Seperti para seniornya, Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga tergerak karena kerap menemukan UU yang tak sejalan dengan konstitusi. Banyak yang mencibir dan nyinyir. Toh, gugatan mereka ternyata dikabulkan.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
CIBIRAN, nyinyiran, hingga ungkapan lain bernada
melemahkan tak sekali–dua kali menerpa Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian
Sinaga. Tepatnya saat dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia (UKI), Jakarta, itu mengutarakan niat mereka menggugat pasal 293 ayat
2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Nada negatif itu datang dari kerabat hingga sejumlah
senior di kampus kala mereka mengutarakan niatan judicial review (JR) tersebut
pada Mei tahun lalu. ”Dibilang buang-buang waktu, katanya nggak bakal
dikabulkan. Eh, ternyata dikabulkan,” ujar Arian saat berbincang dengan Jawa
Pos.
Pasal 293 ayat 2 KUHP merupakan norma yang mengatur
mekanisme pelaporan kasus pencabulan anak.
Dalam pasal itu, pencabulan anak bersifat delik khusus
sehingga hanya korban yang bisa bertindak sebagai pelapor.
Namun, dalam putusan atas gugatan Leo dan Arian pada 15
Desember 2021, MK mengubahnya menjadi delik umum. Siapa pun dapat melapor tanpa
menunggu korban yang secara psikologis dan usia sangat berat untuk melakukan
pelaporan.
Putusan MK sangat melegakan bagi Arian dan Leo. Sebab,
meski ada UU Perlindungan Anak yang sudah mengatur sebagai delik umum,
perbedaan norma di KUHP terasa mengganjal bagi keduanya. Dikhawatirkan, masih
ada aparat penegak hukum yang menggunakan KUHP.
”Karena akhir-akhir ini banyak aksi pencabulan. Saya
juga memiliki saudara perempuan. Sangat disayangkan kalau aparat masih
menggunakan KUHP,” kata Leo menjelaskan alasannya menggugat pasal tersebut.
Gugatan terhadap pasal 293 ayat 2 KUHP hanyalah satu di
antara dua gugatan yang diajukan Leo dan Arian. Saat ini masih ada satu gugatan
lain yang berproses di MK. Yakni, gugatan terhadap pasal 16 ayat (1) huruf d UU
Polri yang berkaitan dengan hak polisi melakukan penggeledahan di jalan.
Tampilnya dua mahasiswa berdarah Batak tersebut di MK
sekaligus menjaga tradisi judicial review yang kerap dilakukan para mahasiswa
UKI. Sebut saja Batara, Ruben Saputra, Putu Bagus Rendragraha, Okto, Simon
Petrus Simbolon, dan Eliadi Hulu. Nama terakhir, Eliadi Hulu, merupakan rekan
diskusi yang kini membantu Arian dan Leo sebagai kuasa hukum dalam gugatan UU
Polri. ”Kami nanya senior yang udah sering gugat soal sistematika, apa yang
perlu kami persiapan, berapa rangkap, tata cara gimana,” papar Leo.
Leo menyampaikan, gugatan yang diajukan sepenuhnya
berangkat dari keresahan melihat regulasi yang ada. Sebagai mahasiswa yang
berkecimpung di urusan hukum, dia kerap kali menemukan UU yang dirasa tak sejalan
dengan konstitusi.
Tak mau hal itu terus berkelindan di pikirannya, dia
lantas memantapkan diri untuk mengambil langkah hukum. Prosedur beracara yang
dia pelajari di kelas menjadi bekal sekaligus menemukan wadah mempraktikannya
langsung. ”Ya udah gugat ke MK,” kata pria kelahiran Balige, Sumatera Utara,
tersebut.
Arian menyatakan, gugatan ke MK merupakan bagian dari
upayanya memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Sebagai mahasiswa, dia
dituntut peduli terhadap persoalan kebangsaan. Artinya, judicial review (JR)
adalah gerakan alternatif bagi mahasiswa.
Jadi, selain berdemo atau meneliti/mengkaji kebijakan,
mahasiswa bisa menjajaki upaya hukum. ”Ini cara alternatif, demo cara terakhir.
Cara yang harmonis ya judicial terhadap UU yang nggak sesuai,” tuturnya.
Bahkan, dalam konteks dan situasi tertentu, Arian
menilai upaya hukum jauh lebih efektif ketimbang turun ke jalan. Sebab, demo di
jalanan acap kali tak digubris elite politik.
Berbeda dengan putusan MK yang bersifat final dan
mengikat. ”Kalau JR kan ada putusan MK yang semua harus patuh,” kata pemuda
kelahiran Samosir itu.
Secara materi pun, kata Arian, judicial review di MK
tak membutuhkan biaya yang mahal. Berbeda dengan pengadilan di bawah Mahkamah
Agung yang berbiaya, di MK gugatan gratis. Penggugat hanya perlu menyiapkan
draf gugatan. Sementara, untuk saksi ahli, dia menggunakan jasa dosen yang mau
memberikan keterangan tanpa biaya.
Alhasil, berdasar pengalamannya menggugat KUHP yang
sukses dikabulkan, Arian hanya membutuhkan modal ratusan ribu rupiah. ”Nggak
nyampe Rp 200 ribu, sekitar Rp 150 ribu kalau dibilang mah,” ungkap mahasiswa
semester VII tersebut, lantas tertawa.
Meski demikian, bagi mahasiswa, melakukan judicial review
tak semudah membalikkan tangan. Dari sisi waktu, misalnya, Leo dan Arian harus
pintar-pintar membagi waktu antara menunaikan kewajiban di kampus dengan
kebutuhan dan persiapan persidangan.
Untuk memastikan gugatan berkualitas, kajian atau
diskusi harus dilakukan mendalam dan serius. Jika asal-asalan, yang ada malah
menjadi bulan-bulanan para hakim. ”Menyiapkan legal standing, alasan, teori,
terus pendapat tokoh buat menguatkan, itu aja yang bingungnya,” kata Leo.
Sementara, bagi Arian, berhadapan dengan para hakim
konstitusi memberikan tantangan psikologis sendiri. Sebab, dia yang berstatus
mahasiswa mau tak mau berhadapan dengan hakim yang umumnya sudah profesor.
Situasi itu sempat membawa kekhawatiran.
”Bahkan, ada yang ngomong bakal dites sembilan hakim.
Padahal, mah hanya ditanyakan sesuai dengan permohonan kita,” terangnya.
Namun, setelah menjalani sidang perdana, Arian dan Leo
sudah jauh lebih terbiasa. Atas dasar itu, kans untuk melakukan JR lainnya
masih sangat terbuka bagi keduanya. Khususnya jika ada aturan hukum yang dirasa
mengganjal di kepala.
Tekad itu kian kuat setelah dosen hingga keluarga
memberikan dukungan atas apa yang dilakukan Arian dan Leo. ”Ini bukan untuk
dikenal. Buat apa? Ini pelajaran buat kami agar kami berani, nggak stuck di
kuliah aja,” kata Arian menegaskan komitmen. (*/c14/ttg)
Tulisan ini tayang di Jawa Pos edisi 12 Januari 2022
Comments