Foto Hendra Eka/Jawapos |
Bisa pilih duduk di kursi atau lesehan. Menunya? Boleh kari kambing, ayam tangkap, ikan paya, udang goreng, atau urap. Lengkap. Tak heran, Lem Bakrie menjadi langganan para pejabat. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah tiga kali singgah.
FOLLY AKBAR, Banda Aceh
---
NAMA resminya, sesuai
dengan yang tertera di papan, adalah Warung Nasi Kambing Lem Bakrie. Namun,
rumah makan yang berdiri sejak 2013 itu tidak hanya menyediakan olahan daging
kambing. Banyak menu lain yang rasanya bikin ketagihan.
Kendati masih berumur 9
tahun, Lem Bakrie sangat populer di Aceh. Maklum, pelanggan rumah makan
tersebut adalah para pejabat. Mulai pejabat Aceh sampai ibu kota.
”Hampir tiap hari ada saja
yang booking dari pejabat,” kata Bakrie, pemilik Lem Bakrie, saat berbincang
dengan Jawa Pos pada awal Februari lalu.
Hari itu, rombongan bupati
Aceh Tengah baru saja meninggalkan lokasi. Esoknya, giliran Kapolda Aceh dan
rombongannya yang pesan tempat. Karena tempatnya yang luas dan menunya yang
beragam, tak heran Lem Bakrie selalu menjadi jujukan pejabat. Sebab, para
pejabat selalu datang dalam jumlah besar. Ada rombongannya.
Lem Bakrie selalu melayani
para pelanggannya dengan baik. Siapa pun yang datang, banyak atau sedikit, menu
yang disajikan selalu berlimpah. Semua jenis masakan disajikan di meja. Mulai
kari kambing, ayam tangkap, ayam gulai, ikan paya, udang goreng, urap, hingga
daging dalam beragam olahan.
Lalu, apakah semua yang
sudah disajikan itu harus dibayar? Jangan khawatir. Pelanggan diperkenankan
menyantap apa yang disukai saja. Yang tidak, biarkan saja, tidak perlu
disentuh.
Nah, untuk
hidangan-hidangan yang tidak disentuh, pelanggan tidak perlu membayar. Nanti
ada pelayan yang bertugas mencatat apa saja hidangan yang jumlahnya berkurang.
Setelah itu, kasir akan menghitung tagihannya. Jadi, tidak perlu grogi melihat
hidangan yang tersaji hingga memenuhi meja. Itulah cara Lem Bakrie menyervis
para pelanggannya.
Sementara itu, untuk
minuman, pelanggan dipersilakan memesan. Tidak ada parade minuman di atas meja
sebagaimana makanan. Yang spesial di Lem Bakrie, menurut owner-nya, adalah es
cincau kates dan es timun serut khas Aceh.
Bakrie menyarankan agar
pelanggan baru melakukan reservasi sebelum datang ke restorannya. Tanpa
booking, tidak bisa dipastikan para pelanggan akan mendapatkan tempat duduk
yang nyaman. Sebab, jam operasional Lem Bakrie relatif pendek. Warung buka pada
pukul 11.00. ”Jam 2 siang, jam 3 sore, sudah habis,” ungkap Bakrie.
Lem Bakrie memang laris.
Bukan stoknya yang sedikit, melainkan memang banyak peminatnya. Setiap hari
rumah makan itu hanya buka selama maksimal empat jam saja. Dalam tempo yang
singkat itu, sekitar 180 ekor ayam dan 40 kilogram daging kambing ludes.
Kari kambing andalan
restoran itu menjadi istimewa berkat kuwah beulangong yang khas Aceh. Kuah
tersebut merupakan bagian dari tradisi Aceh. Biasanya, kuah kaya rasa itu
menjadi menu wajib pada hari-hari penting. Misalnya, saat Lebaran dan
acara-acara syukuran.
Kari kambing juga menjadi
menu kesukaan Jokowi. Sejak kali pertama bertandang ke Lem Bakrie pada 2018,
presiden ke-7 RI itu memesan kari kambing. Menu lainnya adalah ayam tangkap.
Hanya dua menu itu favorit Jokowi. Dua kali kunjungan berikutnya, Jokowi tetap
lahap menyantap dua menu tersebut. Kepada Bakrie, Jokowi menyatakan bahwa
masakan Bakrie cocok dengan lidahnya.
Bahkan, istana
kepresidenan sampai memberikan plakat kepada Bakrie sebagai bentuk apresiasi
Jokowi terhadap masakan olahannya. ”Kami dapat semacam sertifikat dari istana,”
ujarnya.
Sertifikat yang dibingkai
itu kini menghuni salah satu sudut warung. Di sana tertulis bahwa istana
menyampaikan terima kasih atas pelayanan maksimal yang diberikan kepada
rombongan presiden.
Sebelum memiliki rumah
makan sendiri, Bakrie adalah koki. Dia bekerja di rumah makan milik saudaranya.
Menu yang disajikan hampir sama dengan yang ada di Lem Bakrie. Dengan tekad
besar untuk mengembangkan diri, Bakrie membangun warung di atas tanah ukuran 5
x 27 meter. Ukuran warung mula-mula itu hanya sepertiga Lem Bakrie yang
sekarang.
Berkat ketekunan dan
konsistensinya, Bakrie mampu mengembangkan usahanya dengan cepat. Kunci
keberhasilannya adalah kualitas bahan dan penyempurnaan resep. Bakrie tidak
segan mencoba-coba formula yang paling tepat untuk masakannya. Proses itulah
yang mengantarkannya pada racikan bumbu dan olahan masakan yang pas seperti
sekarang.
Kini, setelah mendapatkan
ramuan resep yang baku, Bakrie mengolah sendiri bumbu dasarnya. Karena Lem
Bakrie punya cabang di Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, dan Meulaboh, Bakrie
mengirimkan bumbu secara berkala. Beberapa hari sekali.
”Bumbu semua dari sini.
Saya yang buat,” tegasnya. Itu menjadi cara Bakrie untuk menyamakan standar
rasa masakan di semua cabang.
Meski pernah berani
bermain-main dengan resep, Bakrie sangat serius mempertahankan metode
memasaknya. Sejak dulu sampai sekarang, dia tetap memilih menggunakan kayu
bakar.
”Lebih enak pake kayu.
Nanti ada arangnya. Ke rasa beda,” jelasnya. Padahal, untuk warung di pusat
kota Banda Aceh, mencari kayu bakar membutuhkan usaha ekstra.
Demi menjaga kualitas,
Bakrie bahkan benar-benar memikirkan pasokan bahan baku. Terutama daging
kambing dan ayam. Dia tidak membeli kambing atau ayam yang siap potong. Sebab,
yang paling cocok untuk diolah adalah daging dari kambing dan ayam yang masih
dalam masa pertumbuhan. Bakrie pun memelihara sendiri kambing dan ayam. Setelah
cukup umur, barulah stok kambing dan ayam miliknya dipotong.
Di kandang Bakrie
sekarang, ada 6.400 ekor ayam dan 40 ekor kambing. Dia selalu menjaga sirkulasi
hewan ternaknya. Saat ada yang dipotong untuk menjadi bahan makanan, harus ada
penggantinya. Dengan demikian, dia bisa menjaga stabilitas bahan baku dan tidak
perlu mengkhawatirkan gejolak harga daging di pasaran.
”Sekalian bantu-bantu
masyarakat,” kata Bakrie. Ya, usahanya untuk memelihara kambing dan ayam
sebagai pasokan bahan baku itu melibatkan orang lain. Ada yang dia pekerjakan
untuk mengurus kambing dan ayamnya. (*/c14/hep)
Jawa Pos 24 April 2022
Comments