KPSI memberikan edukasi sekaligus menciptakan situasi lingkungan yang membantu pemulihan penderita skizofrenia. Sebagian penyintas atau keluarga mereka kini beralih menjadi edukator.
FOLLY AKBAR,
Jakarta
----
TAK tebersit
di benak Osse Kiky jalan hidupnya menikung begitu tajam. Dari seorang pengidap
skizofrenia atau gangguan jiwa kini justru menjadi edukator bagi penderita
maupun publik secara umum.
Tikungan
hidup yang bahkan memberangkatkannya ke berbagai kota, sampai ke Manchester,
Inggris, sana. Termasuk mendatangkan banyak tambahan pengetahuan serta
pengalaman.
Lompatan
hidup Osse itu tak lepas dari peran Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia
(KPSI), sebuah komunitas yang dia kenal sejak 2012.
Tahun ketika
dia harus berjuang melawan penyakit mental yang membuatnya seperti orang tidak
waras.
”Pada
awalnya yang aktif (di KPSI) almarhum ayah saya,” ujarnya kepada Jawa Pos pada
pengujung Mei lalu (31/5).
Sang ayah,
lanjut dia, adalah sosok yang paling getol berikhtiar menyembuhkan dia. Ketika
menjalani pengobatan di sebuah pusat kesehatan, ayahnya secara kebetulan
mendengar KPSI dari pengunjung lain saat antre.
Dari situ
sang ayah mengetahui ada komunitas yang mengumpulkan dan mengedukasi penderita
skizofrenia. Sebuah iklim lingkungan yang dibutuhkan Osse.
Sebelumnya,
salah satu tantangan besar yang dialami Osse adalah konsistensi meminum obat.
Padahal, obat bagi penderita skizofrenia sangat krusial. ”Jadi sering kambuh,”
ceritanya.
Dengan
bantuan lingkungan KPSI, kebiasaan buruk itu perlahan bisa dihilangkan.
Kesadaran dan semangat untuk sembuh terus dipupuk. Hingga akhirnya Osse bisa
hidup normal, bahkan sanggup berbagi manfaat bagi penderita lain. Atas dasar
itu, pria paro baya tersebut memutuskan untuk terlibat aktif dan ikut membantu
menyembuhkan penderita lain bersama KPSI.
KPSI
didirikan Bagus Utomo, seorang warga Jakarta yang aslinya berlatar belakang
pustakawan dan peneliti. Meski tak pernah mendapat pendidikan formal terkait
kejiwaan, Bagus kenyang pengalaman di bidang itu. Pengalaman didapat dari belasan
tahun interaksinya merawat sang kakak yang mengidap skizofrenia sejak 1995.
Bagus sukses
menyembuhkan sang kakak berkat mempelajari dengan tekun penyakit tersebut. Juga
mengikuti metode penyembuhan yang tepat.
”Saya mikir,
sayang sekali kalau pengetahuan ini tidak dibagikan,” kata Bagus dalam
perbincangan terpisah dengan Jawa Pos.
Apalagi,
banyak orang yang tidak mengetahuinya. Dari situ, dia mulai rajin berbagi di
internet melalui blog. Kemudian, komunitas pun terbangun lewat jejaring
terbatas. Seiring kemajuan teknologi, komunitas beralih ke Facebook hingga
akhirnya bertransformasi secara lebih besar dengan membentuk sekretariat,
bahkan sampai ke daerah-daerah.
Bagus
menuturkan, penderita gangguan jiwa di Indonesia cukup banyak. Sayangnya, belum
banyak di antara mereka atau lingkungan terdekatnya yang teredukasi. Imbasnya,
penderita tidak tertangani secara benar.
Bahkan,
sebagian mengambil langkah ekstrem dengan mengurung atau malah memasungnya.
Yang lebih parah, ada juga yang membuang serta membiarkannya berkeliaran.
Padahal,
layaknya penyakit, mayoritas penderita gangguan jiwa juga bisa disembuhkan jika
ditangani. ”Hanya satu pertiga yang mungkin tidak bisa disembuhkan,” imbuhnya.
Nah, KPSI
hadir untuk memberikan pemahaman tersebut. Peran komunitasnya, lanjut dia,
lebih fokus pada edukasi. Sementara itu, secara medis, yang melakukan tetap
penyedia layanan kesehatan.
Dalam kaitan
dengan edukasi, KPSI menjadi wadah saling berbagi informasi dan pengalaman. Itu
mengingat banyak anggota yang justru berasal dari penyintas atau keluarga yang
berhasil sembuh.
Selain
membuka layanan harian, KPSI mengadakan sejumlah kegiatan penunjang. Salah satu
yang rutin dihelat adalah peer support yang diagendakan pada pekan ketiga
setiap bulan. Di situ, penderita maupun keluarganya berkumpul untuk meng-update
ataupun saling bertukar persoalan serta solusi.
KPSI juga
rutin mengadakan kegiatan maupun pelatihan bagi para pengidap skizofrenia.
Mulai pelatihan kreativitas, seni, hingga ke arah pelatihan keterampilan dan
wirausaha. ”Untuk menjaga produktivitas para penderita,” kata Bagus.
Para
penderita juga dilatih mengontrol emosi. Dengan berkegiatan, konsentrasi
diharapkan meningkat dan mengeliminasi perilaku halusinasi.
Tak hanya
sampai di situ, diadakannya pelatihan kewirausahaan juga bagian dari upaya
kecil menyiapkan masa depan. Sebab, sebagian penderita harus kehilangan
pekerjaan maupun sumber mata pencaharian akibat penyakit tersebut.
Semua
kegiatan itu, kata Bagus, dilakukan secara swadaya anggota. Dia pun berharap
cara pandang terhadap penderita skizofrenia, terutama di lingkungan terdekat,
diubah. Jangan sampai mereka dikucilkan, justru harus didukung.
Seperti dulu
Osse didukung penuh sang ayah yang akhirnya membuat jalan hidupnya menikung
tajam menuju ke arah yang lebih baik. Tidak hanya telah sembuh, dia kini juga
bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk sembuh. (*/c19/ttg)
Comments