Korupsi merupakan salah satu budaya warisan penjajah Belanda yang
keberadaanya semakin mengakar di Indonesia. Korupsi sudah tidak lagi mengenal
tempat ataupun jabatan, korupsi telah menjadi rutinitas transaksional yang
terjadi disegala sektor baik lingkungan swasta atau pemerintahan. Celakanya, kini
koruptor tidak lagi terpusat di senayan, tapi telah menyebar secara merata di
seluruh wilayah indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri), sejak 2004-2012 sebanyak 281 Kepala Daerah menjadi tersangka dan
terpidana. Alokasi pembangunan yang minim ternyata masih diperparah dengan
ongkos korupsi yang semakin menggila. Pantas saja jika pembangunan dan
perkembangan di daerah berjalan begitu lambat.
Meningkatnya perilaku korupsi ditingkatan daerah merupakan cerminan
dari memburuknya birokrasi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, korupsi relatif hanya
dilakukan oknum yang duduk di beberapa posisi strategis pemerintahan. Kini di
era reformasi praktik korupsi dilakukan mulai dari pembuatan KTP hingga
pembuatan Undang-Undang. Upaya reformasi birokrasi hanyalah utopia
ditengah tumpulnya hukum dalam memberantas korupsi. Pelemahan KPK secara
membabi buta telah menjelaskan secara telanjang betapa tidak adanya itikad
untuk memberantas korupsi.
Tak bisa dipungkiri, jika salah satu penyebab maraknya tindakan
korupsi di daerah adalah mahalnya ongkos menjadi pegawai ataupun pejabat. Untuk
sekedar menjadi PNS saja, setidaknya diperlukan 80 juta. Terlebih untuk menjadi
bupati atau gubernur, mungkin dana yang dikeluarkan mencapai puluhan miliyar
rupiah. Di era kapitalis yang ditandai dengan pola pikir pragmatis, adakah
orang yang mau mengorbankan uang puluhan miliyar rupiah secara cuma-cuma? Apalagi
sebagian pejabat daerah kita berasal dari kalangan pengusaha, sedikit atau
banyak, pola pikir balik modal akan menghiasi praktik kepemimpinan mereka.
Untuk memperbaiki situasi, hal penting yang perlu dilakukan adalah memotong
mata rantai koruptor. Ini bisa dilakukan dengan merubah secara total bentuk
perekrutan pegawai dan pejabat yang syarat akan money politic. Jika tidak,
regenerasi koruptor tidak akan menemui muaranya.
Selain itu, menumbuhkan kesadaran dan budaya politik kritis dimasyarakat
pun perlu kembali dilakukan. Karena disaat hukum belum menemukan ketajamanya,
masyarakat adalah hakim yang paling adil. Dan ini tugas lembaga-lembaga anti
korupsi memobilisasi masyarakat untuk terus menabuh genderag perang kepada para
koruptor.
Comments