Sempat merintis karier sosial dan politik untuk menjadi bupati, hidup Amos Yeninar berubah 180 derajat. Dia memilih jalan pengabdian lain dengan merawat anak-anak telantar dan pecandu di Papua.
FOLLY AKBAR, Jawa Pos,
Jakarta
---
MIMPI Amos Yeninar
untuk menjadi bupati sebetulnya sudah berada di jalur yang benar. Di usia 28
tahun, pada 2015 lalu, dia sudah punya bekal sosial yang memadai. Kariernya
pada sebuah lembaga sosial yang terkenal di Kabupaten Supiori, Papua, membuat
namanya dikenal.
Mesin politiknya juga
telah dipersiapkan. Pada tahun itu, dia sudah menjabat wakil sekretaris DPD
Partai Golkar Kabupaten Supiori. Dalam bayangannya, dia maju dalam pemilihan
umum DPRD 2019 sebelum mencalonkan bupati beberapa tahun mendatang. Dengan besarnya
popularitas dan dukungan masyakakat, dia yakin bisa mendapat satu kursi di
parlemen.
Tapi, takdir hidup
membawanya ke jalan lain. ”Tahun 2015–2016 saya sakit parah. Dokter bilang
sakit saya mematikan,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Kabar itu bak petir di
siang bolong. Pikirannya seketika kalut. Selama masa penyembuhan itu,
pergolakan batin melanda dirinya.
Dalam masa-masa itu, Amos
mulai berpikir ulang soal makna hidup dan bagaimana menjalaninya. Di satu
titik, dia pun memutuskan untuk menanggalkan ambisinya menjadi orang nomor satu
di Kabupaten Supiori.
Yang ada di benaknya
adalah segera berbuat baik. Kalaulah Tuhan tidak memberinya waktu panjang,
minimal dia sudah menunaikan manfaat bagi sekitarnya. Pikiran itu lantas
membawanya ke Nabire. Daerah yang harus dijangkau dari tempatnya selama satu
malam perjalanan laut.
”Saya seperti mimpi
diminta pergi ke Nabire untuk berbuat baik di sana,” imbuhnya.
Ya, di Nabire itulah, kini
Amos menghabiskan banyak waktu untuk mengurus anak-anak telantar dan pecandu
narkoba jenis aibon. Mendirikan rumah singgah, mencarikan dana, menjaga,
menyekolahkan, dan menjadi orang tua bagi anak-anak yang kurang beruntung.
Pria kelahiran 1987 itu
menjelaskan, ide membantu anak-anak telantar sejatinya baru datang belakangan.
Saat kali pertama memutuskan pindah ke Nabire pada 2017, dia belum mengetahui
apa yang hendak dilakukan. Bersama anak-istrinya, dia hanya berpikir datang ke
Nabire menemui saudaranya.
Setiba di Nabire, dia
kerap berkeliling kota. Bermodal motor yang dia bawa, kesehariannya diisi
dengan menawarkan jasa ojek. Di sela mencari rupiah itulah, keinginan membantu
anak-anak muncul. Musababnya, dia melihat banyaknya anak-anak yang hidup
terkatung-katung.
”Saya pergi ke pasar,
terminal, tempat wisata di Kota Nabire. Di situ saya lihat banyak anak jalan
kaki kosong. Saya bilang ada bapak-mama? Katanya tidak ada,” ceritanya.
Merasa iba, Amos pun mulai
membantu sebisanya. Uang hasil ngojek, selain untuk membayar tempat tinggal dan
menafkahi keluarga, disisihkan untuk membeli makanan anak-anak telantar.
Maklum, kala itu hanya makanan yang bisa dia berikan. ”Besoknya datang lagi,
ketemu lagi, rutin saya kasih makan,” kata alumnus Universitas Cenderawasih
itu.
Lambat laun, dia mulai
berpikir menapaki jalan yang lebih tinggi. Dengan modal pas-pasan, bersama
istrinya, Amos lantas membuat rumah yang bisa ditempati sebagian anak jalanan.
Itu pun dengan kondisi seadanya. Sayangnya, rumah itu tak bertahan lama setelah
dilalap si jago merah.
”Awal kami dirikan
sendiri. Susah kami belum punya banyak channel untuk kehidupan anak-anak,”
ungkap pria satu anak tersebut.
Namun, siapa sangka,
peristiwa kebakaran itu justru membawa berkah bagi Amos dan anak-anak yang
diasuhnya. Saat itu simpati mulai berdatangan. Dan, atas bantuan seorang
komandan kodim yang mengenalinya, Amos bisa mendapatkan rumah pengganti yang
baru.
Pada 2018, anak-anak hidup
dengan kondisi lebih baik. Untuk mempermudah penggalangan dana, dalam dua tahun
terakhir Amos mendirikan yayasan yang berbadan hukum resmi. Namanya Yayasan
Siloam Papua (YSP). Jumlah anak yang ditampung pun bertambah hingga mencapai
20-an orang saat ini.
Selain anak telantar, di
situ ada anak yatim piatu, anak kurang mampu, hingga pecandu narkoba.
Mimpi Amos tidak berhenti
sampai di situ. Dia berencana mendirikan panti khusus rehabilitasi para pecandu
lem aibon. Saat ini pembangunan panti sudah berlangsung dan menunggu uluran
tangan guna penyelesaian.
Ide mendirikan panti
khusus rehabilitasi bukan tanpa alasan. Amos merasa, kian hari semakin banyak
anak muda di Papua yang terjerumus menjadi pecandu aibon. Di sisi lain, dia
melihat pemerintah daerah (pemda) tidak cukup serius untuk menanggulanginya.
Padahal, lulusan prodi
kesehatan masyarakat itu menilai narkoba menjadi persoalan yang serius. Bahkan,
jika dibiarkan, itu bisa menjadi pintu kehancuran generasi muda Papua di masa
depan.
”Di beberapa kota besar
banyak kecanduan aibon dan ganja. Di Jayapura, Manokwari, Timika. Tapi,
pemerintah tidak serius membangun panti rehab anak-anak,” kata Amos.
Dia tak ingin hal itu
terus terjadi. Amos ingin ke depan generasi muda Papua bisa hidup maju dan
dapat bersaing. Baik di skala nasional maupun internasional. ”Harus sanggup
bersaing. Ga boleh miskin di atas tanahnya,” tuturnya.
Disinggung soal adakah keinginan
untuk melanjutkan cita-cita sebagai bupati, anak sulung lima bersaudara itu
mengaku sudah mantap dengan jalan hidupnya sekarang. Jalan hidup yang juga
membawa keajaiban dengan berkah kesembuhan atas penyakitnya.
Kalaulah tak mampu menjadi
bupati, dia bertekad mencetak calon bupati. ”Saya fokus saja untuk
mempersiapkan generasi muda. Biar mereka yang jadi bupati,” ujarnya penuh
kebanggaan. (*/c19/ttg)
Comments