutopo, Wakil Kepala Stasiun Klaten dan rekannya Helena, staf Balai Yasa
Daop 6 menolak tuduhan asongan yang mengatakan kebijakan tidak memberhentikan
KA merupakan ulah pihak stasiun. Sebelumnya para asongan meyakini jika
kebijakan tersebut merupakan ulah stasiun.
Menurut
Sutopo, pihak stasiun hanya melaporkan saja, dan tidak memiliki kewenangan
untuk itu. “Ya dari pusat. Itukan pertimbangannya yang tahu yang di atas.
Mungkin itu (asongan) sebagian dari faktor ya bisa,” ungkap Sutopo.
“Karena
melihat pendapatannya tidak begitu gede kok.
Ngerem aja itu biaya. Kalau dari
ujung barat dan timur sudah penuh, untuk apa di sini berhenti. Artinya apa,
secara pasar di sini tidak cukup bagus. Ya mungkin asongan menjadi salah satu
penyebab, tapi bukan satu-satunya,” ujar Helena menambahkan.
Dalam
perjuangannya, asongan Klaten selalu dibantu Sifera Ambarwati (40 tahun),
seorang wanita paruh baya yang pernah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum,
Universitas Gajah Mada (UGM). Tidak hanya ketika menempuh jalur diplomasi,
setiap aksi demonstrasi pun, wanita yang akrab disapa Ambar tersebut tak pernah
luput mendampingi asongan.
Bagi
Ambar, asongan dan kereta api sudah menjadi bagian hidupnya. Dia hidup dan
dibesarkan oleh profesi asongan yang disandang beberapa rekan keluarganya. Saat
ini, Ambar menjadi salah satu pemasok nasi bungkus yang dijajakan asongan
kereta. Dengan pendidikan yang dia enyam,
sosoknya begitu penting di mata asongan.
Menurut
Ambar, persoalan asongan sebenarnya bukanlah persoalan yang sulit dan perlu
menyita waktu. “Toh yang diminta cuma
kelas ekonomi.” Dia juga mengkritik peraturan tersebut. Baginya, jika yang
menjadi persoalan adalah ketertiban, PT KAI bisa melakukan upaya bimbingan
kepada para asongan tanpa harus memberantasnya.
“Posisikan
mereka seperti rekanan kereta api. Dikasih kebijakan, dikasih payung hukum.
Misalnya ditertibkan (cara berjualannya).”
“Toh sama-sama berjualan,
restorasi berjualan, asongan juga berjualan. Cuma bedanya restorasi teken
kontrak, asongan tidak. Toh kita maunya dibuatkan seperti itu. Meskipun harus
bayar pajak juga ga papa asalkan
terjangkau. Toh kereta ekonomi ada subsidi negara juga.”
Terlebih
bagi Ambar, tidak ada satupun pasal dalam undang-undang yang melarang asongan
berjualan di kereta api. Baginya, PT KAI terlalu memaksakan beberapa pasal yang
kerap disebut sebagai landasan penertiban asongan.
“Dalam undang-undang penumpang memang harus bertiket. Nah asongan ini
masuk kategori penumpang atau bukan? Tidak ada larangan asongan di kereta, itu
hanya peraturan direksi,” ujar wanita yang masuk UGM melalui jalur PMDK
tersebut.
Meskipun
demikian, Ambar bersama kawan-kawan asongan tidak memiliki niat untuk menempuh
jalur hukum. Karena baginya, penguasa tidak mungkin dikalahkan.
***
MENYIKAPI
pernyataan Ambar terkait aturan direksi yang bertentangan dengan UU, Enny
Nurbaningsih selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM)
memiliki pandangan yang berbeda. Bagi Enny, UU No. 23 Tahun 2007 hanya
berbicara tentang infrastruktur perkeretaapian, kelembagaannya, jalurnya, dan
kereta apinya sendiri sebagai debuah sistem. Jadi tidak mengatur hal-hal
seperti asongan ataupun soal PKL.
Enny
juga menambahkan, Undang-undang itu bukan landasan direksi mengeluarkan aturan,
direksi mengeluarkan instruksi dengan menyebut UU No. 23 tahun 2007 karena UU
tersebut yang mengatur soal hal yang menyangkut wilayah kewenangan dia, yakni
kereta api.
“Gak
mungkin dia mengambil dasarnya undang-undang pelabuhan. Kalo dicari dalam
undang-undang, yang mengatur asongan gak
akan ketemu, wong ini (larangan asongan berjualan) peraturan non perundang-undangan kok.” Hanya saja,
dia menyayangkan upaya penataan yang dilakukan pemerintah bersifat parsial.
Menurutnya, negara harus berfikir dalam konsep yang besar, bagaimana menata
negara supaya bisa memberikan rasa nyaman kepada siapa saja, baik itu kepada
asongan, PKL atau profesi lain.
“Itu
harus penataan semua sistem, soalnya gak
bisa ditembak satu per satu. Orang jadi asongan itu kenapa? Nyari kerjaan
susah, sekolahnya tidak seberapa karena orang tuanya anaknya banyak. Anak
banyak karena KB gak jalan. KB gak jalan karena pendidikan yang kurang.
Jadi semua saling berkaitan.”
Hal
senada juga diungkapkan Andi Sandi, yang juga dosen FH UGM. Menurutnya, apa
yang dilakukan direksi PT KAI merupakan tindakan legal dari aspek hukum,
mengingat daerah perkeretaapian menjadi kewenanganya.
Pernyataanya
berlandaskan pada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU BHP. Di mana
disebutkan, jika lembaga yang memiliki badan hukum itu artinya terpisah dari
negara dan memiliki wilayah sendiri.
“Saya
tidak mengatakan asongan itu salah. Tapi dilihat, punya landasan enggak mereka melakukan itu? Kalau
mereka mengatakan, kewajiban negera untuk menyediakan tempat
mencari nafkah? Nah, PT KAI itu sama dengan negara bukan? Wong dia (PT KAI) badan hukum sendiri kok.”
Melihat
kondisi demikian, Andi mengatakan satu-satunya cara yang bisa ditempuh para
asongan adalah mendatangi dan melobi komisaris atau direksi PT KAI. Karena akan
sulit bagi asongan, jika menempuh jalur hukum, terlebih tidak adanya landasan
yang dimiliki.
“Bisa saja menempuh jalur hukum, tapi di mana mau melawannya? Kalau mau
dikejar ke pengadilan, asongan gak ada dasarnya. Apanya yang sudah dilanggar PT
KAI? Mau ke PN? Gak bisa. Mau yudikal
review ke MA? Gak bisa. Peraturan direksi itu bukan peraturan
perundang-undangan.”
Jika
melihat hasil survei yang dilakukan Pusat Studi Transportasi dan Logistik
(PSTL) UGM, Posisi asongan kereta semakin terpojokkan. Dalam survei yang
dilakukan pada tahun 2004, mayoritas pengguna jasa kereta tidak menghendaki
keberadaan asongan di kereta.
“Saya
lupa angkanya, yang jelas mayoritas tidak menghendaki adanya asongan,” kata
Fajar Saumatmaji, peneliti perkeretaapian PSTL UGM. Fajar sendiri menilai langkah
yang ditempuh PT KAI sebagai upaya pengembalian ke aturan dasar standar
keselamatan.
“Kereta
itu fasilitas yang sangat diproteksi, karena sistemnya rawan. Kalau orang mau
berbuat jahat di kereta itu mudah. Sekarang kalau ada orang yang bisa masuk ruang
pengendali terus menggeser sesuatu, itu efeknya bisa besar, semisal kecelakaan
kereta.”
“Semakin
tercatat orang yang masuk dalam kereta, semakin mudah untuk mengendalikan
keamanan dan keselamatan KA,” ungkapnya ketika di temui di kantor.
***
TERHITUNG
sejak akhir September, intensitas para asongan Klaten dalam berjualan semakin
menurun. Tidak seperti dulu yang bisa berjualan setiap hari. Selain akses yang
semakin sulit, kebijakan yang terus digalakan PT KAI membuat ruang gerak
asongan semakin sempit. Padahal hidup harus terus berlangsung, begitu faktanya.
Kondisi
ini yang memaksa asongan mulai berfikir untuk mencari cara lain, agar tetap
bertahan hidup. Bukan hanya untuk dirinya dan istrinya, tapi anak-anak mereka
yang harus di sekolahkan. Persoalan itu juga yang tengah di rasakan Hemy, sang
Ketua Paguyuban SMS. Suami dari seorang istri dan ayah dari empat orang anak.
Selain mengasong, dia terpaksa menyuruh istrinya, Yani (37 tahun) untuk membuka
usaha. Berjualan kupat tahu menjadi upaya yang dipilih Hemy dan istrinya.
Ketika
ARENA
menemuinya pada tanggal 2 November 2013, warung kupat tahunya baru berumur lima
hari. Warungnya terletak di Jalan Pramuka, sekitar 70 meter barat stasiun,
tepat di seberang jalan sebuah kantor cabang partai politik berlambang burung
garuda. Warung tersebut dibangun bukan dari kantong sakunya, melainkan warung
bekas adiknya yang gulung tikar.
Harga
satu porsi kupat tahu dijual 5 ribu rupiah. Layaknya orang berjualan,
pendapatannya tidak menentu.
“Kadang sehari cuma
jual lima piring mas.”
Yani biasa membuka warungnya sejak jam 8 pagi, dan tutup pada jam 5
sore. Tidak selesai sampai di situ tugasnya membantu suami. Di rumah, dia juga
berjualan jajanan.
Mulai
dari kentang goreng, nugget dan
sebagainya. Sambil menggendong anaknya yang paling kecil, Yani menjalani
semuanya setiap hari.
Tak
hanya itu, di warung jajanan istrinya, Hemy menyertakan lotre untuk bisa menambah penghasilan keluarganya. Lotre berhadiah beberapa bungkus rokok
itu dia jual seharga lima ratus rupiah untuk satu kali kesempatan.
“Lihat
ini mas, saya terpaksa melanggar hukum,” kata Hemy sambil menunjuk lotre yang dia tempel di tembok samping
warung jajanan istrinya.
Di
tengah usaha yang dilakukan sang istri, Hemy juga mulai berfikir untuk beralih
profesi, meskipun tidak meninggalkan profesi utamanya sebagai asongan.
Posisinya sebagai ketua membuatnya tidak kuasa meninggalkan profesi yang tengah
ia geluti puluhan tahun tersebut.
“Kalau saya berhenti
ngasong, kasihan teman-teman.”
Dia
memiliki keahlian membuat kandang burung. Tapi bukan kandang burung yang sering
kita jumpai di depan rumah para pecinta burung. Kadang burung miliknya hanyalah
kandang sementara ketika terjadi transaksi jual beli burung. Ukuranya persegi
panjang. Dengan panjang sekitar 30 sentimeter, serta lebar dan tinggi
masing-masing 10 sentimeter.
Kandang-kandang
tersebut dia jual sendiri di Yogyakarta. Meskipun belum menghasilkan keuntungan
yang besar, tapi dia merasa sedikit beruntung memiliki keahlian lain. “Tidak
semua asongan memiliki keahlian lain, mungkin karena pendidikanya rendah,”ujarnya.
[]
*)
Tulisan ini merupakan salah satu berita di Liputan Utama Majalah ARENA 2014.
Ditulis menggunakan metode deskripsi.
**) Crew Lembaga
Pers Mahasiswa ARENA 2010-2015, Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam UIN
Sunan Kalijaga
Baca Versi PDF bisa dibaca di sini
Comments